Gelombang°°

Feryan Christ Jonathan
Chapter #11

Sampai di Bali

Runa, Lina, dan Ajik sedang makan bersama. Suasana makan malam itu hanya diramaikan oleh Lina dan Ajik. Runa diam saja daritadi. Hal itu tentu disadari oleh Ajik.

"Runa, Ajik lihat kamu jarang tertawa belakangan ini. Kamu dibully ya di sekolah?"

"Hah? Enggak kok, jik. Heheh, gak ada apa-apa."

"Kalau ada masalah, coba bicarakan dengan Ajik."

"Iya, jik. Kak Runa biasanya berisik banget tiap sore, ngobrol sama temennya. Sekarang udah gak pernah lagi kayaknya."

"Ihhh. Kamu ini nguping terus ya kerjaannya."

"Ohhh. Temen kamu yang bule itu?"

"Ah, bukan gara-gara itu kok, jik. Dia emang lagi sibuk, tapi Runa diam bukan karena dia atau karena siapa-siapa kok. Cuma lagi gak mood aja," jawab Runa, mengalihkan pandangannya.

"Ah bohong. Tau gak, jik? Pernah ya pas Lina mau ke kamar mandi, Kak Runa aku perhatiin lagi nangis sendirian di kamar. Terus-" Runa menutup mulut Lina.

"Hmmmmpphhhh!!!"

"Ah!! Diem, diem. Shhhh," Runa menengok ke arah Ajik sekejap.

"Enggak kok, jik. Pasti Lina salah lihat."

"Hmmmm...."

Ajik menyeruput kopinya.

"Ihhh, lepas!" Lina melepaskan tangan kakaknya dari mulutnya.

"Kamu dibully?"

"Ah, enggak, enggak kok, jik. Kalau Runa dibully, pasti cerita ke Ajik."

"Runa, kamu bisa kasih tahu apa pun ke Ajik. Ingat, Ajik itu keluarga kamu. Bukan orang asing."

"Iya, jik."

"Ajik ingin ngobrol lagi lebih banyak sama kalian. Tapi Ajik harus persiapan untuk acara besok. Ada teman lama Ajik yang berkunjung."

"Teman lama?"

"Orang mana, jik?"

"Heheh. Orang bule."

"Ohhh."

"Dulu Ajik pernah bantuin dia, ketika Ajik jadi nelayan. Ketika itu kapal dia karam karena badai. Dia terapung-apung di atas sekoci. Pas lihat dia, Ajik langsung naikkin dia ke atas kapal. Katanya, dia udah di sekoci itu selama semalaman."

"Wah, untung ketemu Ajik."

"Heheh ... iya. Setelah ajik selamatkan, dia tinggal sama Ajik selama 2 hari. Dia langsung pergi lagi ke rumahnya. Dia bilang, suatu hari nanti, dia akan datang lagi. Dia janji satu hal sama Ajik," Ajik lamat-lamat memandang ke arah Runa. Ia menghembuskan napas. Ekspresi wajahnya serius.

"Janji apa, jik?"

"Dia bilang,"

Hening sejenak.

"Ehem ... tadinya Ajik mau beritahu ini besok saja. Tapi sepertinya, kamu harus tahu sekarang, Runa."

----

Heathrow Airport - 06.00 GMT

Suasana bandara cukup ramai di hari libur ini. Akhirnya, sekolah memasuki libur musim panas. Liburan panjang yang telah dinantikan oleh John dan Bara. Beberapa menit lagi mereka akan segera terbang mengudara.

Sesampainya di pesawat, Bara dan John langsung menuju ke deretan tempat duduk kelas bisnis. Perjalanan ke Bali sepenuhnya ditraktir oleh John. Termasuk di dalamnya tiket pesawat pulang pergi.

"I hate to owe you something like this. Just let me pay for it."

"Gua benci ngutang sesuatu ke lu kayak gini. Biarin gua bayar aja buat itu," Bara mencoba menyergah John untuk membayar tiket yang mereka pesan online itu.

"No worries, mate. Just promise me you will meet me up with Runa,"

"Jangan khawatir, cuy. Janjiin aja ke gua lu akan ketemuan gua sama Runa," ucap John dengan jenaka.

John menekan tombol pesan dari ponsel pintarnya.

Mereka telah mengudara saat ini. Berkilo-kilometer jauh dan tingginya dari tanah. Bara senantiasa memandang ke arah jendela. Kadang ia membuka ponselnya, untuk membaca e-book. Dalam perjalanan seperti sekarang ini, ia mudah sekali bosan.

Kendati begitu, ketika ia membuka bukunya, pikirannya sudah larut ke hal yang lain. Ia kembali memandang keluar, ke arah jendela. Apa yang harus Ia katakan nanti ketika bertemu Runa? Atau lebih buruk lagi, bisa saja Runa itu tidak ada. Apa Jangan-jangan yang John ucapkan itu benar? Runa tidak pernah benar-benar ada. Ia menggelengkan kepalanya. Tidak, tidak mungkin. Ia tahu bahwa Runa hidup di saat ini, di masa-masa ini. Ia mengingat kembali batik yang dulu pernah dikirimkannya. Ia juga mengikuti kehidupan Runa dalam mimpinya setiap hari. Itu sudah cukup untuk Bara. Bara tahu, Ia ada di Bali. Di suatu tempat di sana, di Bali Selatan.

John tertidur pulas di kursi pesawat. Ia mendengarkan lagu lewat headsetnya. Tidak mau diganggu. Bara mengikuti. Ia harus menyimpan energinya, selagi Ia bisa.

Matanya terpejam. Ia tertidur pulas di dalam pesawat, tak sampai hitungan menit. Kendati begitu, tubuhnya sepenuhnya bisa merasakan turbulensi pesawat yang terjadi berkali-kali. Hal tersebut terjadi bertubi-tubi. Ada lima-enam kali turbulensi. Beberapa penumpang mulai merasa tidak nyaman.

Mendengar riuh dari penumpang, Bara perlahan membuka matanya yang terkantuk-kantuk itu. Dari balik manik hitamnya, Bara mendapatkan sesosok orang berdiri di hadapannya. Orang yang cukup familiar. Sosok itu mengenakan jaket hoodie hitam. Dimana Ia pernah melihat orang tua ini ya?

"Konversi ruang waktu berhasil selamat datang di dunia paralel ...."

Demi mendengar itu, mata Bara membelalak. Sosok itu perlahan berubah. Betapa terkejutnya Bara ketika mendapati wajah orang itu sama sekali tidak berbentuk manusia. Belalai panjang, dengan bentuk wajah macam kadal, dengan gigi-gigi runcing terpampang di sana. Mata merahnya menatap Bara. Ia tersenyum sejenak, menampilkan gigi-gigi tajam tersebut.

"Wake up!"

"Bangun!" John memukul wajah temannya itu.

Bara sontak terbangun dari tidurnya.

"I thought you said that you don't want to sleep. What a liar,"

"Gua pikir lu tadi bilang gak mau tidur. Dasar pembohong." John melanjutkan ujarannya.

Demi mendengar suara John, Ia tahu bahwa itu semua hanyalah mimpi. Walau begitu, bayangan mengerikan dari sosok di depannya masih membayangi benaknya. Bara mengusap rambut. Kepalanya pusing bukan main ketika mengingat sosok itu.

"Hey, you okay?"

"Hey, lu gak papa?" John memandang dengan bingung.

Bara berkali-kali mengedipkan matanya. Mengambil beberapa detik sebelum membuka matanya lagi.

"Yeah. I think it's just jetlag,"

"Ya. Gua pikir ini cuma jetlag," Bara mencubit pangkal hidungnya yang menengahi matanya.

----

5 jam setelah mendarat, Bara dan John sudah terapung-apung di tengah laut. Setelah check-in ke hotel, berbaring sejenak, John sudah tidak dapat menunggu untuk pergi ke pantai. Beruntung, lokasi hotel mereka sangat dekat dengan Pantai Karma. Pantai yang berada di ujung selatan Bali.

Udara pantai yang pekat dan amis, namun menyegarkan merasuk ke dalam hidung. Matahari siang itu bersinar terik. Bara harus menyesuaikan diri dengan cuaca Bali. Walau John sepertinya tidak begitu. Bule satu itu seolah tak pernah tinggal di Inggris, menghiraukan panasnya cuaca Bali. Ia langsung mengambil papan seluncurnya. Menanggalkan baju kaosnya.

"Let's go!"

"Ayo!" John mengangkat-angkat papan seluncur sambil berlarian keluar bertelanjang dada.

"Hey! Wait up!"

"Hey! Tunggu!" Bara mengejar teman bulenya itu.

"Blue ocean, surfing, ahhh ... this is life...."

"Lautan biru, berselancar, ahhh ... inilah hidup...." John meregangkan tangannya.

Tahu-tahu saja, mereka berdua telah berapung-apung di tengah laut.

"Anyway... tomorrow is a big day, man. I hope they don't ask me to dance."

"Ngomong-ngomong... besok adalah hari penting. Gua harap mereka gak minta gua buat dansa."

"Heheh... I thought you don't care at all... hey, what is this?"

"Heheh... gua kira lu gak peduli sama sekali... hey, apaan ini?"

Sebuah benda berwarna putih mengambsng-ngambang di air. Seperti robot, tapi sekarang bentuknya lebih mirip sampah. Bara menyingkirkan benda putih itu dari hadapannya. Kadang di Bali, beberapa sampah seperti itu bisa dijumpai.

"Everyone will be there. Of course I care! After that boring meeting, we will go... straight away to your ghost's house. Ummmm! This will be great."

"Semua orang akan berada di sana. Tentu saja gua peduli! Setelah pertemuan membosankan tersebut, kita akan pergi langsung ke... rumah setan lu. Ummmmm! Ini bakal jadi hebat."

"Yeah... right... but... there's something happened,"

"Iya... betul... tapi... ada sesuatu yang terjadi," Bara tidak ingin melihat wajah John.

"What?"

"Apa?"

"It just ... I haven't talked to her since that day."

"Itu hanya ... gua belum ngobrol sama dia lagi sejak hari itu."

"How many days?"

"Berapa hari?"

"Three weeks."

"Tiga minggu."

"What the hell?! Did you say that our trip here is all for nothing?!"

"Anjirlah?! Jadi lu bilang perjalanan kita ke sini gak buat apa-apaan?!" John memukul air, kesal.

"Of course not. I'm here for you, dude. Because you have a plan, and ... and I think ... I'm here only for the vacation ... hehehe."

"Ya enggaklah. Gua di sini karena lu, cuy. Karena lu punya rencana, dan... dan gua pikir... Gua di sini ya buat liburan aja ... hehehe."

"Aw... c'mon!"

"Yaelah!"

"Don't worry, I still remember her house location. Maybe we can get there after the party?"

"Jangan khawatir, gua masih inget alamat rumahnya. Mungkin kita bisa ke sana setelah pesta?"

----

Hari sudah berganti malam.

Bara dan John sedang duduk sambil menyaksikan penampilan tari tradisional Bali. Bara mengenakan kacamata dan masker.

"Dude, what's up with the glasses?"

"Cuy, kenapa lu pake pacamata?"

"I don't want my dad to find me here ... remember, this is Bali. He might be lurking anywhere."

"Gua gak mau bokap gua buat temuin gua di sini ... ingat, ini Bali. Dia bisa bersembunyi dimana saja."

Bara duduk di samping John. Di sebelah kanan John, ada ayahnya. Di sebelah Ayah John ada Ajik, ayah Runa. Sayangnya, Bara tidak mengalihkan pandangannya sama sekali dari penampilan tari tersebut sehingga tidak menyadari orang-orang di sekelilingnya. Padahal Ajik dan Lina senantiasa Ia lihat di kehidupan Runa. Manik hitam Bara fokus menatap ke arah seseorang yang menari di sana. Semua penari mengenakan topeng, kali ini.

John yang harusnya menonton tarian ini, malah tertawa-tawa sambil mengobrol dengan ayahnya.

Musik gamelan Bali mengalun harmonis. Para penari bergerak kompak, mengikuti satu sama lain. Tarian yang nampak satu namun dinamis. Mereka bergerak luwes kesana-kemari. Bagi Bara, pemandangan ini sangatlah mistis, sakral, sekaligus indah. Ia tidak pernah menyaksikan seni tari Bali dari jarak sedekat ini. Tarian tersebut sukses menyihirnya.

Kendati begitu, ada satu orang yang sangat berbeda dari antara yang lain. Tariannya berbeda. Gerakannya sama seperti para penari di sekelilingnya. Anehnya, atmosfer penampilannya berbeda rasanya dari orang lainnya.

"You didn't avert your eyes for a sec. Wake up."

Lihat selengkapnya