Pantai Gunung Payung.
Runa duduk di pinggir pantai, menyepi. Dia memainkan pasir sambil kadang minum kopi di tangannya. Ia berikthiar melepaskan beban pikiran. Untuk pertama kalinya, Runa pergi keluar sendiri. Hal ini agak mengejutkan untuk Ajik. Namun karena lokasi pantai tidak terlalu jauh dari rumahnya, Ajik mengizinkannya.
Runa mengeluarkan ponselnya. Kebiasaan, Ia mengecek kapan akan hujan.
"Ngapain aku coba?" Runa segera memasukkan ponselnya lagi.
Ia menghela napas. Pandangannya terfokus pada matahari senja yang segera terbenam di ujung sana. Ombak bergelora dan menabrak hamparan pasir di depannya. Sebentar lagi sunset. Tahu-tahu, setetes air kecil menyentuh batang hidung Runa. Tak terlalu terasa.
"Halo," sebuah suara terdengar.
Wajahnya seketika berubah. Runa tersenyum, tapi kemudian senyumnya meluruh.
"Akhirnya bisa ke sini juga. Wah ... bagus banget pemandangannya," ucap Bara.
"Kok kamu bisa datang?"
"Lah, bukannya udah biasa juga gua datang dan pergi?"
Hujan rintik-rintik kecil mulai berjatuhan, menyusul tetes kecil yang tadi. Hujan setengah-setengah, ada dan tiada, yang tidak akan membuat orang basah.
Runa menadahkan tangannya.
"Heheh... iya sih," Ia menyisir rambutnya, menyunggingkan senyum paksa.
"Kok lesu sih? Kemarin cerdas cermat gimana?"
"Ummm ... kelasku juara dua...."
"Wah, keren banget ... selamat ya. 'kan apa gua bilang. Lu tuh bisa!"
"Ya... heheh, yeay."
"Kok lemes banget sih? Bukannya juara dua juga udah bagus ya?"
"Umm ... heheh iya sih."
"Kemarenan padahal lu ikutan aja gak yakin 'kan?"
"Hemm."
"Next time berarti, kalau ada lomba lagi, ikutan aja. Pasti kali ini menang," Bara menambahkan.
Runa meminum kembali kopinya. Ia acuh saja, tak merespon ucapan Bara.
"Kalau lu ikutan lagi, kali ini pastiin bahwa lu harus percaya diri dulu. Yakin lu tuh bisa menang."
Runa menggigit bibirnya. Ia tidak ingin berjuang untuk apa pun sekarang. Untuk apa berusaha jika pada akhirnya ia sudah tahu jawabannya? Sudah dipastikan, Runa tidak akan pernah mengikuti lomba apa pun lagi.
Entah kenapa, lagi dan lagi, kilas balik Bara dan Cindy kembali berputar di benak Runa. Saat-saat ketika Bara bersama Cindy. Padahal yang dibahas cerdas cermat, tapi benak Runa kian kembali ke arah sana.
"Lu tuh bisa sebenernya," Bara masih melanjutkan.
Suaranya terdengar samar-samar di kepala Runa. Bak gong yang terus merongrong.
"Gua yakin, lu bisa!" Bara terus memberikan kata-kata penyemangat.
Runa membenamkan kepalanya dalam-dalam. Ia ingin mempercayai perkataan itu.
Runa menggumamkan kalimat yang Ia ucapkan ketika lomba.
"Aku di sini karena keadaan."
Ia malah makin kesal. Runa meremas cup kopi yang sudah habis itu di tangannya.
"Stop...."
"Hah?"
Runa bangkit berdiri
Hening sejenak.
"Stop! Stop Stop Stop Stop!" Runa menginjak-injak pasir di kakinya.
Setelahnya, hanya suara ombak yang terdengar. Dari jarak jauh, Runa terlihat berdiri menatap hamparan laut.
"Kenapa lu Run-?!"
"Stop ... stop! Kamu bahkan gak ada di sini. Kenapa kamu terus kasih aku semangat untuk hal yang gak mungkin?"
Bara terus berpikir, ada apa dengan Runa?
"Hah... kenapa tiba-"
"Kemarin kamu tanya aku 'kan? Why do you care? What about you?! Jangan terlalu dekat denganku! Gak usah terlalu peduli!"
Runa berlari ke arah pantai, kemudian menjatuhkan dirinya ke tengah laut.
----
Di sisi sana, Bara tersentak terbangun, terengah-engah. Ia mengusap wajahnya.
"What the-?! That was super weird!"
"Apa-?! Itu super aneh sih!"
John sedang memainkan gadgetnya. Ia memulai pembicaraan. Basa-basi.
"You had a nightmare?"
"Mimpi buruk?"
"Sort off."
"Semacamnya," Bara menjawab singkat.
Karena dikagetkan oleh tindakan Runa yang mendadak itu, Bara jadi tersentak dan malah terbangun di sini. Ia berpikir keras.
Ada yang salah.
Terdengar sayup-sayup suara game dari gawai John. Keduanya terdiam. John sedikit-sedikit melirik Bara.
"I want to grab a coffee."
"Gua mau ngopi."
"It's 10 PM. Are you mad? Heheh."
"Ini sepuluh malam. Lu udah gila? Heheh," John menatap Bara.
Bara hanya berdiri, diam. Air muka Bara berubah. Ini pertama kalinya, Ia melihat wajah Bara seperti itu. Ia menghela napas panjang.
"I'll join you."
"Gua ikut lu."
---------
Bara dan John duduk di sebuah kafe yang masih buka. Mereka memesan kopi panas. John di sisi lain, membeli keripik kentang, roti, ramen instan, dan makanan-makanan ringan lainnya. Ia tersenyum jenaka, mencoba mencairkan suasana. Ia tahu ini akan menjadi malam yang panjang.
"Alright, bro. We have everything ready. Now tell me what happened?"
"Oke, bro. Kita udah punya semuanya siap di sini. Sekarang coba cerita lu kenapa?"
Bara masih menatap gelas kopinya. Pikirannya berkecamuk. Ia mencoba untuk merenungkan apa yang salah darinya. Mengapa ia merasa setidaknyaman ini? Mengapa ia merasa gelisah ketika Runa membentaknya?
Jauh di alam bawah sadar Bara, ia tahu. Ia tahu bahwa Runa selalu diam ketika Ia sedang berdua bersama Cindy. Ia tahu bahwa Runa mendadak jadi menjawab semuanya singkat ketika Cindy di sampingnya. Runa seolah ingin menghilang dari skenario tersebut. Ia tidak ingin menjadi orang yang ikut dalam percakapan Bara dan Cindy. Bara tidak pernah melibatkan Runa, atau memperkenalkan Runa pada Cindy. Mungkin itulah, penyebabnya. Tapi, apakah situasinya akan lebih baik jika ia mengenalkan Runa kepada Cindy? Jangankan Cindy, sahabat baiknya saja tidak percaya eksistensi gadis Bali yang suaranya selalu ada dalam kepalanya itu. Lagipula, kenapa ia harus mengenalkan Runa pada Cindy? Siapa juga Runa? Apa pentingnya Runa di hidupnya?
Persis di saat ia memikirkan kalimat barusan, ia sangat marah pada dirinya sendiri. Ia marah. Ia menggertakan gigi dan meringis. Ia menatap gelas panas di tangannya. Ia menenggak semuanya tanpa ragu.
"Hei! It's hot! Careful!"
"Hei! Itu panas! Hati-hati!"
John menghalangi tangan Bara untuk meminum kopi tersebut lebih banyak lagi.
"Uhuk! Uhuk!"
Bara terbatuk-batuk.
"What the hell has gotten into you?! There is this thing that we call common sense!"
"Lu kerasukan apa sih?! Ada yang namanya akal sehat!" John mengomeli Bara.
"John,"Bara mulai berkata-kata.
"Yea?" John menjawab singkat.
Mulainya Bara berbicara adalah tanda ia sudah boleh membuka keripik kentangnya.
"Do you believe Runa exists?"
"Lu percaya gak Runa ada?"
"No."
"Enggak."
John menjawab singkat sambil mengambil beberapa keping keripik kentang. Bara tidak melanjutkan setelahnya. Temannya itu menatap Bara, penasaran dengan reaksinya. Wajahnya putus asa, gelisah, dan kesal bercampur jadi satu. John hendak tertawa.
"Let's go home then."
"Pulang aja dah," Bara berdiri dari tempat duduknya.
John menarik tangannya. Keripiknya ia lempar begitu saja.
"Wait up! Wait up! Okay, I believe. I believe she exists but not like how I believe in Jesus?! How about that, huh?!"
"Bentar! Bentar! Oke, gua percaya. Gua percaya dia ada tapi gak seperti gua percaya Yesus! Gimana tuh, hah?!"
John memakan beberapa keping keripik kentang. Suara kriuk-kriuk keripik renyah yang masuk ke dalam mulutnya terdengar dengan sangat jelas di telinga Bara.
Bara menghela napas panjang.
"John, I think I need to introduce Runa to Cindy."
"John, gua pikir gua harus kenalin Runa ke Cindy."
John tidak memberikan reaksi apa-apa. Tatapannya kosong. Ia berhenti mengunyah sejenak.
"Are you out of your goddamn mind?"
"Lu udah gila ya?"
Respon yang mudah ditebak dari John. Bara mengusap wajahnya. Tangannya menjalar dari dahi, menyisir rambutnya dan belakang kepalanya.
"I know. But I think it's important that she knows everything before we should start anything."
"Gua tahu. Tapi menurut gua penting buat dia untuk tahu semuanya sebelum kita mulai apapun."
"Bro, you're a high school boy. Relax...."
"Bro, lu cuma bocah SMA. Santai...."
John membuka satu cup ramen instan yang sudah ia panaskan sejak tadi.
"It's not like you want to marry her or anything."
"Ini bukan kayak lu mau nikahin dia atau apapun."
"I think she likes me."
"Kayaknya dia suka sama gua."
"Of course we all know that Cindy likes-"
"Ya tentu saja kita semua tahu kalau Cindy sukanya-"
"Runa likes me."
"Runa suka sama gua."
John kembali memasang ekspresi yang sama seperti yang sebelumnya. Ia tidak habis pikir, kenapa Bara merasa seolah Runa itu adalah orang sungguhan? Mau sampai sejauh apa John larut dalam permainannya.