Semilir angin mengembuskan rambut, menutupi wajah cantiknya. Ia menyibakkannya perlahan, netra coklatnya menatap lurus ke arah laut yang berkilau disinari cahaya senja.
Tatapannya yang selalu teduh berubah sendu. Desiran ombak, seolah ikut merasakan keheningan diantara kami, sudah satu jam aku dan Rani hanya duduk di bibir pantai tanpa sepatah kata yang terucap.
"Jo..." Suara lembut memanggilku.
Aku menatapnya, menunggu apa yang ia katakan.
Ia menoleh, menatapku. "Untuk terakhir kalinya, aku menanyakan hal ini," Rani menjeda ucapannya.
"Kamu serius nggak sih sama aku?"
"Serius, ran." Jawabku dengan cepat.
"Terus apa buktinya? Jangankan minta restu, kamu aja nggak pernah mau ketemu orang tua aku." Ia menatapku tajam, matanya yang teduh kini penuh pertanyaan dan kekecewaan.
Aku terdiam, tertampar dengan kata-katanya. "Aku bukannya nggak mau Ran, tapi aku cuma... takut. Takut kalau kita bakal berakhir kayak orang tua aku." Aku memberinya penjelasan.
Ia menatapku terkejut. "Lima tahun belum cukup juga buat ngatasin takut kamu??" Suaranya pecah, penuh kekecewaan. "Lima tahun, Jo! Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Aku nggak bisa kalau gini terus, aku capek nunggu terus." Ia berbicara dengan suara yang penuh emosi. Tatapan lelah ia layangkan padaku.
Rani menghela napas panjang, matanya masih terus menatap ku lelah. "Jo, kita udah pacaran selama sembilan tahun, aku nggak mau nunggu-nunggu lagi."
Aku menunduk, tak berani membalas tatapannya. Benar, ternyata kita sudah sangat lama menjalin cinta. Tahun pertama hingga keempat kita masih bisa tertawa, seperti pasangan muda tanpa memikirkan hal yang lebih lanjut. Tapi seiring berjalannya waktu, semuanya kian berubah, Rani mulai sering mempertannyakan keseriusanku.
Ia butuh kepastian, aku tau itu. Tapi setiap ia membahas tentang pernikahan aku selalu menghindarnya. Aku ragu, dan takut. Aku takut pernikahan kami berujung pada perceraian. Aku tidak ingin berakhir seperti orang tuaku.