Gelinang

Hasan Danakum
Chapter #2

Ingatan Masa Lalu Yang Berputar Kembali

Pagi sudah menjelang. Aku pun sudah siap dengan memakai pakaian terbaik. Edo juga sudah datang dari subuh untuk membantu semua persiapan. Tak banyak barang seserahan yang dibawa. Karena ini permintaan dari Pak Raharjo. Dia mengatakan kalau menikah itu tak perlu dipersulit dengan seserahan yang menelan biaya yang tidak sedikit. Hanya membawa mahar dan maskawin saja sudah lebih dari cukup. Mahar dan maskawinku untuk Resa hanya seperangkat alat salat, dan uang sebesar dua juta rupiah. Dan ada juga sepasang cincin pernikahan. Sangat standar sekali sebenarnya. Saudara-saudara jauhku pun sudah datang. Tetangga-tetangga yang mau ikut juga lumayan banyak. Mereka bahkan patungan untuk menyewa mobil. Aku jujur tidak sanggup untuk menanggung biaya menyewa mobil. Tapi mereka selalu berkata tidak perlu dipikirkan. Ini sudah menjadi kewajiban seorang yang bertetangga. Mereka pun ingin melihat Bandung selain ingin mengantarku. Total sekitar sepuluh mobil yang akan berangkat termasuk mobilku. Tapi jumlah orang yang ikut aku tidak tahu. Lagi pula aku tidak ada kerjaan sekali kalau harus menghitungnya. Pokoknya asal semua ikhlas aku balas dengan doa terbaik.

    Semua sudah siap. Tinggal berangkat menuju Bandung. Namun saat aku menghampiri Edo yang sedang duduk di teras rumah, dia malah diam dan wajahnya pucat.

    “Kamu kenapa Do?” tanyaku sambil menatap wajahnya.

    “Ka, aku takut. Aku belum lancar nyetir mobil,” jawab Edo dengan wajah yang sedikit pucat.

    “Ah itu cuma perasaanmu saja. Kan aku udah ajarin selama enam bulan. Lagian kamu juga udah dapet SIM kan?”

    “Iya sih. Tapi gimana kalau di jalan kita nyungsep di kebun teh?”

    “Pikiranmu ngeri sekali Do. Udah lah enggak perlu dipikirin. Lagian kamu kan bawa mobil aku. Aku yang arahin. Tenang aja.”

    Edo sudah mulai yakin. Aku pun terus menyemangatinya. Kami semua sudah masuk ke dalam mobil masing-masing. Di mobilku ada kedua orang tuaku, aku, dan Edo yang menyetir. Sementara kedua orang tua Edo naik di mobil lain. Pukul setengah delapan pagi kami berangkat yang dipimpin oleh mobilku di rombongan paling depan. Rombongan beriringan dengan kecepatan sedang. Karena sopir-sopir yang lain tidak tahu lokasi rumah Resa. Bahkan ada yang belum pernah ke Bandung sama sekali.

    Perjalanan berjalan lancar. Hingga sampai di alun-alun Subang jalanan agak macet. Aku malah khawatir kalau terpisah dari rombongan. Dan akhirnya, macet total. Mobil tak bisa berjalan sedikit pun. Menurut seorang penjual minuman, macet ini diakibatkan oleh mobil bus yang bannya pecah sehingga menyebabkan antrean yang lumayan panjang. Ibuku sibuk menelepon semua orang yang ikut rombongan di mobil yang lain agar tidak terpisah. Sementara aku melamun hal-hal yang tak penting. Semakin dalam lamunanku, semakin aku teringat kembali ke masa ketika aku masih kelas empat SD. Dulu waktu Kakek dan Nenekku masih hidup, setiap libur sekolah pasti aku dan kedua orang tuaku mengunjungi mereka. Rumah mereka tak jauh dari pasar Pujasera Subang yang sekarang sudah dijual rumahnya. Waktu itu, aku sedang jalan-jalan menyusuri gang-gang yang banyak dilalui kendaraan bermotor. Saat aku berbelok ke kanan ke sebuah gang sempit, aku mendapati sebuah jembatan kecil yang di bawahnya ada sungai kecil yang lumayan deras arusnya. Seingatku airnya dulu masih bersih sekali. Aku berjalan dan berdiri di sisi jembatan lalu aku melihat ke bawah. Dari kejauhan, aku melihat tiga anak lelaki sedang bermain. Dilihat dari postur tubuhnya sih, sepertinya mereka lebih muda daripada aku. Aku perhatikan mereka sedikit bertengkar. Dan sesuatu mengerikan pun terjadi. Salah seorang anak yang kulitnya putih didorong oleh kedua temannya yang lain sehingga dia jatuh ke sungai. Sontak kedua temannya itu langsung panik dan mereka malah kabur. Anak yang jatuh itu meminta tolong dan terbawa hanyut hingga sampai ke jembatan tempat aku berdiri. Aku hanya diam saja tak bisa berbuat apa-apa sampai dia hanyut melewati jembatan. Tanpa pikir panjang aku langsung lari menuruni sisi jembatan dan menyusuri sisi sungai untuk menolongnya. Awalnya aku hanya berlari sambil mengulurkan tangan. Tapi jika terus seperti ini, dia bisa mati tenggelam. Aku kemudian beranikan diri untuk turun ke sungai. Berlari sekuat tenaga lalu aku loncat dan langsung aku terkam tubuhnya. Ternyata airnya tak begitu dalam. Tapi karena dia tubuhnya kecil, wajar dia terbawa arus. Aku bopong dia ke sisi sungai dan aku rebahkan badannya yang sudah mulai lemas.

    Aku menepuk-nepuk pipinya. Dia tidak sadarkan diri. Aku panik setengah mati sampai ada seorang pria yang lewat dan langsung menolongku. Dia membawa anak yang hanyut itu ke orang tuanya. Ternyata rumahnya tak jauh dari rumah kakek dan nenekku. Keesokan harinya aku kunjungi dia. Dia malah menangis dan berterima kasih kepadaku. Aku hanya diam saja. Saat itu aku hanya anak-anak yang belum berani bicara banyak. Saat duduk di samping anak berkulit putih ini aku mendengar pembicaraan kakekku dengan ayahnya anak ini. Mereka berdua membicarakan kasus ini. Ternyata sudah diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Dan masalah pun selesai. Entah kenapa aku malah ingat masa-masa itu. Sebenarnya itu pengalaman yang sangat tak terlupakan. Andai saja sungai lebih dalam waktu itu. Kami berdua pasti akan mati tenggelam. Dan mungkin sekarang aku tidak akan duduk di dalam mobil yang dikemudikan Edo menuju rumah calon istriku.

    Setelah beberapa saat, akhirnya mobil bisa melaju juga dan perjalanan kembali dilanjutkan. Kami sampai di kota Bandung menyusuri jalan Dr. Setiabudi. Ketika melewati Cihampelas, kami tiba di bawah jalan layang Pasupati. Di mana di atasnya terdapat semacam menara pipih dengan tali sebagai penyeimbang. Mirip seperti yang ada di jembatan-jembatan besar. Jalan layang ini menjadi salah satu destinasi yang ikonik di kota Bandung. Perjalanan rupanya banyak menemui kendala. Mulai dari para sopir yang minta untuk menunggu karena mereka tertinggal jauh, sampai ada yang menyasar entah ke mana. Tapi syukurlah semua rombongan tiba di rumah calon istriku tanpa ada yang tertinggal. Saat sampai di sana dan mematikan mesin mobil, wajah Edo terlihat lega seperti melepas beban berat dalam hidupnya. Aku hanya menepuk pundak Edo sambil memujinya kalau menyetirnya sangat bagus dan seirama.

    “Kamu pikir konser musik pake seirama segala?” gerutu Edo dengan kecut.

    “Aku cuma bercanda. Yuk turun semuanya udah menunggu,” kataku yang langsung turun dari mobil.

    Semua rombongan juga sudah turun dari mobil. Kami semua berbaris rapi dan aku berada di barisan paling depan didampingi ke dua orang tuaku. Edo dan kedua orang tuanya ada di barisan ke dua. Lalu, ada seorang pria tua menghampiri kami dan dia berkata kalau segala sesuatu sudah siap. Dia menginstruksikan semua rombongan untuk mengikutinya dengan berjalan secara perlahan. Kami kemudian berjalan perlahan dan beriringan. Sebenarnya aku tak merasakan apa-apa. Pikiranku malah kosong dan ekspresi wajahnya malah biasa-biasa saja. Bahkan untuk tersenyum pun terasa sangat kaku sekali. Sungguh payah aku ini. Saat hampir tiba di depan rumah calon istriku, ada lagi dua orang anak muda (yang satu laki-laki dan satunya lagi perempuan berhijab) menghentikan rombongan. Mereka mengatakan kalau tamu laki-laki dan perempuan dipisah. Kecuali anak-anak boleh mengikuti ibunya. Semua rombongan keheranan dengan situasi yang berbeda ini. Tapi akhirnya mereka paham dan mengikuti instruksi dua orang anak muda tersebut. Semua tamu masuk ke tempat yang sudah disediakan. Tempatnya sebenarnya bersebelahan antara laki-laki dan perempuan. Hanya disekat dengan kain yang biasa dipakai untuk menghias tenda. Di dalamnya juga aku lihat sudah tersaji hidangan, cemilan, dan buah-buahan. Sehingga saat mereka masuk, ada lagi orang-orang yang bertugas melayani mereka jika ingin butuh apa-apa.

    Aku langsung dibimbing masuk ke dalam rumah ditemani oleh kedua orang tuaku dan Edo. Sementara kedua orang tua Edo ikut masuk rombongan untuk dijamu. Sesampainya di dalam, aku melihat ke dua orang tua Resa, Kakak perempuannya berserta anak dan suaminya, Medina, dan beberapa orang yang aku belum kenal. Kami semua dipersilakan duduk. Pak Raharjo kemudian memperkenalkan kalau orang yang aku tidak kenal tadi adalah Pak RT, beberapa teman kantornya, dan juga seorang penghulu. Pak Raharjo juga meminta untuk mempersilakan masuk beberapa orang sebagai saksi untuk menambah-nambah saja karena ruangan masih cukup untuk beberapa orang. Edo kemudian ke luar dan tak berapa lama kembali masuk dengan kedua orang tuanya dan beberapa orang dari tetangga sebelah. Acara kemudian dimulai.

    Di luar, ada seorang bapak-bapak yang bertugas seperti pembawa acara. Dia mengatakan melalui pengeras suara kalau akad nikah akan dilaksanakan. Dia juga mempersilakan para rombongan menikmati hidangan. Aku bisa mendengarnya dengan jelas di dalam sini. Kemudian Pak Penghulu berbisik kepada Pak Raharjo dengan serius. Lalu, Bu Yeti menyuruh Medina untuk memanggil Resa. Medina berdiri dan berjalan menuju lantai atas. Sekitar lima menit, dia turun bersama Resa yang sudah memakai gaun berwarna putih dan hijab yang warnanya juga sama. Sungguh baru kali ini aku melihat Resa didandani secantik ini. Walaupun aku lebih suka yang natural, tapi rasanya dandanan Resa tak berlebihan. Jadi kesan natural masih terpancar di wajahnya.

    Resa kemudian duduk di sampingku. Pak Penghulu memulai akad.

    “Baiklah hadirin sekalian,” kata Pak Penghulu memulai acara, “Sepertinya acara nikah ini bisa kita mulai sekarang. Saya sempat berbincang dengan ayah daripada mempelai wanita. Kami sepakat kalau yang akan menikahkan anak bungsu perempuannya ialah ayahnya sendiri. Untuk itu, saya persilakan kepada Pak Raharjo.”

    Pak Penghulu mundur ke belakang dan Pak Raharjo maju ke depan.

    “Kamu sudah siap?” tanya Pak Raharjo dengan serius.

    Aku mengangguk dengan penuh percaya diri.

    Pak Raharjo lalu menggenggam tangan kananku dengan tangan kanannya.

    “Saya nikahkan dan kawinkan. Saudara Jaka Ade Firman bin Suhendar dengan anak saya yang bernama Rani Eka Sastra Andini binti Raharjo Surahman dengan maskawin seperangkat alat salat dan uang sebesar dua juta rupiah dibayar tunai,” ucap Pak Raharjo sambil mengayunkan tangan kanannya.

     “Saya terima nikah dan kawinnya Rani Eka Sastra Andini binti Raharjo Surahman dengan maskawin tersebut dibayar tunai,” balasku dengan tenang dan sejelas mungkin.

    “Bagaimana saksi?” kata Pak Penghulu.

    “SAAAHHHH!!!” kata semua saksi yang hadir dengan agak berteriak.

    Seorang bapak-bapak yang di luar juga sama berkata “SAHH!!” melalui pengeras suara. Sehingga para rombongan juga bisa mengetahui apa yang terjadi di sini.

   Kemudian Pak Penghulu memimpin doa. Setelah selesai, Resa disuruh oleh ibunya untuk mencium tanganku. Dan aku mencium kening Resa. Saat hendak dicium, Resa memejamkan mata sambil tersenyum manis. Aku hanya mencium sebentar saja. Sebab aku takut kalau makeup yang dia pakai menempel di bibirku. Ketika aku kecil, aku pernah tak sengaja bedak ibuku masuk ke dalam mulutku. Sungguh rasanya aku ingin muntah jika mengingat kejadian itu. Tapi untunglah makeup Resa tidak berlebihan. Sehingga ketika selesai mencium keningnya, aku coba menjilat-jilat bibirku. Dan rasanya tidak ada yang aneh. Jadi aku bisa makan setelah ini. Sebenarnya aku belum makan apa-apa sejak pagi. Hanya minum segelas air putih saja.

    Oh iya, aku belum cerita kalau sebenarnya nama asli istriku bukan Resa. Melainkan Rani Eka Sastra Andini. Jadi Resa itu diambil dari huruf pertama dari nama lengkapnya. Aku baru tahu nama sebenarnya ketika hendak mendaftar ke kantor KUA.

    Acara kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Beberapa orang yang bertugas mengantarkan makanan datang dan menyuguhkan hidangan. Aku dan Resa mendapat hidangan yang spesial. Satu piring dengan nasi yang banyak dan lauk yang banyak pula.

    “Bagaimana besan hidangannya?” tanya Pak Raharjo kepada orang tuaku.

    “Enak Pak. Terima kasih telah menyambut kami. Saya juga dapat perwakilan rombongan di luar melalui WA kalau mereka juga berterima kasih,” jawab Bapakku.

    “Ahh sudah lah. Di sini saya hanya memuliakan tamu. Hidangannya juga sama semua tidak ada yang beda.”

    “Tapi Pak, kok tidak ada tempat amplop ya?” tanya ibuku keheranan.

    “Tidak perlu beri amplop segala, Bu. Kita kan niatnya mengadakan pesta pernikahan. Semua orang harus tahu kalau sedang ada pesta pernikahan. Karena pernikahan itu harus diberitakan berbeda dengan perzinaan,” Pak Raharjo tersenyum, “Untuk tamu maaf antara laki-laki dan perempuan dipisah. Saya hanya mencoba untuk melestarikan kebiasaan keluarga saya saja. Jika ada kekurangan mohon maaf yang sebesar-besarnya,” tambahnya dengan sedikit menunduk.

    “Keluarga kami yang harusnya minta maaf karena tidak bisa membantu dana untuk pesta ini,” bapakku juga sedikit menunduk..

    “Tak masalah. Tak perlu dipikirkan. Hari ini kita berbahagia saja melihat anak kita menikah. Ya sudah silakan dinikmati. Jangan sungkan-sungkan kalau kurang, kami sudah masak banyak.”    

    Aku tak memedulikan dialog Pak Raharjo dan bapakku. Yang aku rasakan sat ini adalah rasa lapar. Jadi aku makan dengan lahap sekali. Resa sempat bertanya dengan berbisik ke telingaku.

    “Kamu kenapa sih? Kayak enggak makan tiga hari?” bisiknya.

Lihat selengkapnya