"Sudah sadar, bahwa ini hanyalah ...'jembatan'?"
---
Bara terbangun dari tidurnya dengan terengah-engah. Ia menatap sekitar. Dengan cepat menyapu ruangan tempat Ia berbaring, menengok ke sekelilingnya. Ia sangat mengenali ruangan ini. Ini adalah kamar flatnya. Ia menengok ke arah jendela yang berada tepat di samping kasurnya. Hujan deras mengguyur kota. Ini situasi yang amat ganjil. Beberapa detik lalu, Ia masih berada di Bali. Sekarang Ia berpindah ke Inggris, Greenwich kota tempat tinggalnya.
Bara menghambur turun ke bawah. Membangunkan penghuni yang tidur tepat di bawahnya.
"John! Wake up! Why are you here?!"
"John! Bangun! Kenapa lu di sini?!" Bara menggoncang tubuh temannya itu. Wajah Bara tegang, seolah nyawanya baru ditarik keluar.
John keluar dari kepompong selimutnya perlahan. Matanya masih mengantuk.
"Erhhh ... shut up, dude! What the heck?! It's in the bloody mornin'!"
"Erhhh ... diemlah, cuy! Anjirlah?! Ini masih pagi buta!"
"We should be still in Bali! Why are we here?!"
"Kita seharusnya di Bali! Kenapa kita di sini?!"
"Huh? Are you high?!"
"Hah? Lu mabok ya?!"
"We should be in Bali, right now!"
"Seharusnya kita di Bali, saat ini!" Bara mengguncang tubuh temannya itu.
"Hehehe, I think you are not fully awake. I've never gone there with you!"
"Hehehe, kayaknya lu masih setengah sadar. Gua gak pernah pergi ke sana bareng lu!" Bara berhenti mendorong-dorong temannya. Ia melangkah perlahan menjauh.
"What? You forget our holiday?"
"Apa? Lu lupa liburan kita?"
Sebuah dering telepon berbunyi. Bara berjalan bolak-balik, mengacak rambutnya. Ia mengepalkan tangannya, menyentuhkannya ke dagunya. Ini semua sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sekarang Ia berada di sini? Dan hal yang paling mengejutkannya lagi adalah, John sama sekali tidak ingat mereka pergi ke Bali.
"Erghhh," John menangkat telpon, menjawab setengah niat sembari mendengarkan suara lawan bicaranya.
"Hello, Dad. This should be an urgent matter."
"Halo, Pa. Ini sebaiknya masalah urgent."
Hening sejenak. John mendengarkan dengan khidmat apa yang disampaikan oleh ayahnya.
Ekspresi John berubah menjadi serius. Matanya membesar, Ia kaget. Ia berdiri dari kasurnya.
"No way! Oh my, oh my gosh. I, I'm sorry to hear that. I'll be there soon...."
"Gak mungkin! Ya, ya Tuhan. Aku, Aku turut menyesal mendengarnya. Aku akan ke sana segera," John menutup telepon. Menengok ke arah Bara.
Ia baru saja menerima kabar yang sangat mencengangkan.
"Bara, do you want to go with me?"
"Bara, lu mau pergi bareng gua?" Bara menatap John.
"What happened?"
"Apa yang terjadi?" Bara lanjut bertanya.
John digiring keluar dari flat mereka. Tangan Bara mencengkram kerah kaosnya. Hujan mengguyur mereka dengan derasnya.
"No! It's all a lie! This world is fake! Fake! You're not real! The news not real! All things are fake! Fake!"
"Enggak! Ini semua kebohongan! Dunia ini palsu! Palsu! Lu gak nyata! Beritanya gak nyata! Semua hal ini palsu! Palsu!"
"Calm down, wha-why are you like this?! Bara, wake up mate!!"
"Tenang, ke-kenapa lu kayak gini sih?! Bara, bangun cuy!!"
John berusaha untuk tenang. Emosi Bara meledak-ledak tidak karuan, setelah mendengar apa yang baru saja terjadi.
Ia mencengkram kerah John, semakin erat. Mendorongnya ke tembok.
"I'll tell you this once motherfucker! You cannot lie to me! You're not even real, little piece of shit!"
"Gua peringatin lu sekali ini aja bajingan! Lu gak bisa bohongin gua! Lu bahkan gak nyata, dasar sampah!"
John mendorong Bara hingga ia terjatuh.
"What's the matter with you?! Are you fucking crazy?!"
"Lu kenapa sih?! Lu udah gila ya?!"
Bara tertatih-tatih bangkit berdiri. Kepalanya terseret-nyeret di tembok. Namun Ia tersungkur kembali, berteriak dan menendang tong sampah kosong.
"No way! NO FUCKING WAY!"
"Gak mungkin! GAK MUNGKIN!"
"Look, if you can't control yourself, we won't fly to Bali. I'm not in a good mood, Bara. If you want to come with me, behave yourself!"
"Gini, kalau lu gak bisa kontrol diri lu sendiri, kita gak akan terbang ke Bali. Mood gua lagi gak bagus, Bara. Kalau lu mau ikut gua, jaga perilaku lu!"
Sekarang Bara tertunduk lemas. Matanya kosong. Baru saja Ia terkejut karena perubahan dunianya yang tiba-tiba. Sekarang kabar lainnya adalah yang seperti ini. Ia serasa disambar petir. Urat nadinya menegang, kepalanya pening. Ribuan ton tekanan serasa membebani pucuk kepalanya. Ia tersungkur semakin rendah.
"So what I've been into this whole time? We went to Bali, John! We did that, together and met Runa and Lina! Ni Nyoman Runaswara!"
"Jadi gua ngapain aja selama ini? Kita sempat pergi ke Bali, John! Kita lakukan itu, bareng-bareng dan ketemu sama Runa dan Lina! Ni Nyoman Runaswara!" Bara memandang John, berharap bahwa Ia ingat.
John baru saja hendak pergi, meninggalkan Bara di sana. Namun langkahnya langsung terhenti demi mendengar nama itu.
"How can you know her name?! I've never told you before."
"Gimana lu bisa tahu namanya?! Gua gak pernah kasih tahu lu," John memutar kepalanya menatap Bara.
"I met her, John. With you too! She can't be dead right now! She's still there! Alive!"
"Gua ketemu dia, John. Bareng sama lu juga! Dia gak mungkin mati sekarang! Dia masih ada! Hidup!"
"Let's just go right now. We will talk about it later."
"Ayo kita pergi dulu. Kita akan bicarakan nanti."
----
John dan Bara sudah berada di dalam pesawat. Bara sudah mulai menceritakan semua kejadian yang dialaminya sejak mereka di taksi. Tapi John tidak ingat sama sekali.
Berkali-kali Bara bertanya, kiranya John ingat saat-saat yang baru saja mereka alami itu. Namun tidak ada satupun memori yang terbersit di pikirannya. Bara semakin kacau balau.
Apakah selama ini, yang Ia alami adalah mimpi belaka? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Perhatian semua, kita akan segera sampai di Bandar Udara Internasional Bali Utara, Kabutambahan," suara pilot terdengar mengumumkan tempat tujuan mereka melalui pengeras suara.
"What happened with Ngurah Rai?"
"Apa yang terjadi dengan Ngurah Rai?" Bara yang sedang tertunduk menengadahkan wajahnya perlahan, bertanya pada John.
"There was a tsunami close to Ngurah Rai. Local authorities said that it's too dangerous there. I told you, that's the reason ... Nyoman passed away,"
"Ada tsunami terjadi dekat Ngurah Rai. Pemerintah lokal bilang bahwa di sana terlalu berbahaya. Gua udah bilang, itu alasan ... Nyoman meninggal," John menjelaskan.
Mendengar hal tersebut sekali lagi membuat Bara semakin gusar. Ia ingin segera sampai untuk bisa melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Bandara Kabutambahan- 12.15 WITA
Bara dan John sampai di bandara tersebut. Semua televisi di bandara menampilkan berita tentang Bali Selatan yang hancur parah. Beberapa pakar juga sedang berdiskusi bahwa tsunami tersebut adalah tsunami paling mematikan yang pernah terjadi di indonesia.
"Jika tidak ada Supermoon semalam, pasti tidak akan separah ini. Kejadian ini satu dibanding satu juta kemungkinannya. Nyaris terlalu mustahil untuk terjadi. Jika dibandingkan dengan yang pernah terjadi sebelumnya di Aceh, ini jauh lebih," suara ahli tersebut terpotong. Bara memperhatikan John berjalan mendatangi Bara.
"C'mon."
"Ayo."
Bara dan John sampai di rumah duka. Sudah ada ayah Runa dan Lina. Mereka menangis di depan peti Runa, di halaman luar. Di tengah-tengah mereka ada jasad seseorang telah terbungkus dedaunan.
Mereka mengenali tubuh yang sudah pucat itu.
"No!" Bara menghambur ke peti daun tersebut.
Terlihat Runa sedang tergletak di tengahnya. Terbujur kaku.
"Runa," mata Bara berkaca-kaca. Ia mencoba sekuat tenaga untuk membendung air matanya. Ajik menatap bingung.
"Kamu siapa? Kamu kenal Runa?!"
"Om, ini saya Bara."
John membopong Bara menjauh dari sana. Ia tidak bisa percaya kelakuan temannya.
"Bara, Bara, c'mon. Snap it out, man, snap it out ... sorry, this is my friend sir. I'm John. Deepest condolence about what happened to Nyoman,"
"Bara, Bara, ayolah. Sadar, men, sadar ... maaf, ini teman saya pak. Dukacita yang terdalam untuk apa yang terjadi kepada Nyoman," John membungkuk sambil mengatupkan tangannya.
Bara kembali memeriksa jenazah di hadapannya. Ia menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin ini terjadi? Baru saja mereka menghabiskan hari bersama-sama.
"Is this, really ... you?"
"Apa ini, beneran ... kamu?"
"Kakak ini siapa? Teman sekelas Kak Runa?" Lina menepuk pundak Bara.
"Lina, kamu seriusan lupa? Kita pernah ketemu," Lina menggeleng pelan.
Hujan rintik mulai turun. Langit sudah mendung sejak tadi.
"Kita harus memindahkannya ke dalam dulu ... sudah mau hujan ... ini sudah rintik...."
John menarik lengan Bara, menggiringnya ke tempat yang lebih sepi di dalam rumah duka.
"Bara!" Bentak John.
"What?"
"Apa?"
"Ck! Is this even real? Have you ... talked to her before?"
"Ck! Apa ini asli? Lu pernah ... bicara dengannya sebelumnya?"
"John, You don't believe me?! Why is it so hard for you to believe me? Why would I be like this if I don't know the girl?!"
"John, lu gak percaya gua?! Kenapa susah sekali untuk lu buat percaya sama gua? Kenapa gua jadi sampai kayak gini kalau gua gak kenal siapa gadis itu?!"
"Hmmm. You're right, you aren't a drama queen. But please, stay here for a moment. If you are much better, let's talk. But I think you need to wait until tomorrow, bro. My dad and I will definitely talk after this."
"Hmm. Lu betul, lu bukan ratu drama. Tapi tolong, diam di sini untuk sebentar. Kalau lu udah lebih baik, ayo bicara. Tapi kayaknya lu harus tunggu sampai besok, bro. Bokap gua dan gua bakal ngobrol dulu sih abis ini."
"I ... still can't believe it...."
"Gua ... masih gak bisa percaya...."
"Me too. I haven't even met her, you know? I kinda envy you,"
"Gua juga. Gua bahkan belum ketemu sama dia, lu tahu? Gua agak iri sama lu," John tersenyum getir.
"It feels like, you know her more than I do,"
"Rasanya kayak, lu kenal dia lebih dari gua," John pergi meninggalkan Bara.
"Don't do anything stupid, Bara. Wait until I got to talk to you,"
"Jangan lakukan hal yang bodoh, Bara. Tunggu sampai gua bisa ngobrol sama lu," ucap John, sebelum meninggalkannya.
Bara duduk meringkuk. Ia membenamkan wajahnya dalam-dalam. Menutupi wajahnya yang penuh dengan tangisan.
"Runa ... kenapa tahu-tahu begini?"
Pandangannya menggelap. Ia tidak tahu lagi apa yang benar, apa yang terjadi. Semua terjadi begitu cepat. Ia tidak ingin mempercayainya. Tapi jasad Runa di depannya terlihat sangat nyata. Hujan semakin deras turun mengguyur suasana kedukaan itu. Rumah duka itu kuyup oleh air yang turun.
"Kenapa nangis?"
Bara tersentak.
"Hah, suara barusan?"
"Ternyata kamu bisa nangis juga ya? Kenapa kamu sedih, Bar? Kamu lagi dimana ini? Kok kayak bukan di Inggris?"
"Runa! Ini lu?!" Bara berteriak agak kencang, hingga kedengaran orang-orang di sekitar
"Eh ... eh ... kenapa teriak-teriak? Iyalah, siapa lagi? Kenapa banyak orang di sini?"
"Runa ... Runa!" Bara memeluk diri erat-erat. Air matanya tumpah ruah.
"Gua kira. Lu udah meninggal...."
"Hah? Apaan sih? Ngomong sembarangan banget! Orang baru tadi kita ngobrol di bandara. Kamu tahu-tahu maksa pengen balik!"
"Hah? Tadi?" Bara mencoba mengingat-ingat. Betul juga, ia tahu-tahu saja 'kan berbaring di kasurnya.
"Iya. Malemnya kamu langsung pengen pulang. Padahal besok 'kan kita mau lihat bulan...!"
"Hah?" Bara semakin bingung.
"Runa, dengerin gua. Gua akan kasih lihat lu sesuatu. Setelah itu gua akan jelasin yang terjadi."
"Ada apaan memangnya sih? Kenapa kamu jadi absurd banget."
Bara berjalan mendekati peti Runa.
"Seharusnya kemarin kita ajak Runa pergi ke Ubud ya Lina."
Ajik menangis sambil memeluk Lina.
"Astaga ... ini?"
Bara berjalan menjauh dari peti kembali.
"Iya betul. Itu badan lu. Sudah meninggal."
"Hah? Kok bisa?"
"Lu hanyut kena tsunami. Di hari Supermoon itu terjadi."
"Enggak. Enggak mungkin. Fenomena Supermoon itu seharusnya besok!"
Bara terdiam sejenak.