Hari ini, hari yang cerah. Sesuai dengan janji yang dikatakan peramal cuaca, Bali tidak akan turun hujan beberapa hari ke depan. Runa sedang terbengong-bengong menunggu jam kosong. Kadang ia tersenyum, kadang tidak. Ia sedang memperhatikan kertas-kertas di hadapannya. Tadi, dia memperhatikan kertas-kertas itu. Sekarang, hamparan kertas itu dibiarkannya terjemur di sana.
Runa menggumam-gumam sendiri.
Tanpa ancang-ancang seseorang menghardiknya. Ia menggebrak meja.
BRAK!
Runa tersentak dari lamunannya. Matanya membesar, terkejut.
"Woi!" ucapnya, mengekori gebrakan barusan.
"Hah! Aduh, apaan sih?!"
Runa menghardiknya balik. Menyadari sosok di depannya saat ini. Kacamata tebalnya cukup untuk membuat Runa mengenalinya. Ia adalah Boris, si ketua kelas. Sepertinya Boris sedang dalam perburuan untuk mencari perwakilan dalam acara class meeting sekolah. Acara yang diselenggarakan setelah tes ujian akhir semester dan sebelum liburan sekolah yang amat panjang, demi untuk mengisi kekosongan sampai guru menentukan kelulusan dan nilai rapot siswa-siswinya. Singkatnya, acara yang tidak penting untuk Runa.
"Runa. Aku mau minta tolong."
"Apaan? Harus gebrak-gebrak meja segala kah?"
"Daripada kamu kesambet. Terus malah kesurupan masal. Mending kuusir setannya sebelum kamu kerasukan."
"Hiiih, ada apaan sih?"
"Jadi gini, Buat class meeting dua hari lagi, kamu yang ngewakilin kelas kita ya buat cerdas cermat."
"Haaahhh?! Kok aku? Kenapa gak suruh anak-anak yang pintar aja?"
Runa mendesis.
"Justru itu kenapa aku minta kamu. Kamu 'kan pintar."
"Hehehe, ngelawak ya? Pintar apanya?"
"Itu."
Ia menunjuk ke arah sederetan kertas di hadapan mereka berdua. Kertas-kertas yang dianggurkannya itu. Nilai-nilai Runa masuk dalam jajaran paling tinggi di antara anak kelasnya.
Dulu, Runa memang siswi yang biasa-biasa saja. Namun sejak beberapa minggu belakangan, nilai-nilai Runa naik signifikan.
"I-ini cuma hoki kok."
"Masa sih? Orang tiap ada pertanyaan dari guru, kamu terus yang jawabannya benar." Runa mengusap wajah tanda tertekan.
"Gak bisa orang lain aja?"
"Udahlah. Sekali ini aja. Lagian, kamu gak sendirian kok. Ini akan terdiri dari 3 orang satu tim."
Runa mengusap wajahnya. Membenamkan wajahnya dalam-dalam.
----
"Yaelah Runa. Ini cuma cerdas cermat antar kelas doang." ucap Bara.
Runa sedang berada di dalam kamarnya. Masih membenamkan wajahnya dalam-dalam, namun sekarang di bantal tidurnya. Ia hendak berteriak, tapi nanti seisi rumah khawatir. Jadi ia lebih memilih berteriak dengan mendekapkan dirinya pada bantal. Setidaknya suaranya teredam.
"Tetep aja!"
Runa sedang menceritakan keluhannya pada teman batin satu-satunya itu. Ia kesal. Tapi lebih kesal lagi ketika temannya itu bersikap menyebalkan.
"Apalagi kisi-kisi kuisnya udah dikasih. Pengetahuan Umum, Biologi, Matematika. Ini sih keterlaluan gampangnya. Anakonda bereproduksi dengan cara?" Bara menanyakan beberapa pertanyaan secara acak.
"Bertelur dan melahirkan."
"Kepanjangan dari Hb adalah?"
"Hemoglobin."
"Pembantaian orang Yahudi-"
"Holocaust."
"Nah! ITU BISA! Lu bahkan jawab pertanyaannya sebelum gua selesai ngomong."
Runa memegang mulutnya. Seolah di otaknya sudah tertanam alat yang akan menjawab semua pertanyaan yang Ia ketahui jawabannya. Ia menepuk-nepuk bibirnya pelan, menyesali pengendalian dirinya yang kurang.
"Haduhhhhhh, tetep aja Bar-"
"Penulis cerita The Happy Prince?"
"Oscar Wilde."
"Romeo and Juliet?"
"Shakespeare."
"Logaritma delapan?"
"Umm 0,903"
"Siapa yang mengetik naskah proklamasi? Ini gua gak tahu."
"Sayuti Melik?"
"Nah! Udahlah! PD aja! Lu pasti bisa!"
Runa bangkit berdiri, bolak-balik. Ia menggigit jarinya. Jantungnya berdegup cepat hanya dengan memikirkan apa jadinya dia jika mengikuti lomba cerdas cermat tersebut.