Gelinang

Hasan Danakum
Chapter #1

Pertanyaan Yang Ada Dalam Pikiran

Kadang, saat aku melamun, aku membayangkan ada seseorang yang bertanya padaku sebuah pertanyaan yang tidak banyak orang lain tanyakan. Yaitu, ‘Jika kau sudah menikah nanti, kau mau punya anak laki-laki atau perempuan?’. Lalu aku menjawab, ‘Aku ingin anak perempuan’. Dia bertanya lagi, ‘Kenapa kau ingin anak perempuan?’. Aku jawab lagi, ‘Aku ingin membesarkannya dengan cara sebaik-baiknya cara membesarkan sampai dia diminta oleh laki-laki baik dengan cara sebaik-baiknya cara meminta’. Pikiran ini sering sekali terlintas saat aku melamun. Terutama akhir-akhir ini malah sering sekali pertanyaan itu terbesit dalam pikiranku. Mungkin ini dikarenakan besok aku akan menikah. Tinggal menghitung jam aku akan ucapkan ijab kabul dan membuat calon istriku halal bagiku.

Sore ini aku sedang duduk di meja belajar di dalam kamar. Aku coret-coret sebuah kertas kosong. Entah kenapa aku melakukannya. Mungkin saking gugupnya aku melakukan hal yang konyol seperti ini. Mungkin hanya aku saja yang merasakan kalau waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku pulang ke rumah dengan keadaan lututku terluka dan berdarah. Ibuku lalu mengobatiku dengan obat merah. Dia malah memarahiku karena aku sering pulang sore. Aku keasyikan bermain bola dan layangan di sawah. Bajuku kotor penuh lumpur sehingga membuat ibuku marah besar. Tak banyak yang menarik dalam kisah masa kecilku. Seperti kebanyakan anak seusiaku waktu itu. Pulang sekolah pasti langsung bermain. Kadang tidak makan siang dulu. Hal yang paling ditunggu waktu itu adalah bermain game di tempat rental. Walaupun aku dulu pernah punya konsol game, ternyata bermain game di tempat rentalan jauh lebih seru ketimbang bermain di rumah sendiri. Mungkin karena kebersamaan dengan teman-teman dan bisa berkenalan dengan teman baru dari desa sebelah. Menurutku, masa kecilku cukup menyenangkan. Itulah sedikit kisah masa kecilku.

Tak terasa sudah satu jam aku di kamar. Ponselku berbunyi. Ternyata dari calon istriku. Dia mengirim pesan lewat WA untuk menanyakan aku sedang apa. Aku hanya menjawab sedang melamun di kamar. Dia membalas lagi dan rupanya dia juga sama denganku melamun dan memikirkan sesuatu. Apalagi kalau bukan soal pernikahan kita besok. Apakah ini sebuah akhir? Ataukah ini sebuah awal yang baru? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Aku berjalan keluar rumah. Aku siapkan meja dan kursi di teras depan rumah lalu duduk dan meletakkan ponselku di meja kecil tersebut. Aku kembali mengingat masa-masa ketika pacaran dengannya. Pacaran kami cukup singkat, hanya tiga bulan saja. Kami menyebutnya pacaran, tapi dalam sudut pandang agama menyebutnya taaruf. Ya, taaruf. Selama tiga bulan kami saling mengenal. Baik mengenal pribadi masing-masing, ataupun mengenal keluarga masing-masing. Tetapi sebelumnya kami berhubungan jarak jauh ala kadarnya selama dua tahun lebih. Mungkin alangkah lebih baik jika aku ceritakan saat kami berdua pertama kali bertemu. Ceritanya mungkin akan agak panjang.

***

Pertemuanku dengannya terjadi sekitar dua setengah tahun yang lalu. Waktu itu, aku iseng jalan-jalan di kota Bandung. Aku berangkat ke BEC (Bandung Electronic Center) bersama seorang temanku. Pria muda, tinggi, rambut lurus, wajahnya agak lonjong, dan matanya yang agak sipit. Kami tiba di sana pukul satu siang. Setelah memarkirkan mobil di basement, kami naik lift menuju lantai dua di mana lantai ini berisi deretan toko-toko yang menjual aksesoris komputer dan laptop. Aku dan temanku berkeliling sambil melihat-lihat. Saat tiba di sebuah toko laptop, aku berhenti karena melihat dua orang wanita berhijab sedang berdebat di depan etalase toko. Aku mendekati mereka sambil mendengar pembicaraan mereka. Temanku pun tak tahu kalau aku sengaja diam sebentar.

Aku memperhatikan laptop yang dipajang di etalase sambil menguping pembicaraan mereka.

“Kamu mau beli yang mana?” tanya wanita berhijab kuning.

“Enggak tahu bingung aku juga.” jawab wanita berhijab merah.

“Ih! Kok gitu?”

“Aku enggak ngerti soal laptop.”

“Kita tanya aja penjualnya. Aku juga enggak ngerti.”

Mereka berdua lalu berdebat lagi. Temanku tiba-tiba menepuk pundakku di belakang.

“Eh, kok malah diam?”

“Husshh...aku sedang merhatiin kedua cewek itu.”

“Hmmm...pantesan.”

“Eh, Do. Mending kita bantu mereka,” kataku.

“Bantu apa?” tanya Edo.

“Bantu cariin laptop. Kayaknya mereka lagi kebingungan.”

“Boleh aja.”

Aku mendekati kedua orang wanita itu.

“Cari apa Teh? Kok serius gitu,” sapaku sambil melihat-lihat laptop.

“Lagi cari laptop,” balas wanita berhijab merah.

“Oh. Mau aku bantu?”

“Jangan nanti ngerepotin.”

“Ah. Enggak ngerepotin kok.”

“Udah jangan jual mahal, Res. Ada yang bantun tuh.” kata temannya yang memakai hijab kuning.

“Jadi kamu mau beli yang mana?” tanyaku yang masih melihat-lihat etalase.

“Ngomong-ngomong, nama Aa siapa?” tanya wanita berhijab kuning.

“Nama aku Jaka. Dan ini sahabat aku Edo,” jawabku sambil memegang pundak Edo.

“Aku Edo,” kata Edo menempelkan kedua telapak tangannya.

“Oh Jaka dan Edo. Kalau aku Medina. Ini teman aku namanya Resa. Dia yang mau beli laptop.”

Aku melihat ke arah wajah Resa. Ternyata dia cantik sekali. Matanya sayu, bibirnya manis dan wajahnya putih bersih. Dia menundukkan kepalanya ketika aku melihat wajahnya. Sedangkan Medina, gadis dengan tubuh agak gemuk nan energik dengan mata yang tajam dan dia tak malu-malu berbicara dengan lawan jenis.

“Jadi kamu mau beli yang mana?” tanyaku kepada Resa.

“Aku masih bingung,” Resa masih menundukkan wajah.

“Kamu mau pakai buat apa memangnya?”

“Buat ngetik aja sih.”

“Oh cuma buat ngetik. Ya udah yuk masuk.”

Aku masuk ke dalam toko diikuti Edo, Resa dan Medina. Si penjaga toko yang badannya kurus menyambut kami dengan ramah. Aku pun langsung bertanya kepada pemilik toko sebuah laptop dengan spesifikasi yang tidak terlalu tinggi. Tentunya aku memilih merek-merek yang sudah terkenal. Penjaga toko yang bernama Fuad ini langsung menunjukkan laptop yang aku maksud yang ada di etalase di dalam toko dengan harga, spesifikasi, dan warna yang beragam. Resa terlihat melihat-lihat laptop itu dengan sirus. Dia berdiskusi lagi dengan Medina. Aku pun berbisik dengan Edo.

“Eh, dia cantik,” sahut Edo berbisik di telingaku.

“Dia lagi serius memilih. Beri dia waktu,” kataku yang juga berbisik.

“Bukan yang itu tapi yang satunya lagi.”

“Siapa? Medina?”

Edo mengangguk. Dan aku malah menggelengkan kepala.

Aku melirik ke arah Resa dan bertanya “Jadi pilih yang mana?”

“Yang ini aja deh,” Resa menunjuk ke arah laptop berwarna perak.

“Kang, yang ini. Sudah ada OS-nya belum?” tanyaku kepada Fuad.

Fuad melihat-lihat laptop yang dimaksud Resa dan menjawab “Oh belum. Mau diinstalin?”

“Boleh. Tolong pakai Windows 10 64-bit dan partisi C 100GB saja.”

“Oh siap!”

Fuad langsung mengambil tipe dan merek laptop di etalase yang lain. Dia menurunkan sebuah dus yang masih disegel rapi. Kemudian dia membuka segel itu dengan pisau dan membuka isinya. Fuad menaruh laptop yang baru itu di atas etalase dan membuka layarnya. Resa melihat-lihat layar laptop itu. Dia mengangguk kemudian Fuad menyuruh kami berempat untuk duduk karena proses instalasi agak lama. Aku duduk bersebelahan dengan Resa. Dia duduk di sebelah kananku. Sementara Edo di sebelah kiriku dan Medina di sebelah kanan Resa.

Lima menit suasana hening. Aku memberanikan diri untuk bertanya. Namun saat aku hendak membuka pembicaraan, Resa berdiskusi lagi dengan Medina. Aku mengurungkan niat dan mengobrol ngalor-ngidul dengan Edo. Aku menyinggung soal Resa. Edo tersenyum dan alisnya dia angkat sambil menggoda. Aku balas senyumannya dengan senyuman kecut. Sementara Resa sedang berdiskusi dengan Medina. Kemudian Fuad kemudian melirik ke arahku.

“Kang, programnya nanti mau diinstal apa?” tanya dia sambil terus memperhatikan layar laptop.

Ini kesempatanku untuk bicara dengan Resa.

Aku melirik ke arah Resa dan bertanya “Mau diinstal apa lagi, Res?”

“Eh,” Resa menengok dan menatap wajahku.

Inilah pertama kali aku bertatapan dan saling berhadapan wajah satu sama lain. Sungguh tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata.

“Ma...mau diinstal apalagi?” tiba-tiba aku malah jadi gugup.

“Apa aja deh yang penting bisa mendukung dan cocok dengan aku.”

“Kang, yang siap pakai aja. Program yang standar,” kataku kepada Fuad.

Fuad mengangguk dan melanjutkan tugasnya. Edo mengajakku membahas rencana kemping minggu depan. Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ponsel Resa berbunyi. Dia mengangkat telepon dan didengar dari pembicaraannya, sepertinya itu telepon dari ibunya. Dalam obrolannya aku tahu kalau ibunya bertanya apa sudah dapat laptopnya atau belum. Tak berapa lama Resa menutup telepon. Sekitar satu jam kemudian Fuad selesai dengan tugasnya. Dia memperlihatkan tampilan desktop kepada Resa dan dia mengangguk. Fuad lalu mencoba charger-an laptop. Setelah semua berjalan dengan baik, dia membungkus laptop itu dengan rapi. Kemudian Resa membayar dan transaksi selesai. Kami mengucap terima kasih kepada Fuad. Dia juga demikian. Entah mana yang harus mengucap terima kasih terlebih dahulu. Pedagang atau pembeli. Masih menjadi misteri.

Kami berjalan keluar menyusuri lorong yang sisi kiri dan kanannya berderet toko-toko komputer, laptop, kamera dan aksesoris. Para penjaga toko pun tak hentinya menawarkan barang di tokonya masing-masing. Begitu ramai seperti di pasar tradisional. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Edo bertanya sesuatu.

“Kalian mau langsung pulang?” tanya Edo.

“Huss!,” aku menyikut tangan Edo dengan siku kiriku.

Medina yang berjalan di depan berhenti lalu berbalik, “Kayaknya mau langsung pulang aja. Iya kan, Res?” dia melirik ke arah Resa.

“Iya. Langsung pulang aja,” Resa tersenyum.

“Kalian bawa kendaraan?”

Medina dan Resa menggelengkan kepala.

“Terus kalian naik apa?” tanyaku dengan spontan. Bahkan aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba bertanya.

“Kami berdua naik angkot, A.” Jawab Resa.

Aku kaget Resa memanggilku Aa. Rasanya aku ingin tersenyum lebar dan melompat karena saking senangnya.

“Ikut aja sama kita. Nanti kita antar sampai rumah,” ajak Edo.

Medina dan Resa saling menatap. 

“Ahh anti ngerepotin,” kata Medina.

“Enggak, kok. Lagian kita bawa mobil. Nih mobilnya si Jaka,” Edo menepuk pundakku. Aku malah cengengesan.

“Gimana, Res?” tanya Medina kepada Resa.

Resa diam untuk berpikir lalu berkata, “Boleh, deh.”

Rasanya aku ingin berjingkrak-jingkrak seperti orang yang baru dapat harta karun.

“Ya udah mari aku bawain laptopnya,” aku merangkul laptop yang sudah dibungkus rapi di tangan kanan Resa.

Saat aku mengambil laptopnya, dia tersenyum sambil menundukkan pandangannya. Kami berempat lalu menuju lift dan menunggu pintu lift terbuka. Setelah menunggu selama satu menit, tiba-tiba Medina berkata kalau dia ingin ke toilet.

“Kebelet banget, nih,” kata Medina sambil dia berjingkrak kecil.

“Ya udah buruan ke toilet,” kataku.

“Kalian tunggu di sini, ya? Res, aku titip tas aku,” Medina memberikan tasnya kepada Resa dan dia langsung lari bergegas mencari toilet.

Tak berapa lama, pintu lift terbuka. Beberapa orang yang menunggu bersama kami sudah masuk ke dalam lift. Seorang pemuda yang di dalam lift bertanya apa kami mau masuk atau tidak.

“Masih muat kok,” sahut pemuda itu.

“Duluan aja, Kang. Kita lagi nunggu temen yang lagi ke toilet,” balas Edo.

Pemuda itu mengangguk lalu memijit tombol dan pintu lift tertutup. Suasana kembali diam. Lalu, Edo menepuk pundakku.

“Ka, aku lupa beli flashdisk,” katanya.

“Ya udah sana mumpung Medina masih di toilet.”

“Aku cari flashdisk dulu, ya? Nanti kembali lagi,” Edo langsung pergi berlari.

Suasana hening lagi. Dan sialnya tidak ada orang yang antre untuk naik lift. Sehingga hanya aku dan Resa berdiri mematung saling berdampingan menatap pintu lift yang berwarna perak. Aku perhatikan layar indikator yang menunjukkan lift sedang berada di lantai berapa sekarang. Layar itu menunjukkan kalau lift sudah ada di parkiran basement. Aku melirik ke arah Resa. Dia hanya diam sambil sesekali melihat layar ponselnya karena ada pesan masuk.

“Dari ibu kamu?” tanyaku.

Resa mengangguk. Aku diam lagi untuk berpikir dan memilih topik pembicaraan. Saat aku diam dalam berpikir, tiba-tiba Resa bertanya.     

“Teman Aa si Edo ke mana?” tanya dia sambil menengok ke arahku.

“Katanya lupa beli flashdisk,” jawabku.

“Ohhh...” Resa manggut-manggut.

“Ka...kamu orang Bandung asli?” tanyaku dengan gugup.

“Aya sama ibu asli Cimahi. Eh tapi Cimahi juga masih termasuk Bandung.”

“Ohhh...” kini aku yang manggut-manggut.

Suasana kembali hening. Sekitar sepuluh menit kemudian, Medina datang. Dia senyum-senyum sendiri yang membuatku keheranan.

“Maaf lama tadi antre soalnya hehehe,” katanya cengengesan.

“Kok senyum-senyum sendiri?” kata Resa sambil memberikan lagi tas Medina.

“Tadi ada kejadian lucu waktu di WC.”

“Kejadian apa?” tanyaku.

“Kamu gak boleh denger.” Medina melambaikan tangan kanannya.

“Lho, kenapa?”

“Ini masalah cewek,” Medina tersenyum diikuti oleh Resa yang juga tersenyum.

“Ya udah.”

Kemudian Medina dan Resa saling berbisik dan sesekali terdengar suara tawa mereka.

“Si Edo ke mana?” tanya Medina setelah saling berbisik dengan Resa.

“Katanya lupa beli flashdisk.” jawabku.

“Ohh...” sekarang giliran Medina yang manggut-manggut.

Lalu tiba-tiba ponselku berbunyi. Ternyata pesan WA dari Edo yang mengatakan kalau dia lupa bawa uang. Aku geleng-geleng kepala yang diperhatikan oleh Medina dan Resa.

“Ada apa, A?” tanya Resa.

“Si Edo lupa bawa uang. Kayaknya aku harus ke sana dulu.”

“Ya udah sini laptopnya. Pasti berat harus dibawa-bawa.”

Saat Resa hendak mengambil laptop dari genggamanku, tiba-tiba Medina menghentikannya.

“Ehhh! enggak usah. Mending kita susul Edo aja. Lagian aku bete nunggu di sini.”

“Ya udah yuk,” aku berbalik dan mulai berjalan.

Resa dan Medina mengikutiku dari belakang. Aku lalu membuka ponsel lagi untuk menanyakan Edo ada di toko yang mana. Setelah dia membalas pesan WA, kami langsung menuju toko yang dimaksud Edo. Sampai di sana, Edo berdiri sambil tersenyum lebar di antara orang-orang yang antre untuk membeli.

“Hehehe...maaf ngerepotin,” kata Edo sambil cengengesan.

“Jadi berapa harganya?” tanyaku.

“Delapan puluh ribu.”

Aku mengeluarkan dompet dan langsung memberi Edo uang pecahan seratus ribu. Setelah semua selesai, kami langsung kembali ke lift dan menunggu. Tak berapa lama, pintu lift terbuka dan kami langsung masuk lalu turun ke lantai basement. Di dalam lift lumayan sesak. Tak berapa lama kami sampai di lantai basement dan langsung menuju tempat di mana aku memarkirkan mobilku. Aku merogoh saku kemeja untuk mengambil kunci mobil. Setelah aku menekan tombol untuk membuka kunci, aku ke bagasi mobil untuk menyimpan laptop Resa. Kemudian kami semua masuk. Aku dan Edo di depan lalu Resa dan Medina di belakang. Mobilku hanya bisa muat maksimal empat orang. Saat membayar uang parkir, aku menanyakan alamat rumah Resa.

“Alamat rumah kamu di mana?” tanyaku setelah selesai membayar uang parkir kepada petugas.

“Rumah aku ada di Komplek Jati Permai. Deket kok, A. Nanti aku yang rahim jalannya,” jawab Resa.

“Siap!”

Aku memacu mobilku keluar BEC lalu berbelok ke kanan menyusuri jalanan Bandung menuju rumah Resa sesuai arahan dari dia. Sekitar kurang lebih hampir dua puluh menit, kami sampai di jalan Otto Iskandar Dinata. Lampu merah menyala sehingga jalanan jadi macet yang lumayan panjang. Di sebelah kiri terdapat Lapangan Tegallega. Di trotoarnya pun terdapat banyak pedagang buah-buahan. Selama menunggu lampu merah, Medina memulai pembicaraan.

“Eh, kalian baru kali ini ke Bandung?” tanya dia.

“Sebenarnya—.”

“Paling jauh cuma sampai BEC doang,” potong Edo.

“Oh. Kebetulan banget dong ketemu kita. Jadi kalian bisa jalan-jalan agak jauh lagi hehe.”

“Eh ngomong-ngomong, buah yang dijual sama pedagang itu enak-enak gak?” tanyaku.

“Mending jangan deh,” kata Resa.

“Kenapa?” tanya Edo dan aku hampir bersamaan.

“Soalnya kadang mereka suka gak jujur. Pasti tahu lah apa yang aku maksud,” jawab Medina menjelaskan.

    Kemudian lampu merah berganti jadi hijau. Aku memacu pelan mobilku. Saat sampai di pertigaan besar antara jalan Otto Iskandar Dinata, jalan Peta, dan jalan BKR, Medina mengatakan untuk lurus masuk ke jalan kecil yang ia sebut jalan Inhoftank. Pertigaan besar ini begitu ramai sekal dengan kendaraan. Bahkan saat masuk jalan Inhoftank juga banyak lalu lalang kendaraan baik roda dua ataupun roda empat. Medina menjelaskan kalau jalan ini sering digunakan sebagai jalan tikus. Karena jika terus lurus ke depan, kita akan tiba di jalan Soekarno Hatta.

    Setelah beberapa saat kita semua sampai di pintu masuk Komplek Jati Permai, aku belokkan mobilku ke kanan dan masuk portal kemudian memarkirkan mobilku tak jauh dari sana. Kami semua lalu turun dan aku kembali menjinjing laptop Resa yang aku ambil di bagasi mobil. Kami berjalan menyusuri kompleks ini. Tak berapa lama kami langsung sampai di depan rumah Resa. Rumah yang sedang dengan dua lantai. Catnya berwarna putih dan ada kolam kecil di depannya dilengkapi pot tanaman yang beberapa sudah layu.

    “Ini rumahnya Resa,” kata Medina sambil tersenyum.

    “Yuk masuk,” ajak Resa.

    Saat Resa dan Medina membuka pintu gerbang pagar besi, sesosok ibu-ibu dengan jilbab cokelat keluar menyapa kami. Wajahnya tak jauh berbeda dengan Resa.

    Resa dan Medina mengucap salam lalu mencium tangan ibu itu. Aku dan Edo juga melakukan hal yang sama.

    “Aduh, kalian bawa teman?” sapa ibunya Resa sambil tersenyum ramah.

    “Iya tante.” kata Medina.

Lihat selengkapnya