PANTAI di dekat kamp terasa begitu sunyi sore itu. Ombak melenggang tenang, menyentuh pasir seolah melupakan segala luka yang pernah dibawanya. Aku duduk di atas batu karang, tubuhku tak bergerak, bahkan bayanganku sendiri tampak enggan mengiringiku. Angin laut mengusap wajah, tapi tak ada kesejukan yang dapat menenangkan hatiku yang keruh.
Aku menatap laut, ingatanku melayang jauh ke masa kecil. Saat aku berlari-lari di sepanjang sawah, sepatu bocor dan baju compang-camping, tapi penuh dengan impian. Dulu, aku bermimpi menjadi prajurit—bukan sekadar menjadi alat negara, melainkan seorang penjaga, pelindung bagi orang-orang yang aku cintai. Ah, alangkah sederhananya cita-cita anak kecil itu. Cita-cita yang, kurasa kini, telah aku khianati dengan segudang alasan yang mungkin tak masuk akal bagi diriku yang dulu.
Ombak kembali menghempas, membawa serpihan busa ke kaki-kakiku. Aku terpaku, memikirkan tahun-tahun yang telah kulewati di Pulau Buru ini, menjalani perintah demi perintah. Mulanya, semua tampak sederhana: ada musuh yang harus dihadapi, dan kebenaran yang tampaknya sudah jelas garisnya. Tapi kini? Kebenaran itu berubah kabur, kabur oleh sosok-sosok yang kuawasi setiap hari. Manusia-manusia yang awalnya kupikir berbahaya, namun ternyata hanya membawa kekuatan dalam hati mereka—bukan senjata, bukan kekerasan. Hanya harapan, cita-cita, dan pandangan hidup.
Pandanganku melekat pada ujung langit yang berbaur dengan laut, seakan-akan keduanya bisa bertemu dalam keabadian. Aku mencoba menyelam ke dalam batinku sendiri, namun seperti laut ini, semakin dalam aku menyelam, semakin hitam dan tak terduga airnya. Apakah aku sebenarnya tahu apa yang aku lakukan di sini? Apakah aku ini prajurit yang benar-benar setia, atau hanya alat kosong yang bergerak sesuai perintah?
Setiap pertemuan dengan Permadi—sosok yang kini entah berada di mana, dibawa pergi oleh perintah yang tak pernah kupahami—membuatku mempertanyakan banyak hal. Satu per satu, aku mulai mengingat percakapan-percakapan yang kulalui bersamanya. Dia tak pernah memaksaku untuk berbuat apa-apa, tak pernah menghakimi atau memaksakan keyakinannya. Dia hanya mendengar, kadang tersenyum atau tertawa kecil ketika aku mengungkapkan keraguanku. Tapi kehadirannya saja cukup untuk membuat diriku yang terbungkus dalam seragam dan keteguhan militer ini merasa hidup, merasa manusia.
Sekali lagi ombak menghempas, kali ini lebih kuat, seolah menuntut perhatianku kembali. Aku memejamkan mata, mencoba memutar kembali waktu, berharap bisa memilih jalan yang berbeda. Namun aku tahu, itu hanya angan. Kehidupan tak memberiku kesempatan untuk kembali. Semua keputusan, semua perintah yang kuterima, semuanya telah menjadikanku seperti ini—seorang prajurit yang tak lagi tahu untuk siapa ia mengangkat senjata.
Seolah-olah ombak mulai bersuara dalam bahasa yang samar-samar kumengerti. Setiap deru dan percikan, seakan berbisik bahwa penyesalan ini adalah bagian dari harga yang harus kubayar. Aku membuka mata, menatap laut yang luas, mencoba mencari jawaban di antara riak-riak kecil di permukaan air. Namun laut tak pernah memberi jawaban, ia hanya menjadi saksi bisu dari tiap rahasia yang dilemparkan ke dalamnya.
Ah, Laut! Mungkin kau tahu rahasia-rahasia mereka yang pernah kucurigai. Kau mungkin menyimpan tangisan mereka, kata-kata yang tak sempat terucap, mimpi-mimpi yang tercerai-berai di atas tanah Pulau Buru ini. Tapi bagaimana dengan rahasiaku? Bagaimana dengan suara-suara yang kupendam dalam diam, ketika aku berbaris tegak dalam parade disiplin dan ketaatan? Apakah kau juga menyimpan penyesalanku, atau hanya mengabaikannya, membiarkannya larut dalam tak berujung seperti setiap ombak yang kembali ke pangkal?
Ingatan lain mengapung, kali ini tentang masa-masa awal aku tiba di pulau ini. Kapten Juwono berdiri gagah, menjelaskan tugas-tugasku dengan nada yang tak terbantahkan. Perintahnya sederhana: awasi mereka, jangan beri kelonggaran sedikit pun. Tapi di balik suara keras dan tatapannya yang tajam, aku mulai melihat sesuatu yang tak kukira—ketakutan. Ketakutan yang sama, mungkin, yang kini bersarang dalam dadaku. Bedanya, dia membungkus ketakutan itu dengan keangkuhan, sementara aku tak bisa. Aku terlalu lemah untuk melawan penyesalan yang terus menggerogoti hatiku.
Lagi-lagi, ombak menghantam, memercikkan air ke arah wajahku, seolah alam ini mencoba menyadarkanku, atau mungkin malah menghinaku. Di hadapanku, hamparan laut yang tenang dan tanpa batas terasa ironis, bertolak belakang dengan kekacauan di hatiku yang kini tak bisa kutahan lagi. Aku merasa diriku hanyalah serpihan kecil, terapung tanpa arah di tengah samudra. Segala yang pernah kupegang teguh terasa begitu rapuh. Harga diri? Kebenaran? Mereka semua bagai pasir di genggamanku yang hancur ketika disentuh air.
Aku tak tahu sampai kapan aku bisa terus berpura-pura. Setiap hari di kamp ini, setiap melihat wajah-wajah yang penuh luka dan kesabaran, hatiku seakan terkikis sedikit demi sedikit. Apakah aku ini prajurit yang masih memiliki martabat, atau hanya budak perintah tanpa kehormatan? Baju seragam ini, yang dulu kupakai dengan bangga, kini terasa seperti jerat yang tak terlihat. Aku seperti dihukum dalam hukuman yang kubuat sendiri, setiap kenangan tentang cita-citaku sebagai penjaga berubah menjadi duri yang melukai setiap langkahku.
Laut di depanku tetap tenang, tak peduli pada kegelisahan di dadaku. Sore ini, sinar matahari mulai meredup, seakan memberi tanda bahwa sebentar lagi kegelapan akan mengambil alih. Dalam keheningan yang melingkupiku, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, adakah kesempatan bagiku untuk memperbaiki segala yang sudah kulakukan? Adakah jalan yang bisa mengantarkanku keluar dari labirin penyesalan ini?
Seandainya Permadi masih di sini, mungkin ia akan menjawab. Mungkin dengan senyuman atau hanya anggukan. Dan aku, dengan segala kelemahanku, mungkin akan merasakan sedikit kekuatan dari kehadirannya. Namun kini ia sudah tak ada. Mereka telah mengambilnya, membawa sosok yang mungkin menjadi satu-satunya teman yang tak pernah aku miliki sebelumnya.
Aku menghela napas panjang, menyadari bahwa hanya aku sendiri yang bisa menjawab pertanyaanku. Bukan laut, bukan Permadi, bukan juga perintah-perintah dari para atasan. Hanya aku yang harus menemukan jawabannya, di tengah samudra penyesalan ini.
---
Suara rintik hujan menjadi satu-satunya pengantar ke malam yang penuh kepahitan itu. Di tengahnya, aku berdiri di depan area utama kamp, tubuh terasa setengah beku. Malam sudah beranjak pekat, bulan hampir tidak terlihat, tertutup awan yang menggerimis seolah langit pun turut bersedih. Di hadapanku, deretan tahanan berbaris; ekspresi mereka kelam, namun ada keteguhan yang sulit kutafsirkan. Di antara mereka ada yang berusaha melawan, mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang aku sendiri mungkin sudah tak lagi paham—sebuah kebebasan yang dari hari ke hari terasa semakin jauh dariku.
Suara langkah cepat terdengar dari sisi kanan, dan dari situ tampak Kapten Juwono berjalan dengan pandangan lurus dan dingin. Di wajahnya tidak ada raut kasihan atau keterkejutan. Hanya kehampaan yang mungkin bagi seorang tentara, lebih mengerikan daripada kemarahan.
“Letnan Suryo,” panggilnya singkat, suaranya terdengar dingin dan memotong. Aku mengangguk, mengencangkan pegangan pada senapan di tanganku. "Ada yang mencoba melarikan diri malam ini," ujarnya dengan tenang, seolah membicarakan hal sehari-hari. "Tertangkap. Hukumannya akan disampaikan di sini, di hadapan semua."
Aku mengangguk lagi, tenggorokanku serasa tercekat, tak tahu bagaimana harus menanggapi. Di dalam batinku, ada dorongan untuk mengatakan sesuatu, namun suara itu selalu kalah dengan kenyataan bahwa seorang tentara tak punya tempat untuk membantah, apalagi memprotes.
Dua tahanan yang berusaha kabur dibawa maju ke tengah lapangan. Mereka diseret dengan kasar, dipaksa untuk berdiri tegak meski tubuh mereka lunglai. Di wajah mereka tidak ada penyesalan, hanya keteguhan yang sulit kuuraikan. Entah apa yang mereka cari dari sebuah tindakan yang tampaknya sia-sia itu. Mungkin mereka merasa lebih baik mati dengan harga diri daripada tetap hidup dalam ketertundukan. Sementara aku, tentara dengan senjata, justru merasa semakin terpenjara oleh pangkat dan tugas yang dulu kupikir akan mengangkat derajatku.
“Apa alasan kalian mencoba kabur?” tanya Kapten Juwono datar. Satu di antara mereka, seorang pria kurus dengan luka menganga di pipinya, menatap Juwono tanpa gentar.
“Kami tidak ingin mati perlahan-lahan di sini,” jawabnya dengan suara parau tapi tegas. “Kami ingin bebas, entah hidup entah mati.”
Kapten Juwono hanya mengangkat alis sedikit, tanpa rasa kasihan, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. “Suryo, ingatkan mereka tentang disiplin di sini.”
Kata-kata itu terasa bagai cambuk yang menghantam diriku, bukan pada tahanan di hadapanku. Disiplin? Bukankah disiplin adalah pengekangan terhadap keinginan, terhadap hak hidup mereka? Namun aku tahu, aku tak bisa mempertanyakan perintah itu, tidak sekarang, tidak di sini. Dengan sedikit menghela napas, aku maju selangkah.
“Kalian tahu aturannya. Tak ada tempat bagi mereka yang melawan,” suaraku terdengar datar, seperti mesin yang mengulang kata-kata tanpa makna. Aku sendiri bahkan tidak lagi percaya pada kata-kataku, tetapi mereka terus mengalir, lebih untuk memenuhi kewajibanku daripada untuk benar-benar memperingatkan mereka.
Namun kedua tahanan itu, bukannya takut, justru balas menatapku. “Bagaimana denganmu, Letnan?” pria itu bertanya dengan sorot mata tajam. “Kau pun tahu bahwa hidup di sini hanyalah pembusukan perlahan. Kau benar-benar percaya pada perintah ini?”
Dadaku terasa seperti dihantam. Apa yang harus kukatakan? Bahwa aku tidak tahu lagi? Bahwa setiap hari aku semakin meragukan segala yang kulakukan? Aku mencoba menghindari tatapannya, tapi matanya terus mengikutiku, seperti cermin yang menampakkan semua keraguanku.
Aku merasa terdesak, tak tahu harus berkata apa. Saat itulah Kapten Juwono maju, suaranya memecah hening dengan dingin. "Mereka yang mempertanyakan ketentuan di sini bukan hanya merongrong disiplin, tapi juga keselamatan kita semua. Tidak ada ampun."
Dengan satu gerakan tangan, ia memerintahkan beberapa tentara untuk mengeksekusi hukuman. Aku hanya bisa menyaksikan, seperti seorang pengecut yang tak mampu berbuat apa-apa selain mengikuti irama perintah. Kedua tahanan itu berlutut paksa, wajah mereka tetap tegak meski tubuh mereka sudah tertunduk dipaksa.
Di detik itulah, entah mengapa, aku merasa ada yang pecah di dalam diriku. Bukan sesuatu yang meledak, tapi sesuatu yang terkikis, menghilang pelan-pelan. Keyakinan itu, harapan itu, atau apapun yang selama ini menjadi alasan aku bertahan di sini.
Ketika para prajurit maju dengan senapan terarah, satu demi satu suara tembakan memenuhi udara. Aku merasakan darah mengering di tenggorokan, seolah suara itu menghantam kepalaku tanpa henti. Tetapi para tahanan yang lain, mereka semua hanya menunduk, sebagian bahkan menutup mata. Tidak ada yang berani bersuara, tak ada yang berani mempertanyakan.
Aku menunduk, mencoba menghindari pemandangan itu, namun bayangan darah yang mengalir di tanah itu terus terpatri di dalam benakku. Rasanya seolah tanah di bawahku ini pun telah dipenuhi dengan darah para tahanan, bercampur dengan air hujan yang mulai deras.
Ketika semua selesai, Kapten Juwono hanya memandang sekilas ke arahku, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata. Punggungnya yang tegap, langkahnya yang pasti, mengingatkanku betapa jauh aku darinya, betapa aku merasa seperti sosok yang semakin kerdil. Bukankah dulu aku bercita-cita menjadi tentara yang gagah, tentara yang melindungi? Kini, aku hanya bayangan diriku yang dulu, seseorang yang bahkan tak sanggup menatap dirinya sendiri di cermin.
Setelah semua selesai, malam terasa kembali sunyi. Para tahanan dibawa kembali ke barak, sementara aku tetap berdiri di situ, sendirian. Entah berapa lama waktu berlalu, mungkin hitungan menit atau bahkan jam. Aku tak peduli lagi. Yang ada hanyalah suara hujan yang semakin deras, seolah-olah alam pun ingin menghapus jejak darah yang mengotori tanah ini.
Aku merasakan tubuhku bergetar, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam dari itu. Mungkin ini adalah titik di mana aku benar-benar menyadari betapa besar pengkhianatanku pada diriku sendiri, pada nilai-nilai yang dulu kukira kukenal.
Aku berjalan perlahan, meninggalkan lapangan itu, namun bayangan malam ini terus menghantui pikiranku. Saat itulah aku sadar, bahwa tak peduli seberapa besar aku mencoba melawan rasa itu, tak akan ada yang bisa mengembalikan jiwaku yang telah terenggut.
---
Pagi itu, udara di kantor utama terasa lebih lengang dari biasanya. Sunyi, hampir membeku, seperti menyisakan ruang yang hampa. Surat itu tiba tanpa suara, tapi gemanya menghantam keras. Aku menggenggam amplopnya dengan tangan yang gemetar. Pada sampulnya, tulisan tangan Ibu begitu akrab, namun asing sekaligus. Sudah berapa lama aku tak melihat tulisan ini, tak melihat wajahnya?
Aku duduk, memandang jendela di seberang, mata terpaku pada ujung dedaunan yang tersiram sinar matahari. Udara berdebu mengalir lembut, mengaburkan pikiran sesaat, namun surat di tanganku seolah memanggil kembali kesadaran. Dengan napas tertahan, jari-jariku menyobek pinggiran amplop dan menarik kertas yang terasa berat, bukan karena isinya, tapi oleh ketakutan yang tak jelas.
"Ayahmu telah berpulang, Nak. Di saat-saat terakhirnya, ia masih memanggil namamu, menanti kabar darimu…"
Kata-kata itu bergetar dalam kepala, seolah diulang dalam gema yang tak terhenti. Ayahku, lelaki teguh yang sepanjang hidupnya mengajarkan arti berdiri di atas keyakinan, kini telah tiada, tanpa aku di sampingnya. Setiap huruf di surat itu seakan menjadi beban yang tak mampu kutanggung. Jantungku berdetak cepat, namun tubuhku seperti lumpuh di kursi ini.
Bayangan permintaan Ibu beberapa tahun lalu melintas. Waktu itu, aku ingat sekali, ia menulis dengan kata-kata yang halus tapi penuh harap, meminta agar aku pulang untuk menemani Ayah yang kesehatannya mulai menurun. Aku tahu maksudnya, ia tak ingin Ayah pergi tanpa aku di sampingnya. Namun aku? Aku terikat di pulau ini, terikat oleh sumpah dan kewajiban yang tak bisa kutinggalkan. Kewajiban… ah, betapa aku membenci kata itu sekarang.
Di ruang yang sepi ini, dinding-dinding terasa semakin dekat, menekan, mengurungku dalam perasaan bersalah yang tak terucapkan. Aku adalah anak satu-satunya; aku tahu apa arti harapan itu bagi mereka. Namun, di mana aku? Mengawasi tahanan, mengelola kekerasan dan ketidakadilan, sementara mereka di sana menunggu dalam harap yang sia-sia.
Aku meremas surat itu, seperti ingin menghapus kenyataan yang tertulis di sana. Tapi kenyataan, seperti bayangan yang setia, tak mungkin dihilangkan. Tangan-tanganku bergetar saat aku melipat kembali surat itu, menyisipkannya dalam saku. Rasa sakit di dadaku tak terlukiskan, melampaui kata-kata. Seolah waktu telah berakhir; seolah semuanya sia-sia.
Aku bangkit, berjalan menuju jendela, mengintip ke dunia luar yang tampak tak berubah. Angin menggoyangkan ranting-ranting pohon di luar, dan aku hanya berdiri, terdiam. Jauh di sana, di balik cakrawala yang kuamati, terletak tanah kelahiranku, rumah yang kini terasa begitu jauh. Aku merasakan kehilangan yang mendalam, bukan hanya terhadap Ayah, tapi terhadap diriku sendiri—bagian dari diriku yang pernah kukenal kini terasa semakin pudar.
Seluruh pengorbanan yang kuberikan, hari-hari yang kujalani dengan tekad, kini tampak tidak berharga di hadapan kematian Ayah. Apa artinya menjadi seorang prajurit kalau hanya membuatku kehilangan orang yang paling penting dalam hidupku?
---
Di dalam asrama yang sunyi, hanya bayangan lampu minyak yang bergerak-gerak di dinding, mengikuti setiap gerakan kecil dari nyala yang hampir redup. Aku duduk di tepi ranjang, menggenggam surat itu seperti memegang sekeping masa lalu yang terasa begitu akrab namun kini terasa menohok, asing, bahkan menyakitkan.
Tulisan ibuku—tulisan tangan yang kukenal sejak kecil—menyapa pandanganku dengan lembut, dengan aksara yang rapi, tersusun rapi dalam barisan kalimat yang bertanya. “Suryo, Nak, apa yang sebenarnya kau lakukan di sana? Kenapa harus bertahan di tempat itu? Kapan kau pulang?”
Setiap pertanyaan dari ibuku, kurasa seperti duri yang menembus pelan, menambah luka yang sudah terlalu dalam. Aku membaca kalimat itu berulang-ulang, seolah-olah dengan cara itu aku bisa menemukan jawaban, atau setidaknya pembenaran atas keberadaanku di sini. Tapi, apa yang kutemukan malah rasa hampa. Setiap kali kubaca ulang, pertanyaan itu semakin memojokkanku, membisiki sesuatu yang tak bisa kugenggam, bahkan tak bisa kujawab.
Selama ini, aku merasa bahwa tugas di sini adalah bagian dari takdirku sebagai prajurit—sebuah jalan yang harus kulalui, terlepas dari bagaimana hasil akhirnya. Tapi surat itu mengingatkanku bahwa ada kehidupan lain yang telah kuabaikan, ada kewajiban yang lebih hakiki, lebih mendasar, yang selama ini kuabaikan demi kepentingan yang entah untuk siapa.
Ibuku tak akan pernah paham sepenuhnya apa yang kualami di sini. Dari sana, dari rumah di pinggir desa yang damai, ia tak akan bisa melihat bagaimana beratnya menjalani hari-hari di antara para tahanan ini. Ia tak tahu tentang Permadi, tentang ketidakadilan yang kukawal setiap hari, tentang deretan wajah-wajah letih yang setiap saat menjadi saksi diam terhadap tugas yang kupikul dengan setengah hati. Dan bagaimana mungkin aku menjelaskannya? Apakah ia akan memahamiku, atau justru menyalahkanku?
Kupandangi kembali dinding kayu asrama yang usang, seperti mencari jawaban di antara setiap retakan dan garis usang di sana. Dinding ini, kayu yang keras, kusam, mengingatkanku pada sebuah penjara—bukan bagi para tahanan, tapi bagiku. Penjara yang tak tampak, tapi kurasa begitu kuat mencengkramku di setiap sisi kehidupan ini.
Aku tahu, dalam tiap suratnya, ibuku menanti jawaban yang sebenarnya, jawaban yang tak bisa kuberikan selama ini. Selalu kuperindah cerita, mempercantik kata-kata demi menutupi realita yang terlalu pahit. Aku menulis padanya tentang tugas mulia, tentang pengabdian pada negara, tapi tak pernah aku sampaikan apa yang benar-benar kurasakan di sini. Seakan aku menjadi seorang aktor dalam drama yang tak pernah kurencanakan, mengikuti naskah yang ditulis oleh tangan-tangan yang tak tampak, tapi memaksaku untuk terus bermain peran yang semakin kurasa palsu.
Dalam sunyi itu, pikiranku melayang pada masa-masa kecil. Aku ingat bagaimana ibuku selalu berkata bahwa menjadi tentara adalah pengabdian yang luhur, bahwa aku akan menjadi pelindung bagi mereka yang lemah, yang tak berdaya. Tapi kini aku merasa terjebak, bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai pengawal ketidakadilan.
Tanganku gemetar. Kubaca kembali bagian terakhir surat itu, yang berbunyi: “Pulanglah, Nak, kami di sini selalu menunggu.” Kalimat itu seperti suara lembut namun penuh desakan. “Kami di sini selalu menunggu.”
Menunggu. Kata itu terasa sederhana, tapi begitu berat dalam kesunyian malam ini. Aku tak yakin apa yang mereka tunggu. Apakah mereka masih mengenal aku yang sekarang? Apakah aku yang telah melalui semua ini masihlah anak yang sama yang dahulu mereka banggakan?
Bunyi angin malam yang masuk dari celah-celah jendela asrama mengiringi detik-detik yang kurasa seolah-olah bergerak dalam kesunyian. Dalam dinginnya malam, perasaan bersalah melingkupiku, membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui: apakah aku harus tetap di sini, membiarkan waktu berlalu dengan segala keraguan yang menghimpit ini? Atau aku harus mendengarkan panggilan keluargaku, pulang dan kembali pada kehidupan yang lebih nyata?
Perlahan-lahan, aku membaringkan tubuhku di atas ranjang, tetap menggenggam surat itu dengan erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya benda yang menghubungkanku dengan dunia yang lebih baik. Di atas ranjang kayu yang keras, aku memejamkan mata, mencoba menghalau segala kekacauan yang melintas di dalam pikiranku. Tapi bayangan-bayangan tak kunjung pergi.
Permadi, wajahnya muncul sekelebat, mengingatkanku pada percakapan kami yang terakhir. Ia pernah berkata bahwa kebenaran tidak selalu sesuai dengan perintah yang kuterima. Kata-katanya terasa lebih mendalam dalam hening malam ini. Betapa bodohnya aku, terus bersembunyi di balik tugas dan kewajiban tanpa benar-benar bertanya pada diri sendiri apakah yang kulakukan ini benar adanya.
Aku teringat kembali bagaimana pandangan tajam Permadi, yang seolah mampu melihat ke dalam hatiku, menguliti segala alasan dan kebohongan yang kususun. Apakah ia benar? Apakah pengabdian ini tidak lebih dari kebohongan yang kubangun demi membenarkan tindakan yang tak bisa kubenarkan?
Hembusan napas panjang kubiarkan mengalir, mencoba melepas beban yang semakin menekan dada ini. Aku berpaling pada langit-langit asrama, melihat setiap sisi yang menghitam akibat jelaga lampu minyak. Aku merasa menjadi satu dengan ruangan ini—terperangkap, terkurung dalam keyakinan yang kian rapuh.
---
Pagi itu, matahari baru saja naik di atas Pulau Buru, menyinari lapangan kerja yang terbuka dan membiarkan tiap butir debu terangkat dari tanah kering, bercampur dengan peluh serta nafas lelah para tahanan. Aku berdiri di pinggir lapangan, mengamati mereka satu per satu—wajah-wajah yang tampak lusuh dan letih, namun ada sesuatu di dalam mata mereka yang tetap tak kunjung pudar. Semangat itu, ketabahan itu, seperti api kecil yang terus bertahan dalam terpaan angin.
Pagi seperti ini selalu sama. Tahanan-tahanan itu akan berbaris, sebagian dipaksa, sebagian lainnya berjalan dengan kepala terangkat, tanpa ampun menerima beban yang setiap hari harus mereka pikul. Kulihat beberapa dari mereka bekerja dalam kelompok, bergantian mencangkul dan mengangkat tanah, menata batu-batu dengan teliti di bawah terik matahari yang semakin garang. Namun, di tengah-tengah semua ini, tampak mereka saling berbagi tenaga, saling berbagi harapan. Ada tangan yang terulur untuk membantu, ada bahu yang ditepuk untuk memberi semangat.
Aku memperhatikan seorang tahanan tua, kulitnya keriput dan tubuhnya tampak rentan, mencoba memindahkan sekantong pasir yang terlalu berat untuk bahunya yang renta. Tak butuh waktu lama baginya untuk dibantu oleh tahanan lain yang lebih muda, yang meskipun sama-sama kelelahan, tampaknya tidak ragu memberikan bantuannya. Si tua itu tersenyum, mengangguk dalam diam sebagai tanda terima kasih. Mereka berbagi rasa—rasa yang seolah tak lagi ada dalam diriku sejak lama.