Gelinang

Hasan Danakum
Chapter #4

Malam Yang Syahdu

Medina berkata dalam waktu dekat, barista yang pernah dia maksudkan akan datang ke toko. Barista itu akan datang dengan pakaian formal layaknya orang yang mencari kerja. Padahal aku dan Resa sudah bilang untuk tidak terlalu formal. Namun Medina berkata orang ini merasa tidak enak kalau memakai pakaian biasa. Jadi apa boleh buat. Sebenarnya kebingungan kami bertambah. Sebab kami tidak tahu kualifikasi seorang barista yang baik itu seperti apa. Kami tidak paham bagaimana cara membuat kopi yang baik. Apalagi menggunakan alat-alat barista. Tetapi Resa mempunyai ide. Di mana nanti si calon barista ini akan ditanya tentang pengetahuannya soal dunia perkopian. Jika dia menjelaskannya lantang dan jelas tanpa gugup, berarti dia benar-benar paham. Dan bisa kami terima dengan masa uji coba kerja sekitar satu bulan. Sebab kalau disebut masa pelatihan atau training, itu berarti kami berdua harus memberi semacam pelatihan soal meracik kopi. Sedangkan kami seperti apa yang sudah aku bilang, tidak punya ilmu meracik kopi untuk melatihnya.

Sebelum calon barista datang, aku dan Resa memutuskan untuk membeli alat-alat barista. Setelah aku menanyakan kepada Santi yang sedang menjaga kasir, dia memberi saran untuk ke sebuah toko yang memang khusus menjual alat-alat barista.

“Kalau saya boleh saran,” kata Santi, “Coba deh Bapak ke jalan Naripan. Di sana itu ada semacam toko yang menjual alat-alat barista.”

“Sebelah mana?” tanyaku.

“Hemm...,” Santi berpikir lalu melanjutkan, “Saya juga kurang tahu, Pak. Tapi saya pernah dengar toko itu dari teman saya.”

“Berapa ya harganya untuk satu set lengkap?” gumamku.

“Wah, kayaknya sih mahal, Pak. Tapi ada harga, ada rupa juga.”

“Jadi menurut kamu, lebih baik beli alatnya sebelum calon barista kita datang, atau setelah barista kita datang?” aku meminta saran Santi.

“Kalau menurut saya sih, mending nanti aja kalau baristanya datang. Kalau Bapak sama Ibu cocok sama dia, mungkin dia bisa merekomendasikan alat-alat barista yang bagus,” jawab Santi.

Aku mengangguk. Sepertinya saran Santi bisa diterima. Aku lalu berjalan ke dapur. Ketika pintunya dibuka, bau harum dari bahan-bahan kue pun langsung menyambut hidungku. Di dalam dapur ini tepat di tengahnya terdapat meja ukuran besar yang terbuat dari aluminium. Bisanya digunakan untuk mencamur dan menggulung adonan roti. Dan alat yang lainnya standar saja. Seperti oven yang cukup besar, kulkas, westafel yang di atasnya ada kabinet, lemari pendingin besar berisi bahan-bahan utama, dan sebuah freezer. Semua karyawan yang bekerja di dapur termasuk Resa sedang sibuk membuat roti dan kue. Mereka memakai celemek dan masker. Sofyan dan Rahmat menggulung adonan di meja yang sudah ditaburi tepung agar tidak lengket. Dedeh sedang mengaduk adonan di sebuah wadah berbentuk mangkuk besar. Sementara Resa sedang mengiris pisang untuk isian pisang molen. Semua karyawan menundukkan kepala saat aku masuk.

“Bagaimana kalian pagi ini?” tanyaku kepada semua karyawan.

“Harus tetap semangat, Pak,” jawab Rahmat.

“Tumben pagi-pagi Bapak ke dapur?” tanya Dedeh.

“Sesekali lihat kalian bekerja,” jawabku tersenyum.

“Semoga hari ini banyak pelanggan ya, Pak,” sahut Sofyan.

“Amiinn!!” balas semuanya.

Aku lalu mendekati Resa yang sedang sibuk memotong pisang. Dia hanya tersenyum ketika aku mendekat. Itu dilihat dari raut matanya walau dia memakai masker.

“Enggak ada kerjaan?” tanya dia.

Aku menggelengkan kepala.

“Tadi aku sempat ngobrol sama Santi. Dia mengusulkan beli alat-alat baristanya nanti setelah calon barista kita datang. Siapa tahu dia punya rekomendasi,” jelasku.

“Aku juga setuju, sih.”

“Belum ada kabar lagi dari Medina?”

Resa menggelengkan kepala. Aku pun hanya mengangguk saja.

Sebelum pukul delapan malam, semua karyawan sibuk bersih-bersih sebelum pulang. Santi melayani beberapa pembeli. Aku dan Resa duduk di ruanganku. Sebenarnya bukan ruanganku tapi di pintunya tertulis Ruangan Manager. Ruangan ini sih tak terlalu besar. Mungkin sebesar kos-kosan tiga kali lima meter. Isinya hanya meja kerja, komputer, satu bangku di depan meja diperuntukkan untuk tamu, dan AC yang aku nyalakan dengan suhu sedang. Sayangnya di sini tidak ada jendela. Dan oh iya telepon juga ada. Fungsinya selain nomor telepon toko juga tersambung dengan telepon di kasir kalau terjadi apa-apa. Komputer di atas meja ini langsung terhubung dengan mesin kasir. Sehingga aku bisa melihat makanan apa saja yang terjual hari ini lengkap dengan jam, menit dan detik makanan tersebut terjual. Harganya pun sudah tertera dan secara otomatis sistem akan menghitung jumlah makanan yang terjual. Aku dan Resa melihat rincian dan total semua yang terjual.

“Sistemnya masih menghitung,” kata Resa yang duduk di sampingku memperhatikan layar monitor.

“Masih ada yang beli soalnya,” balasku.

“Eh, ruangan di sini kayaknya harus didekorasi ulang,” usul Resa.

Aku melihat ke sekeliling ruangan yang sebagian besar dicat warna putih.

“Ganti warna cat maksudnya?” tanyaku.

“Kalau warna cat sih udah bagus. Sayang banget enggak ada jendela.”

“Tapi di belakang gedung ini ada apa sih?”

“Enggak ada apa-apa. Di belakang kita itu ada pagar yang nyatu sama bangunan ini dan bangunan gedung belakang.”

“Kalau sisi kiri bangunan?”

“Tanah kosong rencananya bakal dijadikan parkiran karyawan. Harus direnovasi biar lebih bagus dan layak dijadikan tempat parkir.”

“Kasihan juga mereka kalau enggak ada lahan khusus parkir.”

Tiba-tiba ponsel Resa berbunyi dan dia bergegas untuk melihat. Tak berapa lama dia tersenyum lalu menatapku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Hari senin depan orang yang mau melamar jadi barista mau datang.”

“Oh ya?” aku senang mendengarnya.

Resa mengangguk.

“Kata Medina jam sembilan dia bakal datang,” tambah Resa.

“Siapa yang akan mewawancara?”

“Kamu lah.”

“Hah? Kita berdua atuh.”

“Kenapa?”

Lihat selengkapnya