LANGIT sore menyelimuti Pulau Buru dengan warna-warna senja yang memudar perlahan. Cahaya oranye memancar dari ufuk barat, menyoroti lapangan luas yang kini kosong, kecuali beberapa tahanan yang tersisa di sana, berjalan lambat dengan wajah lelah. Di udara, angin berembus lembut membawa aroma laut yang asin dan menyelimuti tubuhku dengan kesejukan yang jarang kudapatkan di pulau ini.
Aku berjalan sendiri, membiarkan langkahku berderap ringan, tanpa tujuan pasti, hanya mencari ketenangan dalam setiap jejak yang kutinggalkan di tanah yang keras ini. Ada keresahan yang terus menghantui pikiranku, seperti gelombang kecil yang tak pernah usai datang menghantam bibir pantai. Entah mengapa, perasaan itu semakin kuat setiap kali aku mendekati lapangan tempat para tahanan bekerja siang dan malam, dipaksa membungkuk dan menundukkan tubuh pada kekuasaan yang terus menghantam mereka tanpa belas kasihan.
Di tengah lapangan, dari kejauhan, aku melihat sekumpulan tahanan berkumpul, membentuk lingkaran kecil. Salah satu dari mereka berdiri di tengah, tubuhnya tegap dengan wajah yang kukenali tanpa perlu mendekat. Permadi. Dalam keheningan sore itu, ia berbicara kepada mereka, meski tak sepatah kata pun sampai ke telingaku. Mungkin ia hanya berbisik, mungkin hanya menuturkan kalimat pelan, tapi semua yang berada di sekitarnya mendengarkan dengan seksama. Rasa penasaran menarikku lebih dekat, hingga akhirnya aku berhenti di pinggir lapangan, memperhatikan dari jarak yang cukup untuk mendengar tanpa menarik perhatian.
Wajah Permadi tampak serius, namun matanya menyala, penuh dengan sesuatu yang tak pernah bisa kupahami sepenuhnya. Ada tekad di sana, keyakinan yang tak pernah terlihat luntur meski tubuhnya kian ringkih dimakan usia dan kerja paksa yang memaksanya tunduk. Aku memandanginya dengan rasa kagum yang kutahan dalam-dalam. Ia berbicara dengan para tahanan seolah-olah mereka bukanlah manusia yang tak berdaya, seolah mereka adalah teman sejuang yang berdiri bersama dalam satu keyakinan yang tak terucap. Bahkan, dari caranya berdiri dan mengangkat kepala, ia seakan membagikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata-kata.
Aku ingat hari-hari pertama ketika Permadi datang ke pulau ini. Di matanya saat itu, kulihat ketakutan, tapi juga kebencian yang tak tersamar. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan saat melihat para tentara bersenjata yang mengawasi setiap langkahnya, setiap helaan napasnya. Namun, hari ini, aku menyaksikan Permadi yang berbeda. Ia bukan lagi pria tua yang lelah, melainkan seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat, seolah-olah segala derita hanya membuatnya semakin berani menghadapi dunia yang begitu kejam padanya.
Aku berdiri dalam diam, bayangan tubuhku memanjang di tanah, menjadi saksi bisu dari pertemuan yang seolah dipenuhi keberanian dan harapan. Dalam keheningan itu, aku mulai bertanya-tanya—apa yang sesungguhnya ia katakan pada para tahanan itu? Harapan macam apa yang ia tawarkan di tempat seperti ini? Bagaimana mungkin ada keberanian yang begitu teguh, di tempat yang hanya menyisakan keputusasaan bagi mereka yang tinggal?
Dalam hati, aku merasa rendah di hadapan Permadi. Aku yang berdiri dengan seragam dan senjata, yang dididik dengan berbagai disiplin militer, justru tak memiliki keberanian seperti yang ia miliki. Permadi tampaknya tidak membutuhkan senjata atau seragam untuk membuat orang lain menghormatinya; ia hanya perlu berbicara, dan semua orang mendengarkan. Mereka yang berada di sekitarnya terlihat hanyut, tersentuh oleh sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang hanya bisa dirasakan dalam hening.
Aku merasa jiwaku diombang-ambing oleh pemandangan itu. Kapten Juwono mungkin akan tertawa sinis jika melihatku di sini, berdiri terdiam, mengamati Permadi dan para tahanan seolah-olah aku adalah bagian dari mereka. Namun, kenyataan tak bisa kubohongi—ada perasaan asing yang kini bersemayam di hatiku, perasaan bahwa mungkin aku, Letnan Suryo, yang dianggap memiliki otoritas, justru tak memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk menjadi manusia.
Senja semakin merayap, bayangan semakin memanjang. Permadi berhenti berbicara dan berdiri tegap, tatapannya tertuju ke langit yang mulai gelap, seolah berbicara pada sesuatu yang lebih tinggi dari kami semua, sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh mata yang penuh pengharapan. Dalam kesunyian itu, ia menundukkan kepala, dan yang lain mengikuti, memberikan rasa hormat yang sunyi namun penuh makna.
Satu demi satu, tahanan itu berpencar, meninggalkan lapangan dalam diam. Permadi tetap berdiri, tak bergerak dari tempatnya. Aku merasa seperti tergugah untuk melangkah ke arahnya, menanyakan sesuatu, atau sekadar berbicara. Namun, ketika aku hendak melangkah, tubuhku seakan terikat oleh keraguan, oleh rasa takut yang tak masuk akal. Aku menyadari, di hadapannya, aku bukanlah Letnan yang biasa berdiri dengan angkuh. Di hadapannya, aku adalah manusia yang memiliki kelemahan, yang mempertanyakan tugas dan loyalitasku sendiri.
Mungkin, pikirku, aku takut pada keberanian Permadi, keberanian yang tak pernah bisa kudapatkan dari latihan militer, keberanian yang lahir dari kekuatan batin yang tak bisa direbut oleh siapa pun, termasuk oleh kami, para pengawas. Di senja itu, aku tahu bahwa keberanian sejati tidak selalu muncul dari suara lantang atau ancaman senjata. Keberanian sejati bisa ditemukan dalam bisikan lembut yang penuh harapan, dalam tatapan yang menantang ketakutan, dalam keyakinan yang tak bisa dihancurkan oleh waktu atau derita.
Aku akhirnya mengurungkan niatku untuk mendekati Permadi. Aku hanya berdiri memandanginya dari kejauhan, membiarkan perasaan itu tumbuh di dalam diriku. Senja di atas lapangan kamp menjadi saksi bisu dari pertarungan yang berkecamuk dalam hatiku—pertarungan antara kesetiaanku pada seragam ini dan rasa kemanusiaan yang kian mendesakku untuk memahami apa arti dari keberanian dan kekuatan yang sebenarnya.
Angin sore menyapu wajahku, seakan membawa pesan yang tak terucap, pesan bahwa aku, Letnan Suryo, mungkin selama ini telah salah menilai arti dari sebuah keberanian. Sementara langit semakin gelap, aku tetap berdiri di sana, meresapi semua yang baru kusaksikan, membiarkan rasa kagum dan malu bercampur menjadi satu di hatiku.
Permadi akhirnya melangkah pergi, tubuhnya yang kecil dan ringkih tampak semakin menyatu dengan bayangan senja, dan aku berdiri memandanginya hingga ia hilang dari pandanganku. Saat itu, di antara gelap dan terang, di antara malam dan siang, aku menyadari bahwa ada keberanian yang lebih besar dari sekadar menahan rasa takut. Keberanian untuk tetap manusia di tengah kekejaman, keberanian untuk tetap berharap ketika segalanya telah hilang.
Malam itu, di bawah langit yang mulai diselimuti bintang, aku kembali ke barak dengan langkah yang terasa berat, seolah membawa beban yang tak kasat mata, beban yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Sebuah pertanyaan menghantui pikiranku, terus-menerus menggema dalam kesunyian malam: Apakah aku, yang selama ini merasa berkuasa, justru adalah yang terpenjara dalam kepercayaan yang telah mati?
Aku tidak bisa menepis bayangan Permadi, keberaniannya yang diam-diam menyelinap dalam benakku, menancap dalam, seolah menantang seluruh prinsip yang selama ini kujunjung tinggi. Di sanalah aku, Letnan Suryo, berdiri di hadapan kenyataan yang tak terhindarkan, kenyataan bahwa mungkin, dalam ketegaran Permadi, tersembunyi sebuah kebebasan yang tak pernah bisa kutemukan dalam seragam ini.
---
Hujan menderas di luar barak, mengetuk-ngetuk atap seng yang karatan, seolah bernyanyi untuk kesunyian malam. Aku duduk di atas dipanku, punggung bersandar pada dinding dingin, mencoba mencari ketenangan yang hampir mustahil kudapati. Malam-malam seperti ini, di tengah kegelapan dan kebisingan hujan, adalah saat-saat paling sunyi untuk menghadapi pikiranku sendiri—sesuatu yang biasanya ingin kuhindari, namun malam ini mendesak untuk kuterima.
Seakan-akan bayanganku sendiri tengah mengawasi, mencermati setiap gerak-gerikku, setiap helaan napasku yang terkesan ringan tapi sarat. Aku teringat wajah Permadi, tawa lirihnya yang sinis namun jujur ketika berbicara soal keluarga tempo hari. Dalam sunyi ini, suaranya menggema kembali, membenamkan ke dalam kesadaran yang kian berontak.
Betapa sejak itu aku semakin tergugah pada hal-hal yang telah kuhindari, terutama tentang rasa dan pandangan yang berbeda dengan apa yang didiktekan padaku selama ini.
---
Malam itu, hujan turun dengan deras. Suaranya memantul-mantul di atas atap seng, mengalun di antara suara napas para prajurit yang terlelap. Aku duduk sendirian di tepi ranjang, memeluk lutut sambil memandangi kegelapan yang membungkus. Dentuman butiran hujan terasa keras—seakan mengetuk-ngetuk dinding tipis kesadaranku, melonggarkan ikatan-ikatan yang selama ini berusaha kuteguhkan. Setiap dentuman air, setiap irama yang jatuh dari langit, semakin lama semakin terasa seperti beban di pundakku, menguatkan gemuruh yang ada dalam benakku.
Kupikir, mengapa aku masih ada di sini? Sebuah pertanyaan yang berbahaya untuk dibiarkan menggantung begitu saja. Sebuah pertanyaan yang, ketika tidak segera kubunuh, akan berubah menjadi benih yang subur—tumbuh di antara celah-celah keyakinan yang mulai keropos. Tapi malam ini, di tengah bunyi hujan yang seolah menelan segalanya, aku membiarkannya. Aku membiarkan pikiranku berkelana, tak terkendali, tanpa peduli pada risiko yang mungkin mengikuti.
Seberapa jauh aku telah berjalan di jalur ini, tanpa satu pun kata yang benar-benar kuucapkan dari hati? Aku teringat wajah Permadi di siang hari beberapa minggu lalu. Sorot matanya yang keruh namun tenang, seolah ia telah memahami segala kebusukan yang kami, para tentara ini, coba bungkus dengan bendera negara dan kesetiaan. Aku teringat bagaimana ia menatapku ketika kami berbincang singkat tentang keluargaku yang tak pernah sempat kukunjungi lagi. Matanya menatap dalam, dan di sana, ada sorot yang tak terucap—sesuatu yang membuatku merasakan malu.
Ah, Permadi, aku bergumam dalam hati. Ia hanya seorang tahanan, tubuhnya ringkih, dan kakinya yang pincang seolah menjadi saksi bisu dari kekerasan yang dideritanya. Tapi mengapa aku merasa begitu kecil di hadapannya? Kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang menyentuh bagian paling dalam dari diriku yang bahkan aku sendiri enggan menatapnya? Apakah ini makna dari kehancuran, kehancuran yang muncul dari dalam, diam-diam menggerogoti pondasi keyakinanku sendiri?
Rasa lelah tak lagi hanya di tubuh, tapi juga di jiwa. Bertahun-tahun kujalani kehidupan sebagai seorang tentara, mengabdikan hidup untuk negara. Aku belajar menganggap kata-kata “keamanan” dan “kesetiaan” sebagai mantra yang tak boleh diragukan. Tapi malam ini, di tengah hujan yang begitu lebat, suara-suara itu, mantra-mantra itu terasa hampa, kosong, nyaris tak berarti.
Kutatap langit-langit kamar. Barak ini telah menjadi saksi bisu kebisuanku, penawar dari segala kegalauan yang selama ini kutekan, kubungkus rapi di balik seragam hijau dan pangkat di pundak. Di sinilah aku belajar untuk tunduk pada aturan, di sinilah aku belajar menekan keraguan. Tapi malam ini, aturan itu tak lagi terasa berarti. Semua yang kukenal terasa menjauh, lamat-lamat mengabur di tengah suara hujan.
Aku menggenggam erat-erat jari-jari tanganku sendiri, mencoba mencari pegangan pada sesuatu yang masih nyata, masih terasa. Tetapi saat kutatap tangan-tangan ini, aku hanya menemukan jejak-jejak dari penyesalan, sebuah jejak yang tak mungkin kuhapus, tak mungkin kubiarkan hilang begitu saja.
Permadi pernah berkata padaku, “Letnan, semua orang punya rumah yang ingin mereka jaga, orang-orang yang ingin mereka lindungi.” Saat itu, kata-katanya terasa seperti duri, merobek bagian terdalam dari diriku. Apa yang kulindungi selama ini? Apa yang telah kuberikan pada negara, sementara keluargaku sendiri entah berada di mana? Bagaimana mungkin aku mampu berdiri dengan tegak, memandang diri di cermin, sedangkan aku tak pernah benar-benar mengerti tujuan di balik semua ini?
Suara hujan semakin keras, membanjiri kesunyian barak yang seolah ikut tenggelam dalam kebisuan malam. Tak ada satu pun suara yang menembus selain rintik yang membentur atap. Hujan ini, pikirku, mengingatkanku pada kampung halamanku yang jauh di Jawa. Aku teringat malam-malam di mana kami semua duduk berkerumun di sekitar lampu minyak, mendengar cerita dari ibuku yang selalu penuh kehangatan. Namun malam ini, di Pulau Buru yang jauh dari mana-mana, rasa hangat itu seakan tak mungkin kudapatkan lagi. Semua ini terasa dingin dan asing, seperti malam yang beku dan tak berkesudahan.
Terlintas di pikiranku untuk kembali, untuk pulang, meninggalkan semua ini. Namun, pikiran itu segera kubuang jauh-jauh. Kembali adalah pengkhianatan. Aku tak bisa mengkhianati negara, tak bisa mengkhianati seragam ini. Namun, seiring semakin derasnya hujan, pengkhianatan itu semakin terasa menggoda. Seperti sebuah bisikan dari dalam hati yang selama ini kutindas, kini mulai menguat, menuntut untuk kudengarkan.
Apakah aku hanya sebuah alat, sebuah kepanjangan tangan dari kekuatan yang bahkan aku sendiri tak benar-benar mengerti? Apakah benar mereka ini adalah musuh, ancaman bagi negara? Semakin kutatap diriku, semakin aku kehilangan kepercayaan pada semua yang selama ini kujalani. Hujan ini, entah kenapa, mengajakku untuk mengurai semua pertanyaan yang tak pernah berani kusentuh. Tapi, apakah aku punya keberanian untuk menjawabnya?
Di barak ini, di malam yang penuh suara hujan, aku merasa diriku mulai terpecah-pecah, seperti serpihan kaca yang tak lagi bisa kubentuk kembali menjadi utuh. Ingin rasanya aku lari dari semua ini, namun kakiku tertancap terlalu dalam pada bumi yang membelenggu. Setiap dentuman hujan yang menghantam atap seperti detak jantung yang semakin lirih, semakin perlahan namun terasa kian menusuk.
Kupandangi seragamku yang terlipat rapi di sisi ranjang. Di sana, ada simbol negara, sebuah lambang yang selalu kujunjung tinggi. Tapi apakah lambang ini masih memiliki makna bagiku? Atau mungkin aku hanya mencari alasan untuk tetap bertahan, untuk tetap merasa bahwa aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Namun, malam ini, di hadapan hujan yang menyelimuti pulau ini, semua itu terasa hampa, seakan hanya bayang-bayang yang tak lagi memiliki makna.
Di antara suara hujan, kurasakan ada rasa yang ingin kutumpahkan, sebuah jeritan yang selama ini tertahan di dalam dada. Tapi, tak ada seorang pun yang bisa mendengar. Semua tertidur, terlelap dalam kesunyian yang mereka anggap sebagai penebus dari segala kelelahan fisik. Namun, kelelahan yang kurasakan jauh lebih dari sekadar kelelahan badan—ini adalah kelelahan jiwa, sebuah rasa yang tak bisa hilang hanya dengan tidur.
Kembali aku memejamkan mata, membiarkan rintik hujan menjadi pengantar pada segala pikiran yang tak pernah kusadari ada. Dan di tengah malam yang kian larut, aku berharap, meskipun kecil, ada ketenangan yang bisa kudapatkan. Sesuatu yang bisa memberiku kekuatan untuk menghadapi hari esok. Tapi aku tahu, ketenangan itu tak pernah benar-benar ada. Di tempat ini, ketenangan hanyalah ilusi yang diciptakan oleh mereka yang ingin kita percaya bahwa semua ini adalah benar.
---
Kantor utama terasa sempit, meski ruangnya sebetulnya luas. Papan kayu dinding tampak lelah, menyimpan lapis demi lapis perintah dan suara keras. Di hadapan meja, Kapten Juwono duduk tegap, kedua tangan terlipat di dada. Mata tajamnya menatapku, tak berbelas. Aku merasakan aura otoritasnya menyeruak, seolah ingin menekanku hingga tak bersisa. Perintahnya sudah jelas—dan tak bisa diganggu gugat.
“Suryo, Permadi harus dipindahkan,” katanya tanpa basa-basi. Suaranya kaku, tiap kata terasa dingin. “Terlalu banyak telinga yang mendengarnya, dan itu berbahaya. Dia sudah jadi sosok berpengaruh.”
Aku mengangguk pelan, seolah anggukan ini mengurangi sedikit beban. Tak bisa kutemukan keberanian dalam diri untuk bertanya mengapa. Namun, di dalam dada, ada gejolak marah yang hampir meledak. Permadi… sosok tua yang lemah itu, yang bahkan nyaris tak bisa berdiri tegak saat diperintah mengangkat cangkul. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi ancaman?
Juwono melihat keraguanku. “Kau terlihat bimbang, Suryo,” katanya dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kau harus paham, ini soal ketertiban. Kita tak bisa membiarkan seorang tahanan jadi pemimpin di sini, apalagi dengan sejarahnya.”
Aku tahu sejarah Permadi. Tahu betul. Seorang guru, dulunya. Berpikir merdeka, katanya, yang kemudian mengantarkannya ke sini. Sering kali ketika kami bertemu, dia bicara tentang keluarga, tentang masa lalunya yang penuh idealisme, tentang kemerdekaan sejati yang katanya masih dicari hingga detik ini. Tentu saja, Juwono tak akan pernah paham itu. Baginya, Permadi hanyalah satu dari sekian wajah yang harus dipadamkan.
“Siap, Pak!” jawabku. Suaraku nyaris bergetar. Aku ingin menolak, tetapi tahu akibatnya. Kehidupan di kamp ini sudah cukup gelap tanpa harus berurusan dengan amarah seorang Juwono.
Juwono tersenyum tipis, penuh kemenangan. “Bagus. Pastikan dia dipindahkan malam ini. Kau sendiri yang kawal. Jangan sampai ada tahanan lain yang mencium gelagatnya.”
Aku mengangguk lagi, kini dengan kepala tertunduk. Perintah sudah jelas. Di dalam hati, berkecamuk rasa bersalah yang tak terbendung. Pandangan Permadi melintas di benakku—matanya yang selalu terlihat teduh, senyumnya yang selalu setia menenangkan meski tubuhnya ringkih. Bagaimana mungkin aku tega melakukannya?
“Sudah jelas, Suryo?” Suara Juwono mengentakku dari lamunan. “Aku tak ingin ada masalah dengan para tahanan. Kau tahu apa akibatnya jika kita lengah.”
Aku menelan ludah, menahan perasaan yang berputar di dada. “Siap, Pak. Akan saya laksanakan.”
Juwono menatapku sejenak, matanya tak lepas dari wajahku. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat bulu kudukku meremang—kekuasaan yang tak terbantahkan. Di ruangan ini, aku bukan siapa-siapa, sekadar roda kecil dalam mesin yang memaksa orang-orang untuk tunduk.
Langkahku terasa berat ketika akhirnya keluar dari kantor itu. Setiap detik berlalu dengan lambat, meninggalkan rasa penyesalan yang makin menumpuk. Meski tahu apa yang akan terjadi, aku tetap melangkah ke barak, melewati deretan pohon-pohon kering yang berderak diterpa angin malam.
---
Barak pengasingan itu berdiri terpencil, tersembunyi di ujung kamp yang sepi. Hanya ada nyala lampu minyak yang samar-samar menerangi pintu depan, meninggalkan bayang-bayang panjang di dinding kayu lapuk yang berdiri tegar melawan waktu. Suara jangkrik dan gesekan dedaunan adalah satu-satunya irama malam, menghadirkan suasana yang ganjil, mengingatkanku pada rumah, pada malam-malam sunyi di kampung dulu—dan entah kenapa, malam ini terasa lebih menyesakkan daripada biasanya.
Aku melangkah pelan, menahan napas sejenak di ambang pintu, memastikan langkahku tak mengusik ketenangan yang menyelimuti tempat ini. Di dalam barak, Permadi duduk bersandar pada tembok, tubuh kurusnya terbalut selimut tipis yang nyaris tak bisa melawan dingin. Sejenak, ia tampak tak menyadari kehadiranku; pandangannya menerawang, jauh ke arah gelap, seperti seorang tua yang telah pasrah dengan nasib.
"Pak Permadi," suaraku pelan, hampir berbisik, seolah aku tak yakin ingin mengganggu keheningan yang tercipta di antara kami.
Ia mengalihkan pandangannya, wajahnya berubah lembut saat mengenaliku. Senyum tipis terbit di bibirnya, senyum yang begitu sederhana, begitu tenang, tapi justru menyesakkan dadaku lebih dalam. Tatapan itu, bukan tatapan seorang tahanan terhadap penjaga; lebih dari itu, ada kehangatan, ada pemahaman yang seakan memberitahuku bahwa ia tahu lebih dari yang pernah kukatakan.
“Kau datang terlambat, Nak,” ujarnya ringan, seperti seorang ayah menegur anak yang baru pulang setelah bermain terlalu lama. Suara lembutnya membuat mataku panas, namun aku menahan diri, mencoba menahan segala rasa yang ingin kutumpahkan.
"Aku... hanya ingin melihat apakah Bapak baik-baik saja," jawabku, kalimat yang sebenarnya kosong karena aku sendiri tahu betapa lemahnya usahaku.
Permadi tersenyum lagi, kali ini dengan kesan yang lebih dalam, seakan menertawakan keadaannya sendiri. "Baik-baik saja," katanya. "Lihatlah tempat ini, Letnan. Ini rumah baru saya, dan saya tidak punya pilihan selain menerimanya. Tapi bukan itu yang penting."
Kata-katanya terasa seperti tamparan yang menyadarkanku pada kenyataan. Aku yang menempatkannya di sini, aku yang membiarkannya menjalani hidup di antara bayang-bayang dinding yang kelam ini, namun ia masih berbicara padaku tanpa dendam, tanpa kebencian. Bagaimana mungkin ia bisa begitu damai?
“Apa… apa yang membuat Bapak masih bisa tersenyum, dalam keadaan seperti ini?” tanyaku, nyaris tak sadar dengan pertanyaanku sendiri.
Permadi terdiam sejenak, matanya mencari-cari jawabannya di sudut ruangan, lalu ia menatapku lagi dengan sorot yang lebih dalam. “Karena saya tak pernah merasa sendiri, Nak. Dalam sunyi, di balik semua ini, saya tahu apa yang saya yakini. Dan saya tahu kau juga memiliki sesuatu di hatimu yang masih membara, meski tersembunyi.”
Aku terkejut, mataku tak sanggup menatapnya. Kata-kata Permadi seperti membedah tiap lapisan di dalam diriku, menghadirkan ketakutan dan rasa bersalah yang sudah lama kusimpan. Tangan Permadi terangkat perlahan, menyentuh lenganku dengan lembut. Sentuhan itu terasa seperti beban yang tak tertanggungkan, membawa serta perasaan yang begitu dalam hingga hampir membuatku tak kuasa.
"Tak semua perintah adalah kebenaran, Suryo," katanya pelan, seolah itu adalah nasihat terakhir yang bisa ia berikan padaku. "Kau punya pilihan, meski dunia sekelilingmu mengatakan sebaliknya."
Aku terdiam, kata-katanya menusuk dalam, lebih tajam daripada belati. Di sini, di hadapan seorang tahanan yang seharusnya kucurigai, aku merasa diriku terkuak, setiap sudut pikiranku terkuak oleh pandangan tajamnya yang penuh kasih sayang. Tangannya masih bertengger di lenganku, membuatku merasa seperti anak kecil yang baru belajar arti keberanian.
“Tapi, Pak,” suaraku tertahan. “Saya ini seorang prajurit. Saya punya sumpah. Dan tugas saya adalah menjaga ketertiban di sini…”
“Ketertiban?” Permadi mengulang kata itu, ada senyum getir di bibirnya. “Nak, apa yang kau jaga di sini? Ketertiban macam apa yang kau lihat di dalam tempat yang melarang manusia berpikir bebas?”
Aku terperangah. Sederhana sekali pertanyaannya, tetapi jawabannya terasa amat rumit. Seluruh rutinitas yang setiap hari kutekuni terasa seketika runtuh, kosong tanpa makna. Permadi menarik tangannya, membiarkanku merenung dalam diam. Entah bagaimana, aku merasa seolah ia telah memahami segalanya tentang diriku, tentang perang batin yang kurasakan selama ini, lebih daripada siapapun.