Song: Adhitya Sofyan - Invinsible Relationship
Hari demi hari berganti. Akhir-akhir ini, Bara sering bergadang sampai larut malam. John sering memergokinya sedang terduduk sambil memperhatikan gemerlap langit malam. Melihat temannya seperti itu, sayangnya, John lebih memilih untuk tidur kembali, tak terlalu menghiraukan sahabatnya itu. Bara ingin tidur, tapi tidak bisa. Pikirannya kalut. Ada yang mengganjal perasaannya. Gemerlapan bintang di langit tak terlalu bisa melarutkan kantuknya. Ada begitu banyak benang kusut dalam hatinya, yang bertali-talian menjadi satu. Beberapa hari, Bara selalu jatuh tertidur sangat larut, cenderung hampir subuh.
Runa mengalami insomnia juga. Berbeda dengan Bara, Runa melakukannya karena sengaja. Setidaknya begitu pada awalnya. Hingga kesengajaan itu berlanjut berujung menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan itu berlanjut jadi candu yang tak bisa dilawan. Karena biasa begadang, Runa jadi banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Malam hari yang hening, suara pensil Runa bergesekkan dengan kertas. Waktu-waktu tersebut membantunya menaikkan nilai rapotnya. Pun begitu, ia jadi sering kelelahan. Runa sering tertidur di atas meja belajar. Ketika sadar dirinya tidur sambil duduk, ia perlahan melemparkan tubuhnya ke kasur. Hal itu terus terjadi, entah sudah berapa kali.
"Berdasarkan hasil analisa dari Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG; curah hujan dalam beberapa minggu ke depan akan mengalami pengurangan siginfikan." Pembawa berita menyampaikan ramalan cuaca yang akan terjadi dalam beberapa hari ke depan.
Minggu demi minggu berlalu. Bara dan Runa tidak pernah lagi bercengkrama satu sama lain. Tidak ada lagi yang mengisi suara satu sama lain. Mereka menjalani hari-hari seperti biasa.
Sejak hari itu, Bara sering menerima surat. Lokernya penuh dengan selipan surat-surat, mulai yang isinya dari menanyakan kabar Bara dan Cindy, kalimat-kalimat penyemangat, sampai ke ungkapan kekecewaan dari para pria fans fanatik Cindy.
"Again?! Oh crap! Can't they just stop it? It's not like you're Prince Harry or something,"
"Lagi?! Ah anjir! Gak bisa apa mereka berhenti? Lu kan bukan Pangeran Harry atau apalah itu," John mengumpati para pengirim surat.
"It can't be helped. Though I bet Cindy never opened it to the public, they just found out the truth,"
"Ya mau gimana lagi. Walaupun Gua yakin Cindy gak pernah buka hal ini ke publik, mereka tahu aja pasti," Bara hanya mengangkat bahu santai. Ini sudah seminggu ia mengalami kejadian serupa. Bara sudah terbiasa.
"It's a good thing that your locker is next to the trash can, right here!"
"Ya untung aja loker lu sebelah tong sampah, di sini!"
TENG!
John mengetuk tong sampah yang sudah penuh itu dengan kepalan tangannya.
"It's a ton of shitload,"
"Banyak banget sampah ini," Bara merangkul kertas-kertas tersebut dalam pelukannya.
"You haven't seen your fan club on social media. It's too cramped with messages, to the point that I have to delete the whole account."
"Lu belum aja liat fanclub lu di media sosial. Udah penuh banget sama pesan, sampai-sampai gua harus hapus seluruh akunnya."
John refleks membantu Bara, menyeret tong sampah dekat mereka dengan kakinya hingga posisinya berada di bawah loker temannya itu.
Ketika Bara dan John sedang merapihkan loker, Cindy dan Giselle melewati mereka. Bara terdiam sejenak, memandang Cindy. John memelototi Giselle. Giselle menurunkan alis dan balas melotot ke arah John. Sekilas, Giselle melirik ke arah kertas-kertas yang sedang dibuang Bara. Perang dingin itu pun dimulai.
"Hmph! Save the earth my ass!"
"Hmph! Selamatkan bumi pantat gua!" Ia menggumam, sambil melengos pergi.
Cindy menarik tangan temannya itu, berusaha menenangkannya.
John balas dengan mendongakkan kepalanya, menantang Giselle. Giselle tidak mau kalah. Ia memberangus, mengepalkan tangannya. Naas, baru saja Ia hendak berbalik badan dan melangkah menuju John, Cindy sudah inisiatif merangkul dan menyeret sahabatnya itu untuk pergi menjauh.
"It seems we know who spilled the tea,"
"Kayaknya kita udah tahu siapa yang numpahin tehnya," John mendengus kesal.
Bara tidak menjawab. Bara tahu, bahwa ini adalah konsekuensi yang pasti akan terjadi. Ia tidak terlalu menanggapinya dengan serius. Gosip akan berlalu, cepat atau lambat. Orang-orang akan lupa tentang hal ini.
----
Ujian akhir tiba. Runa dan Bara fokus mengerjakan ujian dengan khidmat. Hari-hari ujian berlalu dengan sangat cepat, baik di Greenwich dan Bali.
Ketika ujian sudah selesai, Runa sedang duduk-duduk mengobrol dengan teman-temannya di kelasnya. Dari kejauhan, Boris memandanginya bersama 2 orang temannya juga di sudut ruangan kelas.
"Kok kita gak pernah sadar keberadaannya ya di kelas?" Tanya Boris.
"Iya ya. Dia padahal cantik banget pas dilihat-lihat." Seorang temannya menyahut.
"Sudah pintar, cantik, berbakat, apa kita deketin aja dia ya?"
"Hahahahha."
Runa mengeluarkan gelangan kunciran rambut dari tangannya.
"Guys, siap-siap." Boris merentangkan tangannya, menyuruh teman-temannya mengambil ancang-ancang.
Runa menggigit kunciran rambutnya itu. Tangannya luwes bergerak ke rambut di belakang kepalanya, mengumpulkan helaian rambut. Tangan kirinya menahan, sedangkan tangan kanannya mengambil jumputan kunciran rambut di mulutnya. Melihat itu Boris mencengkram kedua paha temannya.
"Ugggghhhh gile cuy."
"Gile sih. Beruntung banget bisa di kelas ini."
"Runa maha cakep," komentar tiga orang itu.
Sekonyong-konyong, datang sekelompok orang lainnya yang membawa kertas ujian mereka.