Jakarta cukup terik hari ini. Panas siang hari di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia memang sangat menyengat akhir-akhir ini. Suhu siang hari bisa mencapai tiga puluh empat derajat celsius. Matahari terlihat sangat jumawa membakar siapa pun manusia di bawahnya. Setidaknya kondisi di luar berbeda jauh dengan keadaan di dalam Kedai Zang Crẽme. Sebuah kedai gelato tua yang menyajikan kelembutan gelato tempo dulu. Di luar Zang Crème, orang-orang pasti melangkahkan cepat kedua kakinya di waktu yang kurang lebih sama. Satu jam setengah bagi sebagian pekerja Ibu kota dirasa kurang, Istirahat jam kantor jadi ajang berlomba-lomba memanjakan lidah setelah setengah harian bekerja. Semua ingin yang terbaik, makanan terbaik, minuman terbaik, tempat duduk terbaik, pelayanan terbaik dan harus diakhiri dengan kudapan terbaik. Zang Crème hadir di tengah hiruk-pikuk itu sebagai penyaji kudapan terbaik. Tak terbantahkan memang, liat saja antrean tamu selepas tiga puluh menit jam makan siang. Semua berburu makanan penutup yang sama, Gelato. Bisa jadi gelato dapat menjadi pelipur lara dan memberikan rasa bahagia di tengah stress pekerjaan mereka. Sampai ada pepatah yang mengatakan, “You can”t buy happiness but you can buy gelato”.
Gustav adalah orang yang dengan senang hati terjebak di hiruk-pikuk para pemburu kudapan siang. Sudah berapa kali ia mempercepat langkah kakinya siang ini, dari satu meja ke meja yang lain, tak memberi waktu sedikit pun untuk kehilangan kesempatan, kesempatan melihat senyum pelanggan Zang Crème puas. Selepas lulus sekolah menengah atas, Gustav memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Baginya, membantu Oma, keluarga satu-satunya yang ia miliki, jauh lebih penting. Walaupun oma berkali-kali memaksanya untuk melanjutkan studi. Dengan badan tegap namun sendikit berisi, Gustav pasti terlihat menonjol di Zang Crème, apalagi ia mengenakan Apron warna merah tua di bagian depan tubuhnya.
“Mas, minta menu, dong,” ujar salah satu pelanggan.
Gustav melangkah lebar-lebar untuk mempercepat laju langkahnya. Ia sibuk sekali, dari satu meja ke meja yang lain. Namun tak terpancar rasa lelah di wajahnya. Ia selalu berusaha memberi senyuman terbaik. Setidaknya itu yang ia yakini untuk membuat para pelanggan gelato terus datang kembali.
Di sudut lain ada seorang wanita berusia lanjut namun masih terlihat awas. Ia mengamati sekeliling toko gelato miliknya. Sesekali ia memerintah Arya, satu-satunya karyawan yang tak ada hubungan darah dengannya. Ya, memang hanya satu, karena satu lagi Gustav cucunya sendiri. Di sela-sela mengamati, ia masih sempat menyapa pelanggannya satu persatu. Terkadang dengan sombong ia menyapa pelangganya sebagai penggemar. Tak pernah ada yang protes. Ya, memang karena yang datang selalu mengagumi oma. Oma menguasai semua jurus marketing pelayanan ala marketer terkenal. Melayani dengan senyum, mengenal dengan baik nama pelangganya satu persatu, ingat semua hal detail tentang pesanan yang biasa dipesan para pelangganya, dan tak segan terkadang ia berjalan menyapa pelanggannya langsung ke meja tempat pelangganya itu memagut gelato.
Selepas mengantarkan buku menu, Gustav terbiasa memberi sedikit waktu pada pelanggannya untuk menentukan pilihan gelato terbaik hari ini, ia lalu menuju oma, dilihatnya wanita senja itu wajahnya terlihat agak lelah, ia sadar oma memang jauh bekerja lebih keras daripada dirinya. Penat pasti menghinggapi raga tuanya “Oma istirahat dulu saja, biar aku dan Arya yang melayani para penggemar oma,” Gustav memberi saran.
Oma menatap cucunya, ia paham dengan saran cucunya, ia berusaha menutupi lelah di tubuhnya dengan senyum di wajahnya sekarang. “Tidak apa-apa, toh oma lebih banyak di sini,” Maksudnya berdiri berjam-jam di dekat meja kasir. oma menolak. “Toh kalian yang lebih lelah, harus mondar mandir melayani pelanggan,”
Gustav melihat para pelanggannya di Zang Crème, ia sadarkan tubuhnya di tembok tepat di sebelah lemari kaca tempat penyajian Gelato. “Melihat pelanggan Zang Crème sudah seperti obat penyemangat yang justru jadi penghilang rasa lelah saat bekerja, Zang Crème seperti memiliki nyawanya sendiri,” Gustav kagum dengan pelanggan dan toko gelato yang dibesarkan omanya tersebut. “Senang ya oma, masih banyak orang yang masih mau singgah ke sini,” ia menatap omanya.
Oma membuka laci dekat mesin hitung kasir, diambilnya foto lelaki tua dengan dirinya. “Iya, Opamu pasti bahagia melihat apa yang diperjuangan oma seperti ini sekarang,” ungkap oma “Walaupun tak pernah terbayangkan oleh Oma, Zang Crème akan sebesar saat ini,” jemarinya mengelus-ngelus wajah pria tua dalam foto.
Pikirannya terlempar jauh mengingat perjuangannya dahulu. Berawal dari sebuah ruang tamu kecil yang hanya berisi dua meja pelanggan. Tak ada yang pernah menyangka Zang Crème kini berisi dua belas meja pelanggan. Tak ada yang berubah dari warna cat dasar dinding Zang Crème. Zang Crème tetap bernuansakan coklat dan merah tua. Perubahan pesat luas Zang Crème saat ini memaksa oma membeli tanah di sebelah Zang Crème kala itu, dan tentu saja dengan sedikit daya imajinasi magic oma, jadilah seperti saat ini. Menjadi sebuah toko gelato sekaligus rumah tinggal bagi oma dan cucunya—Gustav. Secara keseluruhan warna dominan Zang Crème memang persis dengan warna apron yang di kenakan Gustav. Warna yang menjelaskan kedigdayaan Zang Crème saat ini, merah simbol semangat menyala namun elegan. Sedangkan warna pendamping coklat dan kursi-kursi bernuansa klasik sengaja dipilih oma untuk memberi kesan hangat. Selain memang usia toko gelato ini memang sudah lebih dari setengah usia oma.
Oma menatap cucunya—Gustav—yang sedang serius menyiapkan gelato pesanan pelanggan.
Oma menepuk pundak cucunya, ia dekatkan wajahnya untuk berbicara pelan. “Gus,” Sapa oma “Kamu sudah siap?” Oma menanyakan kesiapan cucunya.