TAHUN demi tahun berlalu, Pulau Buru tetap seperti tempat yang beku dalam waktu. Setiap hari, rutinitas tetap sama, seolah dunia di luar sana telah berhenti bergerak. Para tahanan dipaksa bekerja tanpa henti. Mereka membuka lahan baru, menanam padi, sayuran, dan apa saja yang mungkin bisa ditumbuhkan di tanah keras ini. Namun, pekerjaan yang mereka lakukan bukan untuk kesejahteraan mereka sendiri. Hasil panen tak pernah sampai ke meja mereka. Itu semua untuk kepentingan yang lebih besar, kepentingan yang tak pernah dijelaskan kepada mereka. Tugas kami, para tentara, adalah memastikan mereka bekerja sesuai perintah, tanpa kelonggaran, tanpa belas kasihan.
Aku selalu mengawasi mereka dari kejauhan, memerhatikan setiap ayunan cangkul dan gerakan tubuh mereka yang letih. Pada awalnya, mungkin aku hanya melihat kerja fisik yang mereka lakukan. Namun, semakin lama aku menyadari bahwa di balik setiap cangkul yang mereka ayunkan, tersembunyi beban yang jauh lebih berat daripada sekadar pekerjaan di bawah terik matahari. Beban itu adalah ketidakpastian hidup, ketakutan akan kematian yang selalu mengintai di setiap sudut pulau ini. Mata-mata mereka, yang dulu mungkin penuh semangat atau perlawanan, kini hanya menyisakan kehampaan yang mendalam. Mereka bekerja, ya, tapi seperti robot yang menjalankan tugas tanpa hati, tanpa tujuan.
Terkadang, aku terjebak dalam pikiran, membandingkan diriku dengan mereka. Bedanya hanya seragam yang kupakai, dan kebebasan semu yang masih kumiliki. Namun, sama seperti mereka, aku juga tidak punya pilihan lain. Kami semua, baik yang mengenakan seragam atau yang terbelenggu di bawahnya, adalah bagian dari permainan yang tak bisa kami kendalikan.
Aku sering melihat wajah mereka yang makin kurus, tubuh mereka yang semakin ringkih. Pekerjaan yang mereka lakukan tampaknya jauh melampaui batas kemampuan fisik mereka. Namun, meskipun tubuh mereka melemah, ada sesuatu di balik itu semua yang membuatku tercengang—ketahanan mereka yang begitu kuat, ketahanan yang sulit kupahami. Bagaimana bisa mereka terus bertahan dalam kondisi yang sekeras ini, sementara aku sendiri kadang merasa hampir menyerah hanya karena melihat penderitaan mereka?
Ada saat-saat di mana aku ingin berbicara dengan mereka, ingin mendengarkan cerita-cerita yang mungkin bisa menjelaskan mengapa mereka masih bisa bertahan. Tapi, perananku di sini membuat itu semua mustahil. Aku adalah pengawas, bukan teman atau sekutu. Aku di sini untuk memastikan mereka tetap berada di jalur yang telah ditentukan oleh perintah dari atas. Mereka tahu itu, aku pun tahu itu. Dan karenanya, jarak tak kasatmata itu selalu ada, memisahkan aku dari mereka, meski aku tahu bahwa penderitaan yang mereka alami bukanlah hal yang jauh dari kenyataan yang kurasakan sendiri.
Ketika malam tiba, dan pekerjaan hari itu selesai, ada keheningan yang menyelimuti seluruh pulau. Suara cangkul yang tadi memecah kesunyian digantikan oleh isak tangis pelan dari barak-barak tahanan. Tidak ada yang menangis dengan lantang, karena setiap orang sudah tahu bahwa tidak ada gunanya. Namun, tangisan-tangisan kecil itu masih bisa terdengar, menembus dinding kayu barak dan masuk ke dalam mimpiku. Di tengah malam, aku sering terbangun, merenungkan suara-suara itu, membayangkan apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan. Aku tidak tahu apakah mereka bermimpi tentang kebebasan, atau mungkin mereka sudah berhenti bermimpi sama sekali.
Pulau Buru, tempat yang dulu kuanggap hanya sebagai tempat tugas, kini telah menjadi semacam neraka bagi semua yang ada di dalamnya, termasuk diriku. Aku mungkin tidak bekerja membuka lahan atau menggali tanah seperti para tahanan, tapi beban yang kurasakan tidak kalah beratnya. Aku mulai bertanya-tanya setiap hari, bagaimana mungkin ini semua terus berlangsung? Apakah tidak ada akhir dari penderitaan ini?
Aku ingat suatu hari, ketika aku melihat seorang tahanan duduk sendirian di tepi sungai, memandangi air yang mengalir pelan. Pria itu sudah tua, kulitnya keriput, rambutnya memutih. Aku berjalan mendekat, tapi dia tidak memandangku. Matanya hanya tertuju pada aliran air yang tenang. “Air ini akan terus mengalir,” katanya tiba-tiba, suaranya pelan namun tegas. “Tapi hidup kami tidak. Kami sudah berhenti mengalir sejak lama.”
Kata-katanya menghantamku lebih keras daripada apa pun yang pernah kudengar. Ada kebenaran yang pahit dalam kalimat itu, sesuatu yang membuatku ingin berteriak, ingin mengubah semuanya. Namun, seperti biasa, tidak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya berdiri di sana, memandangi pria tua itu, tanpa mampu memberikan jawaban yang layak. Dia telah kehilangan harapannya, dan mungkin aku juga akan segera kehilangan harapan yang tersisa dalam diriku.
Setiap hari, aku melihat lebih banyak tahanan yang menyerah. Mereka tidak lagi melawan, tidak lagi berbicara tentang kebebasan atau masa depan. Tubuh mereka masih bergerak, mereka masih bekerja, tapi jiwa mereka sudah lama mati. Mereka hanyalah bayang-bayang dari diri mereka yang dulu, dan aku tahu bahwa waktu mereka di sini tidak akan lama lagi.
Aku terus menjalankan tugasku, memastikan mereka bekerja seperti yang diperintahkan, tapi hatiku tidak pernah sepenuhnya ada di sana. Rutinitas pahit ini telah merenggut segala sesuatu yang dulu kupikir berarti. Setiap hari terasa sama, seolah-olah waktu di Pulau Buru tidak pernah benar-benar berjalan. Pekerjaan mereka, ketakutan mereka, dan keheningan yang mencekam pulau ini semuanya telah menjadi bagian dari kehidupan yang tidak ada ujungnya.
Namun, di tengah kengerian ini, satu hal tetap menggangguku: ketahanan para tahanan. Meskipun mereka telah kehilangan hampir segalanya, masih ada sesuatu yang membuat mereka bertahan, sesuatu yang sulit kupahami. Apakah itu harapan yang samar? Atau mungkin hanya naluri manusia untuk bertahan hidup, meskipun tanpa alasan yang jelas?
Aku tidak tahu jawabannya. Yang kutahu hanyalah bahwa setiap hari di Pulau Buru adalah perjuangan yang tidak terlihat, bukan hanya untuk para tahanan, tapi juga untukku. Dan setiap hari, aku bertanya-tanya berapa lama lagi aku bisa bertahan, sebelum aku juga tenggelam dalam kehampaan yang sama.
---
Suatu hari, saat matahari masih tinggi di langit, seorang tahanan muda jatuh pingsan di ladang. Tubuhnya yang kurus tergeletak di tanah kering, terlihat begitu rapuh seperti ranting yang mudah patah. Aku bisa melihat bagaimana napasnya tersendat, bibirnya pecah-pecah, tubuhnya basah oleh keringat meski hari belum terlalu panas. Dehidrasi. Itulah yang terjadi padanya. Hanya satu dari sekian banyak tahanan yang jatuh tak berdaya di tengah rutinitas tak berperasaan ini. Namun, setiap kali aku menyaksikannya, ada sesuatu yang menggedor hatiku.
Aku menoleh kepada atasanku, berharap instruksi untuk membawanya ke tempat yang lebih teduh atau memberinya air. Tapi yang kudapat hanyalah tatapan dingin dan satu perintah yang membuatku bergidik. “Bangunkan dia. Paksa dia bekerja lagi. Mereka di sini bukan untuk istirahat.” Kata-kata itu keluar dengan begitu datar, seolah penderitaan manusia lain tak lebih dari sebuah rutinitas biasa. Pingsan bukanlah alasan untuk berhenti. Di tempat ini, semua harus bergerak, tubuh harus terus berjalan meski jiwa sudah lama mati.
Aku mendekati tubuh tahanan yang tergeletak itu dengan perasaan sesak di dada. Aku mengguncang bahunya, memanggil namanya—jika aku masih ingat namanya. Dia membuka mata dengan susah payah, bibirnya bergetar mencoba mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar. Tubuhnya begitu lemah, lebih lemah dari hari sebelumnya. Aku tahu dia tak akan bisa bertahan lama jika terus dipaksa seperti ini. Tapi aku hanya tentara, hanya mesin yang menjalankan perintah, bukan seorang yang bisa mengambil keputusan sendiri. Perlahan, dengan bantuan tahanan lain, kami membangunkannya. Tubuhnya terhuyung-huyung, namun aku tetap memaksa cangkul kembali ke tangannya yang gemetar.
Saat itu, sebuah pertanyaan menyeruak di kepalaku, lebih keras dari sebelumnya. Kapan aku berhenti merasa manusia? Kapan aku berubah menjadi mesin yang hanya tahu menjalankan perintah? Apakah saat kakiku pertama kali menginjak pulau ini? Atau mungkin jauh sebelum itu, saat aku mengucapkan sumpah setia pada negara tanpa banyak bertanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiranku, dan setiap kali aku mencoba menyingkirkan mereka, kenyataan di depanku memaksaku untuk menghadapi semuanya kembali. Pulau Buru telah lama menjadi tempat di mana rasa kemanusiaan tak lagi berarti. Kami, para tentara, hidup dengan satu aturan: menjalankan tugas tanpa pertanyaan. Namun, di balik seragam ini, aku masih manusia—atau setidaknya aku mencoba untuk tetap merasa demikian. Tapi setiap hari, rasa dingin merayap ke dalam hatiku, membekukan empati yang dulu pernah kumiliki.
Aku berbicara dengan beberapa tentara lain tentang apa yang kurasakan. Namun, mereka hanya tertawa kecil, seolah aku terlalu banyak berpikir. “Ini tugas kita,” kata mereka, seolah itu cukup untuk menjelaskan semua kebrutalan yang terjadi di sini. “Mereka yang ada di sini adalah pemberontak. Kalau bukan karena kita, negara ini sudah lama hancur.” Ucapan itu menggema dalam pikiranku, tapi tidak bisa sepenuhnya menghapus kebingunganku. Ya, kami punya tugas. Tapi kapan tugas ini berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi kukenali?
Aku kembali ke pos pengawas, mataku tak lepas dari para tahanan yang bergerak perlahan di bawah terik matahari. Cangkul-cangkul mereka mengoyak tanah dengan keletihan yang hampir tidak mungkin diabaikan. Setiap hari adalah perjuangan bagi mereka. Setiap gerakan adalah saksi bisu dari tubuh yang perlahan menyerah. Namun, meskipun aku tahu apa yang terjadi pada mereka, aku tetap berada di posisiku. Aku menjalankan perintah. Aku memastikan mereka terus bekerja. Itulah tugasku.
Tapi ada sesuatu yang berbeda hari itu. Rasa dingin yang biasa kurasakan di hatiku semakin pekat. Setiap ayunan cangkul mereka terasa seperti beban tambahan di pundakku. Aku mulai bertanya-tanya, berapa lama lagi aku bisa bertahan dalam kebekuan ini. Sebelum aku juga berubah sepenuhnya, tanpa harapan untuk kembali.
Ketika malam tiba, dan para tahanan kembali ke barak, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Bagaimana mereka bisa bertahan? Bagaimana mereka masih bisa bergerak meski harapan telah lama meninggalkan mereka? Di tengah malam yang sunyi, aku teringat wajah tahanan muda yang jatuh pingsan siang tadi. Apakah dia masih hidup? Atau mungkin, seperti banyak lainnya, tubuhnya hanya menunggu untuk menyerah sepenuhnya?
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti pulau ini. Setiap malam, aku terbangun dari tidurku, dikejutkan oleh mimpi buruk yang menggambarkan penderitaan yang aku saksikan setiap hari. Namun, rasa bersalah yang semakin besar menghantui kesadaranku. Aku adalah bagian dari semua ini. Aku terlibat dalam kejahatan yang terus berulang setiap hari, dan aku tak bisa melarikan diri darinya.
Aku kembali mengingat sumpah yang dulu kuambil, saat aku masih muda dan idealis, percaya bahwa aku berjuang untuk kebenaran, untuk keadilan. Tapi sekarang, aku tak tahu lagi apa yang kuperjuangkan. Apakah kebenaran ini hanya sebuah kebohongan yang dibungkus dengan janji manis? Apakah keadilan yang kujaga adalah sesuatu yang telah lama mati? Semakin aku berpikir, semakin aku terjebak dalam kebingungan dan rasa hampa.
Esok harinya, rutinitas kembali berulang. Para tahanan keluar dari barak, diiringi tatapan kosong mereka. Cangkul-cangkul kembali diayunkan, tanah kembali diolah, meski jelas tak ada harapan yang tumbuh di sana. Aku berjalan di antara mereka, memastikan perintah dijalankan, tapi hatiku tidak benar-benar ada di sini. Aku hanyalah bayang-bayang dari diriku sendiri, terjebak dalam sebuah sistem yang aku sendiri tak lagi yakini.
Pulau Buru, dengan segala penderitaan yang dikandungnya, bukan hanya menghancurkan tubuh para tahanan, tapi juga menghancurkan jiwa kami, para tentara yang seharusnya menjaga ketertiban. Setiap hari, aku menyaksikan rasa kemanusiaan dalam diriku perlahan memudar. Rasa dingin di hati ini semakin menguasai, membuatku tak lebih dari sebuah mesin yang bergerak tanpa tujuan.
Aku kembali memandangi para tahanan di ladang. Mereka masih bergerak, meski tubuh mereka semakin lemah, meski jiwa mereka sudah lama hancur. Di tengah pemandangan itu, aku hanya bisa bertanya-tanya—berapa lama lagi sebelum aku benar-benar berubah menjadi sesuatu yang tak lagi bisa kukenali? Berapa lama lagi sebelum rasa dingin ini benar-benar membekukan segala yang tersisa dari kemanusiaanku?
---
Penyakit mulai menyebar di antara para tahanan. Seperti bayangan kelam yang tak kasat mata, ia datang tanpa suara, tetapi dampaknya terasa jelas di setiap sudut barak dan ladang. Disentri, demam, dan kekurangan gizi membuat para tahanan jatuh satu per satu. Mereka mulai batuk-batuk, suara mereka lemah, seolah kehidupan yang tersisa sudah di ambang penghabisan. Tubuh-tubuh mereka semakin ringkih, kulit mereka pucat, dan mata mereka kosong, kehilangan cahaya. Pulau ini, yang sejak awal telah menjadi neraka, kini semakin menjadi kuburan hidup bagi mereka yang tersisa.
Kami, para tentara, hanya bisa memandang dari kejauhan. Tidak ada instruksi yang datang untuk menolong, tidak ada pasokan obat yang tiba. Barak-barak yang menjadi tempat mereka tinggal sudah penuh dengan kesedihan dan penderitaan, namun kami hanya berdiam diri, seperti bayang-bayang yang tak peduli. Mereka yang sakit dibiarkan tergeletak di atas tanah, tubuh mereka menggigil menahan demam, berharap ada keajaiban yang datang—keajaiban yang tak pernah ada.
Aku melihat seorang lelaki tua yang setiap hari semakin lemah. Tubuhnya yang dulu masih bisa bertahan dengan ayunan cangkul kini hanya terbaring di sudut barak, tak lagi mampu bergerak. Matanya berkaca-kaca, menatap jauh ke arah langit-langit barak yang rendah dan gelap. Tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya, tidak ada rintihan, hanya diam. Diam yang penuh arti. Diam yang menyiratkan ketabahan sekaligus penyerahan diri pada nasib. Setiap kali aku melintas di dekatnya, matanya yang kosong itu seolah mengingatkanku pada satu hal: kematian sedang menunggu, hanya masalah waktu sebelum nyawanya benar-benar pergi.
Aku ingin melakukan sesuatu. Setiap kali aku melihatnya, ada dorongan dalam hatiku untuk setidaknya memberinya segelas air, atau bahkan selimut agar tubuhnya tidak semakin menggigil. Tetapi seragam ini, seragam yang aku kenakan dengan rasa bangga bertahun-tahun lalu, kini menjadi rantai yang mengikat tanganku. Aku tak bisa bergerak, tak bisa melakukan apapun selain menjalankan perintah yang terus terngiang di telingaku: "Mereka bukan lagi manusia, mereka adalah pemberontak." Namun, di mataku, di tengah penyakit yang menggerogoti tubuh mereka, di tengah ketakutan dan ketidakpastian yang menyelimuti setiap napas mereka, aku tidak bisa lagi melihat mereka sebagai musuh. Mereka adalah manusia, dan aku, dalam diamku, tak bisa mengubah takdir yang menunggu di depan mereka.
Pagi itu, lelaki tua yang kerap kulihat tidak lagi membuka matanya. Tubuhnya tergeletak kaku, kulitnya semakin pucat, dan napasnya sudah tak terdengar. Tidak ada yang menangis, tidak ada yang berteriak. Para tahanan lainnya hanya menatap sebentar, lalu kembali pada rutinitas yang mereka jalani setiap hari. Mungkin bagi mereka, kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan di pulau ini. Kematian bukan lagi sesuatu yang perlu ditangisi, melainkan akhir yang diharapkan. Kematian adalah pembebasan.
Tapi bagiku, pemandangan itu menghantam keras. Aku menyaksikan tubuh lelaki tua itu diangkat oleh beberapa tahanan lainnya, dibawa keluar dari barak menuju tempat yang entah di mana. Mungkin mereka akan menguburkannya, mungkin mereka hanya akan membiarkannya di salah satu sudut pulau, terlupakan seperti banyak nyawa lainnya. Aku ingin berteriak, ingin menolak kenyataan yang begitu dingin ini, tapi lagi-lagi, seragam ini mengunci lidahku.