Gelombang°°

Feryan Christ Jonathan
Chapter #5

Tutor Bahasa Inggris Baru

Bunyi alarm di pagi hari. Pukul 06.00 pagi, Waktu Indonesia Tengah. Alarm itu terus menghujam telinga seorang manusia yang terkapar suntuk di atas kasur, akibat tidak bisa tidur. Alarm itu tidak ada ampun, ia terus berbunyi. Bukan untuk membangunkan orang yang menyetelnya semalam, namun lebih untuk menyiksa dan merongrongnya, memperlihatkan kenyataan hidup yang pahit di satu hari ini: ia akan sangat kelelahan seharian.

Mata Runa masih membuka sempurna. Ia diam sejenak. Bangun dari tidurnya perlahan. Memandang jam alarm tanpa ekspresi. Jemarinya segera mematikan jam tersebut.

"Aku gak bisa tidur sama sekali semalam," ucapnya lemah.

Runa keluar dari kamarnya sudah tampak rapih dengan seragamnya. Ia telah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

"Oh, sudah bangun. Ajik sudah buatkan sarapan."

"Terimakasih, Ajik," Runa menarik kursi dengan sempoyongan.

"Kok kakak lemes banget hari ini?"

"Iya. Kamu kenapa? Sakit? Kamu kalau gak enak badan izin dulu saja sekolah. Nanti pingsan lagi."

"Ah enggak kok, jik. Runa kayaknya cuma kurang tidur," jawab Runa seadanya.

Lina mengambil botol saos sambal di dekatnya.

"Kakak sudah tahu punya tubuh lemah, makanya jangan begadang. Lina sering banget denger kakak ngomong-ngomgong sendiri tahu di kamar."

Lina mengolesi sandwich telurnya dengan saos.

"Oh iya? Kok kamu tahu? berarti kamu juga gak tidur dong."

"Eits ... oh iya ya, keceplosan. Hehehe, iya sih jik. Lina kadang juga tidur larut. Tapi Lina belajar jik. Gak kayak Kak Runa, ngobroooolll terus sama temennya."

"Yeee ... dasar pencari muka." 

Tenaga Runa serasa kembali. Ia merebut saos sambal dari tangan Lina.

"Biarin aja. Weeee!"

"Runa tidur kok jik. Cuma memang suka mengigau aja kali. Hehe."

"Sejak kapan kamu ngigo?"

"Sejak? Ummmm...." Runa menyipitkan matanya sambil memandang ke atas

"Ah yasudahlah. Pokoknya Ajik mau supaya kalian bisa tidur cukup. Lina, ajik tahu kamu suka belajar. Tapi tidur juga penting. Keduanya harus seimbang. Runa, Ajik akan lihat malam ini ya. Kalau jam 10 malam ternyata kamu bukan ngigo malah ngobrol sama temen kamu, ajik akan kasih hukuman. Deal?"

"Baik jik," jawab dua kakak beradik itu.

Ajik menyeruput kopi panasnya. Aroma kopi semerbak telah memenuhi ruangan makan itu sejak daritadi.

"Ngomong-ngomong Runa, Ajik mau bicara tentang nilai ujian kamu."

Runa beranjak langsung menenggak air putih. Secara natural dia menatap Lina yang membuat putih seluruh bola matanya sambil mencekik-cekik lehernya dan tersenyum. Runa menatap jengkel.

"Lina, kamu bisa berangkat sekolah duluan."

"Hehehe, oke ajik."

Lina beranjak pergi sambil menepuk-nepuk pundak kakaknya.

"A-ada apa jik?"

Ajik mengeluarkan sebuah buku bersampul biru. Tulisan Buku Rapot tercetak tebal di halaman depannya.

"Ajik ingin berdiskusi mengenai nilai kamu," Ajik membuka halaman buku rapot Runa.

"Ajik sama sekali bingung sama nilai kamu semester ini. Biasanya kamu nilainya cukup oke untuk pelajaran-pelajaran penting. Hanya paling Bahasa Inggris yang pas-pasan. Tapi semester ini,"

Runa meringis, sembari memperhatikan ajik memutar rapotnya supaya Runa bisa melihat nilai-nilainya.

"Nilai kamu jelek semua. Kimia 50, Fisika 65, Biologi 60, Matematika 45?!" Ajik menaikkan nada bicaranya.

Dalam hati, Runa sudah menjerit-jerit ketakutan. Runa tertunduk diam. Ajik menghela napas dalam-dalam.

"Ajik sudah hampir meledak-ledak melihat nilai-nilai kamu. Tapi untung ada satu nilai yang sangat bagus," Ajik menunjuk ke satu subjek yang mendapat nilai 95.

"Bahasa Inggris kamu, kenapa bisa jadi bagus begini?"

"Hahh?"

Hening sejenak. Runa yang tadinya siap dimaki oleh ayahnya, mendadak terdiam mendengar hal tersebut. 

"Ajik waktu lihat nilai ini, Ajik senang sekali. Akhirnya kamu memiliki harapan. Sebetulnya ajik tidak memiliki tuntutan apa-apa dari nilai kamu. Tapi Bahasa Inggris, harus bagus. Ingat 'kan Ajik pernah bilang begitu?"

"Iya, ingat jik."

"Itu karena di zaman ini, Bahasa Inggris itu yang terpenting Runa. Dan syukurlah kamu bisa mendapatkan nilai sebagus ini. Hanya satu pertanyaan Ajik, kamu tidak mencontek 'kan?"

Runa menggeleng keras.

"Hem. Oke deh. Runa, pertahankan nilai Inggris kamu ya. Ajik senang sekali kamu ternyata punya nilai Bahasa Inggris yang sangat membanggakan. Kamu belajar Bahasa Inggris hanya dari sekolah? Atau dari sumber lain?"

"Ummm... Runa punya temen bule, jik. Kenal di...social media! hehehe."

"Wahh, bagus itu. Temen kamu tinggal dimana?"

"Di Inggris, Ajik."

"Wah... keren ya. Kalau dia lagi liburan, ajak saja main ke Bali ya."

-------

Runa sekarang berada di kelas. Bengong.

Kadang senyum-senyum sendiri. Kadang bengong lagi. Runa memandang ke arah jam. Sudah pukul 14.50. Hari sudah menjelang sore.

"Kok dia gak ada lagi ya?"

Runa beranjak keluar dari sekolah. Sekarang sudah jam pulang. Dia melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul 16.00. Runa mengeluh risih.

"Dia kemana ya...?" 

Katanya sambil menendang-nendang batu kecil di pinggir jalan. Batu itu kasihan, harus menerima pelampiasan rasa kesal Runa hari ini. Runa sedang dibuat jungkir balik oleh kebereadaan manusia yang tidak pernah bertemu empat mata dengannya itu.

Hening sejenak. Hembusan angin menyibak rambut panjang Runa. Suara petir menyambar. Runa memandang ke langit. Awan sudah mendung. Hujan langsung turun tanpa bilang-bilang.

"Haduh, hujan!"

Runa cepat-cepat mencari tempat berteduh. Melindungi kepalanya dari hujan sambil berlari. Ia berlari terus, sampai di sebuah halte bs. Orang jarang sekali lewat sini, sehingga tempat ini menjadi sepi. Tidak ada orang di sana. Runa kembali melihat jam. Entah apa yang ia tunggu. Apakah sopir angkot yang akan menjemputnya, atau hujan reda.

"Hmmmm...."

Namun ketika menimbang-nimbang, bahkan jika hujan sudah reda, atau ketika angkot sudah datang, atau bahkan jika saat ini ia bertemu YouTuber yang suka bagi-bagi uang pun, sepertinya tidak akan membuatnya senang. 

"DOR!"

Runa tersentak. Ia sontak menutup kedua telinganya. Segera ia menengok kanan-kiri. Tidak ada orang sama sekali. 

Ia langsung tahu siapa yang berani-beraninya mengagetkannya begitu.

"Ihhhh! Ngagetin aja!"

"Wah, wah, wah. Baru pulang sekolah ya, dek? Kasihan banget anak Bali ini. Gua cuma sampai jam 12 dong hari ini."

Sebuah senyum tersungging di bibir Runa ketika mendengar suara itu.

"Issshhh, nyebelin banget. Kamu kemana aja sih? Udah datengnya mendadak, ngagetin lagi."

"Lah, lu nungguin gua? Wah, wah...."

"Eh, apaan? Enggak kok. Ge'er banget kamu."

"Sekarang jam berapa di Bali? Kok udah sore aja sih?"

"Jam 4 sore. Kamu biasanya muncul jam 2 siang, kok daritadi gak ada?"

"Lah, I don't know. Lu kemarin juga gak muncul."

"Eh iya ya. Aneh banget. Apa jangan-jangan ada variabel lain ya supaya kejadian ini bisa terjadi?"

"Bener juga ya. Apa ya?" Runa mencoba mengingat-ingat kembali. Saat-saat ketika mereka berdua bisa mendengar suara satu sama lain, itu pas kapan saja ya?

Hening sejenak.

Ketika dipikirkan, memang ada yang ganjil. Situasi ini, seolah ada pemicu yang membuat mereka berdua bisa berkomunikasi. Tapi hal itu bukanlah faktor dari apa yang mereka lakukan. Setidaknya, Runa tahu ada banyak sekali hal acak yang dilakukan oleh masing-masing dari mereka. Tapi bisa saja, jangan-jangan tidak ada pemicu dari kejadian ini sama sekali. Suka-suka saja dewa yang memberikan kejadian ini. Kalau dia mau, ya jadi. Jika tidak, ya tidak. Bisa saja kan? Memikirkannya, membuat kepala mumet. 

Bara saat ini juga terdiam, tidak bicara kembali. Mungkin mencoba memikirkan hal yang sama. 

Lihat selengkapnya