Gelombang°°

Feryan Christ Jonathan
Chapter #7

Keseharian

Rumah Runa sudah terguyur hujan sejak subuh tadi. Menurut ramalan cuaca, seharian ini akan terus begini. Angin bertiup kencang. Agak berbahaya memang untuk pergi keluar di hari libur ini, kendati begitu Ajik dan Lina sedang bersiap-siap untuk berangkat. Sambil menonton televisi, Ajik menunggu Lina menata rambutnya. Ajik seperti biasa, menyeduh kopi panas. 

"Pemerintah Bali, baru saja meresmikan pemasangan peralatan pendeteksi gempa bumi dan tsunami yang akan dipasang di sekeliling pesisir Bali. Alat pendeteksi gempa bernama BUOYS dari perusahaan rintisan PADAL Grup ini rencananya akan dipasang...."

Ajik tidak mengindahkan berita itu sama sekali. Pandangannya terkunci pada situasi yang terjadi di luar rumahnya saat ini.

"Kenapa hujan terus ya dari pagi?"

Lina keluar dari kamar. Sudah rapih dengan baju pergi.

"Wah, sudah mau jalan?"

"Iya, jik. Temen Lina minta datang dari pagi supaya bisa puas mainnya. Heheh.."

"Hmmm oke deh kalau begitu." 

Ajik buru-buru menyeruput kopinya. 

"Ahhh.... Kamu gak mau ajak kakak kamu?"

Lina menggeleng kemudian berbisik.

"Kakak itu introvert sebenarnya, jik. Lebih suka di rumah sendirian."

Ajik mengangguk pelan.

"Tapi kasihan dia. Padahal tinggal di Bali, tapi ke Pantai Jimbaran saja belum pernah." 

Lanjut menyeruput kopi, menghabiskan semuanya. Mematikan TV.

"Runa, ajik anterin Lina dulu ke rumah temannya sebentar ya!"

"Oke, jik." 

Sahut suara dari dalam kamar.

"Kamu gak mau ikut...?"

"Enggak jik. Runa pengen di rumah aja."

"Yakin..?"

"Iya, tenang aja jik."

"Oke deh..."

Ajik dan Lina pergi keluar.

Di kamar, Runa sedang tiduran di atas kasurnya. Matanya agak bengkak karena kebanyakan tertidur. Sejak pagi tadi ia sudah menadahkan tangannya di luar jendela. Beberapa guyuran hujan berjatuhan di tangannya. Sejak itu pula, Bara sudah berbicara dengannya.

"Ya, intinya gua gak secara langsung beliin dia mobil. Tapi karena John bantuin gua, jadinya ya begitu..."

Jelas Bara. Bara serasa ditodong perasaan bersalah.

"Kamu, bohongin dia...?"

Runa bertanya hati-hati.

"No...."

Bara berkilah. Nanun tidak sampai sedetik, ia berbicara lagi.

"Emmm... Ahelah... Iya, gua bohongin dia. Tapi gua berniat buat bayar uang dari pembelian mobil itu ke John. John nolak...Lu tahu 'kan? Dia itu pangeran, jadi..."

"Kamu harus kasih tahu yang sebenarnya sih ke Cindy..."

"Wha-, nono enggak..."

"Harus dong."

"Nope."

"Enggak"

"Ihhh.... Harus, Bara..."

Hening.

"....Why do you care that much?...."

"Kenapa lu sepeduli itu...?"

Ajik dan Lina sudah keluar dari garasi. Suara hujan berantukkan dengan atap mobil, terdengar bahkan sampai ke kamar Runa. Runa berharap suara itu bisa terdengar lebih besar lagi, supaya apa yang Bara barusan bilang tidak ia dengar.

Runa mengigit bibir.

"...Sorry, aku gak ngerti..."

Ia berkelit.

Hening kembali.

Bara menghela napas, tidak ingin terlalu memperpanjang topik.

"Yaudahlah. Mending kita belajar aja sekarang. Thanks udah bantuin gua ya kemarin."

"....Sama-sama."

"Sekarang kita lanjut ya. Tapi kayaknya buat ulangan Bahasa Inggris doang mah, lu udah bisa dapet 90 seharusnya. Lu gak mau belajar yang lain gitu? Gua bosen Bahasa Inggris mulu."

"Ummm... Kimia? Matematika?"

"Ya, boleh itu juga."

------

Hari-hari mereka lalui bersama. Runa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bara pun demikian. Bedanya adalah, ada kalanya mereka ditemani suara satu sama lain. Hal itu seolah sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. Perbedaan dalam rutinitas Runa yang paling mencolok adalah, Ia jadi sering belajar. Entah kenapa, Ia jadi senang belajar. Mungkin karena guru tutornya tahu cara mengajarnya dengan menyenangkan.

"Nah! Gitu dong. 3x-1 sama dengan?" Nada Bara meninggi di akhir.

"Ummmm...."

"16/2 kan?"

Bara menunggu jawaban Runa.

"Iya...."

Runa menulis jawaban-jawaban Bara. Pikirannya terus menghitung.

"Berapa? 16/2?"

"8. Berarti 3x-1 sama dengan! Sama dengan 3x=8+1. 3x=9! X hasilnya 3!"

"Jadi Pak Samad punya berapa pie susu?"

"Ummmm.... 27x3, hasilnya 81."

"Eits.... 27 itu harus ditambah 3 lagi dong, Runaaaaa...."

Ucap Bara dengan menyebut nama Runa agak panjang.

Runa tersenyum.

"Hehehe... Iya ya. Bener juga. Berarti 90 dong."

"Nah! Bagus. Gampang kan?"

"Gampang ternyata ya. Aljabar kukira susah loh selama ini."

"Orang kayak Pak Samad ini memang bikin susah. Siapa juga yang ke toko oleh-oleh beli pie susu 90 kotak?!"

"Hahahahahahahahaa!"

Runa tertawa terbahak-bahak.

"Lu belum liat aja soal di Greenwich. Ada aja orang namanya Simon beli apel 500 biji. Jeruk 300 biji. Buat apa coba?! Buka toko jus?!"

"Aduh! Hahahahahhaahahahahaha! Aduh perutku sakit!!! Hahahahahahahahaa...."

Runa berguling-guling di lantai kamarnya.

Bara terdiam sejenak. Berhari-hari bersama Runa, Bara sadar satu hal.

"Runa, lu receh banget sih."

Gadis Bali ini adalah orang yang mudah tertawa.

Pelajaran yang diajarkan Bara sudah bergonta-ganti. Anehnya, saat Bara mengajarkan Runa, Ia tidak merasa lelah sama sekali. Mungkin hal tersebut dikarenakan tubuh aslinya sedang tertidur. Bara selalu siap untuk lanjut ke subjek berikutnya.

"Fisika habis ini deh."

"Oke. Masih semangat?"

"Iya. Hehehe, gak ngantuk aku kalau kamu yang ngajarin."

Bara terkesiap mendengar hal tersebut.

"Hmmmm gitu ya?"

"Iya, hehehe habisnya selalu menghibur. Seru!"

"Materinya terakhir sampai mana?"

"Hukum Pascal."

"Ahelah. Nyusahin emang tuh orang."

Runa langsung menahan gelak tawa.

"Iya bener banget. Kekeke...."

"Masa gara-gara dia punya obsesi sama air, kita jadi susah."

"Hahahaha.. Aku udah lupa materinya."

"Ya intinya gitu dah. Coba aja buka buku pelajaran lu."

Runa membalik halaman buku.

"Yaelah, ribet. Coba buka internet aja dah."

"Oke, siap pak guru."

Runa menyimpulkan bentuk tanda hormat, tersenyum sumringah.

Tahu-tahu sudah tiga jam nonstop Runa belajar.

"Aku capek. Huwaaa...."

Runa menselonjorkan kakinya. Ia kemudian melemparkan tubuhnya di atas kasurnya.

"Wah, udah jam segini aja. Kayaknya sih sedikit lagi gua hilang deh."

"Oh ya? Masih sejam lagi gak sih?"

"Eh, bentar."

Bara mengingat-ingat.

"Besok hari libur. Gua bangun siang."

"Serius? Yeay! Temenin aku lah sampai rada subuh. Aku belum ngantuk. Cuma capek aja."

"Hehehehe, ciye...kesepian ya?" Goda Bara.

"Hah.... Ehm, gak gitu maksudnya... Ihhh...."

Runa membenamkan wajah di bantalnya.

"Yaudah, santai aja. Gua di sini kok."

"Oke deh. Sebentar, aku mau ke kamar mandi dulu."

"Hmmmm o-oke."

"Hei! Jangan ngintip!"

Ancam Runa.

"I... Iya iya...."

"Aku udah nahan daritadi, tau gak? Tapi sekarang udah kebelet banget. Jadi sebaiknya kamu jangan ngintip ya!"

"I.... Iya.... Kan tergantung lu. Yang penting tutup mata aja. Gua juga selalu begitu kok kalau lagi giliran lu."

Runa berlarian kecil keluar dari kamarnya, menuju ke kamar mandi.

Di sebelahnya, Lina mendengar hentakan kaki dan suara air. Beberapa kali, suara Runa ngomong sendiri. Ia mengkerutkan keningnya, mencoba tidur.

"Si kakak, ngobrol melulu... Dia udah pacaran kali ya?"

Runa buang air kecil di toilet, memejamkan matanya.

Walau begitu, Bara tak bisa pura-pura. Ia bisa mendengar dengan jelas suara gemericik air. Hal itu sedikit membuatnya malu dan salah tingkah, dan tentu saja agak-agak penasaran. Biasanya, jika salah satu dari mereka harus ke kamar mandi, atau ganti baju, atau ke toilet, mereka sepakat akan menutup mata. Tidak mudah memang. Pun begitu lama-lama jadi terbiasa.

Runa keluar dari kamar mandi. Mengeringkan kakinya, kemudian masuk ke kamarnya kembali.

Hening sejenak.

Runa menutup pintu kamar, kemudian berdiri menatap tembok kosong.

"Sekarang apa?"

Tanya Bara.

"Pfffttt.... Hahahahahaha."

Runa pecah dalam tawa.

Ia mencoba supaya meredam suaranya.

"Apa sih yang lucu Run?! Apaaaa?! Apalagi yang lucu?"

Bara kebingungan sendiri.

"Inget adegan SpongeBob waktu kamu ngomong gitu. Inget gak sih?! Yang waktu Bikini Bottom diserang cacing besar Alaska! Terus Patrick bilang gitu!"

"Buahahahahahaha! Inget aja lagi lu. Lu nonton SpongeBob juga?!"

"Iya dong, hehehehe...."

"Legend banget tuh kartun. Terus mereka dorong kota gak sih abis itu. Gak jelas banget. Saran orang kayak gitu didenger coba!"

"Ahahahahahahaha!"

"Terus kegeser semua kotanya! Kayak, dimana sih logicnya! Aduh tuh kartun lucu banget."

"Iya kan?! Seneng banget nonton itu pas kecil dulu."

Runa berbaring di atas kasurnya.

Sayup-sayup suara hujan terdengar masih deras.

"Eh, katanya lu bisa main sasando. Coba dong! Gua mau liat!"

Bara membuka topik.

"Hehehehe... Boleh. Sebentar ya, aku ada videonya."

Dalam sekejap, Runa telah menggunakan headsetnya, untuk menonton video penampilan Runa bermain Sasando.

"Umur berapa nih?"

Bara mencermati bentuk ukuran tubuh Runa yang jauh lebih muda di video itu.

"Waktu SD kelas 5 hehehehe."

Bara terkesima. Jari Runa yang lentik dan kecil itu bisa memetik dengan luwes senar-senar sasando itu.

"Belajarnya susah ya?"

"Iya. Sasando itu, tiap sanggar, beda stem alat musiknya. Nadanya beda, wah PR deh pokoknya. Kalau udah beli satu, gak boleh sampai rusak."

"Hmmmm begitu ya."

"Kamu juga main 'kan?"

Tanya Runa.

"Enggak, enggak. Waktu itu gua salah nanya."

Bara menjawab cepat.

"Hah, gimana?"

Bara sejenak menarik napas. Ia kemudian menjelaskan kesalahpahaman itu.

"Buahahahahahaha! Haduhhhh maafin aku ya Bara! Aku gak sadar ngomong waktu itu."

"Yaudahlah. Gak apa kok, santai aja. Tapi sampai sekarang dia tahunya aku bisa main sasando."

"Hmmmm. Kalau ada waktunya, kamu harus...."

Lihat selengkapnya