Sudah satu minggu aku berada di rumah. Rasanya sungguh membosankan. Pagi ini aku putuskan untuk keluar jalan-jalan menyusuri kota Bandung. Siapa tahu ada info lowongan kerja. Aku keluar rumah dan duduk di bangku depan teras rumah yang lumayan sempit. Pikiranku melayang-layang dan aku selalu bertanya kepada diriku sendiri sebenarnya aku harus cari kerja ke mana. Pak Raharjo kemudian keluar rumah dan membuyarkan semua yang sedang aku pikirkan.
“Ngapain kamu pagi-pagi melamun?” tanya dia sambil duduk di teras dan menyemir sepatu hitamnya yang sebenarnya sudah terlihat mengkilap.
“Saya bingung Pak mau cari kerja apa,” jawabku.
Pak Raharjo hanya tertawa mendengar jawabanku. Aku berpikir apa sebaiknya aku kerja di tempat dia saja. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya.
“Pak, sebenarnya Bapak ini kerja di mana?”
Pak Raharjo tertawa lagi, “Kenapa? Kamu mau kerja di kantor Bapak?” tanya dia kemudian.
“Siapa tahu saya bisa bantu,” aku malu-malu.
Pak Raharjo menatap wajahku lalu berkata, “Tidak perlu ikut Bapak. Karena Bapak juga kerja dengan orang lain. Bapak itu bekerja di perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat dapur untuk hotel bintang lima. Jadi hampir semua hotel di Bandung, pasti pesan ke perusahaan Bapak. Terus perusahaan Bapak impor dari luar negeri.”
Aku hanya diam.
Pak Raharjo kemudian tersenyum, “Kamu gak perlu repot-repot cari kerja,” tambahnya.
Aku sekarang malah diam keheranan.
“Kamu lanjutkan saja usaha toko roti punya ibu.”
“Emang kenapa kok saya yang harus lanjutin?”
“Kenapa tidak? Daripada kamu susah-susah cari kerja, mending lanjutin saja usaha roti punya ibu.”
“Emang dibolehin gitu?”
“Ya boleh dong. Sebenarnya, Bapak sengaja buat toko roti. Sebentar lagi Bapak mau pensiun. Jadi bapak dan ibu dirikan usaha juga buat Resa agar lulus kuliah nanti tidak perlu cari kerja.”
Aku mengangguk.
“Ya sudah Bapak pergi dulu.”
Setelah Pak Raharjo pergi, aku masuk ke dalam rumah kemudian menanyakan perihal toko itu kepada Bu Yeti.
“Kalau kamu mau terusin, ya terusin aja atuh,” jawabnya.
“Tapi Jaka masih belum bisa soal bisnis,” aku mengernyitkan alis.
“Nanti juga bisa kok.”
Tak berapa lama, Resa turun dari kamar dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Kemudian aku menceritakan semuanya.
“Mamah serius?” tanya Resa.
“Ya serius atuh. Mamah sama ayah mau hari tua di Cimahi. Kalian tinggal aja di rumah ini. Enggak lama lagi ayah juga pensiun.”
Aku dan Resa saling berpandangan.
“Kalau perlu, minta bantuan Medina,” usul Bu Yeti.
“Ya sudah Jaka pikir-pikir dulu, Bu.”
“Kenapa pikir-pikir? Tanpa kamu mikir, toko itu juga bakal diterusin sama kalian.”
“Nanti Resa sama Jaka lanjutin usaha tokonya. Untuk saat ini, izinkan kami belajar dulu, Bu.” Resa memegang tangan Bu Yeti.
Bu Yeti tersenyum.
Siang hari, kami putuskan untuk jalan-jalan. Setelah berunding, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke alun-alun kota Bandung. Karena ke sana dekat, jadi kami jalan kaki sambil menikmati siang hari yang agak mendung. Bahkan menara Masjid Raya Bandung terlihat jelas dari kejauhan di sebelah utara saat kami menyusuri jalan Ottista. Sesampainya di alun-alun, aku dan Resa mencari tempat sambil mencari makanan dan minuman yang enak. Begitu banyak orang-orang yang bersantai di sini. Anak-anak asyik bermain di atas rumput sintetis yang hampir menyerupai rumput asli ini. Para pedagang pun banyak berkeliaran. Mulai dari pedagang mainan, aksesoris ponsel, sampai makanan. Kata Resa kalau kita turun ke parkiran basement, di sana juga banyak penjual makanan. Hampir mirip seperti pasar. Tetapi harga makanan di bawah sangat mahal. Jadi menikmati makanan di basement Masjid Raya Bandung merupakan ide yang kurang bersahabat bagi kantong.
Setelah puas, aku ajak Resa ke Asia Afrika yang tak kalah ramai. Di sini banyak sekali obyek untuk berfoto ria. Yang paling mencolok adalah orang-orang yang berpakaian kostum ala super hero di komik maupun film. Dari film horor pun ada seperti pocong, kuntilanak, sampai hantu-hantu dalam film yang sedang naik daun. Istilahnya cosplay atau costum play atau orang yang menirukan sebuah karakter fiktif. Resa berfoto dengan beberapa cosplayer dan juga, kami berfoto bersama dengan gaya swafoto. Setelah puas kami kembali karena Resa merasa haus. Setelah membeli minuman, kami mencari tempat di sisi jalan Dewi Sartika. Tapi tempatnya hampir penuh. Syukurlah kami menemukan tempat yang kosong. Itu pun diduduki oleh dua orang wanita berhijab yang sedang mengobrol. Kami dekati mereka dan mohon izin untuk duduk.
“Maaf Teh, ikut duduk boleh, ya?” tanya Resa sambil tersenyum.
“Iya boleh silakan. Ini kan tempat umum,” jawab wanita dengan matanya agak bulat.
Aku dan Resa kemudian duduk.
“Kalian pacaran?” tanya wanita yang satunya lagi.
“Baru satu minggu kita menikah,” jawabku.
“Selamat, ya? Semoga menjadi keluarga yang Sakinah, Mawadah, dan Warahmah.” kata wanita yang matanya agak bulat dengan senyuman yang ramah.
“Amiiinn!!” kataku dan Resa hampir bersamaan.