Gelombang°°

Feryan Christ Jonathan
Chapter #15

Sampai Akhir Hayat


Runa terbangun dari tidurnya. Matanya terbuka perlahan. Bantalnya basah. Di luar, burung berkicau dengan riangnya. Sinar mentari memantik Bali di pagi hari. Udara panas terasa sampai ke dalam. Runa sontak terduduk. Memandang ke arah luar. 

"Ya inilah hari yang ditunggu-tunggu oleh para pecinta luar angkasa. Fenomena Supermoon paling besar dalam sejarah akan terjadi malam ini. Para turis dari seluruh dunia, berdatangan ke Indonesia, khususnya ke kota Denpasar, Bali, untuk bisa menyaksikan Supermoon ini dengan lebih jelas," sebuah suara terdengar dari ruang tamu. 

"Runa ... berhasil ... kita berhasil!" Suara Bara terdengar dari dalam batinnya. 

Mendengar suara itu, Runa tumpah dalam tangisannya. Napasnya menderu. 

"Bara, terimakasih! Terimakasih!" Runa menangis sejadi-jadinya.

Tetesan air mata berjatuhan dari pipinya. Ia mengusapnya perlahan. 

"Waktu kita gak banyak. Aku sekarang ada di rumah sakit. Kamu harus selamat dari tsunami yang akan datang. Pergi dengan keluarga kamu ke Ubud."

"Tapi, kamu gimana?"

"Don't worry about me. Kalau kamu selamat, kejadian aku ke laut besok, tidak akan terjadi."

"Kak, aku sama ajik berangkat ya," Lina berteriak dari luar. 

"Tu-tunggu!" Seiring dengan datangnya suara Lina, Runa berlari menyusulnya keluar. 

Ajik menatap heran. 

"Ada apa, Runa?"

"Runa hehhh ... ikut! Heh, heh," ucap Runa dengan napas terengah-engah.

Ajik tersenyum. Tidak biasanya anak sulungnya seperti ini.

"Heheh, yasudah. Segera siap-siap. Kita tungguin."

Runa langsung menghambur ke kamar mandi.

"Lah? Jik, Lina ditungguin temen di Ubud."

"Hmmm, gak papa. Kita tunggu dulu saja, Lina."

Ajik berteriak agak lebih kencang.

"Sepertinya jalan-jalan kemarin bikin kamu jadi ingin jalan-jalan terus ya, Runa? Kita tungguin kamu ya. Segera mandi dan ganti baju, Runa."

Beberapa saat kemudian, Runa sudah mengenakan baju pergi. Ia telah duduk di mobil bersama Ajik dan Lina.

"Nice, Runa ... kerja bagus...."

Runa sudah rapi dan masuk ke dalam mobil. Bedanya, Runa membawa segaban-gaban barang di tas ranselnya.

"Bawaan kamu banyak banget, Runa."

"Ummm ... Runa pengen aja bawa barang banyak, heheheh."

"Hmmm ... yakin gak mau-?"

"Yakin!" Runa sudah menjawab duluan sebelum Ajik selesai berbicara. 

"Hmmmm ... oke, kita jalan ya," jawab Ajik, tidak ingin merubah pikiran Runa. 

Di sisi lain, Lina justru semakin heran dengan tingkah kakaknya. Mulutnya cemberut sedari tadi. Tapi, mungkin saja ini karena baru-baru ini kakaknya bertemu dengan teman baru. Jadi mempengaruhi sikapnya. Memikirkan hal itu, Lina senyum-senyum sendiri.

Ajik memacu gasnya. Mereka sudah meninggalkan area perumahan. Sekarang mulai masuk ke jalan raya. Di sepanjang jalan, Ajik mendengarkan siaran radio. Lina bermain dengan ponselnya. Sedangkan Runa malah melamun, sembari melihat anak kecil bermain di lapangan, ibu-ibu bercengkrama satu dengan yang lain, ayah yang memebelikan anaknya es krim, orang yang sedang bermain dengan peliharaan mereka. Orang-orang berlalulalang. Kadang Runa menemukan banyak wajah yang familiar. Lebih banyak lagi wajah yang asing. Terutama para turis dari negara lain yang wajahnya bisa ia tebak asal negara mereka masing-masing. Runa mengatupkan bibirnya. Banyak sekali orang hari ini. Atau mungkin ia saja yang baru sadar akan hal tersebut. Bara sedari tadi hanya diam juga. Tidak banyak bicara. Seolah apa yang dilihat oleh Runa, merasuk ke dalam diri Bara. Ia bisa melihat fokus dari Runa. Matanya terpaut pada khalayak orang banyak.

Cuaca hari ini cerah, cocok untuk orang-orang berjalan-jalan. Belum lagi karena adanya Supermoon di malam ini yang akan muncul di langit. Cuaca yang sempurna untuk menikmati Bali. Runa merasakan sebuah dilema. Bagaimana mungkin orang sebanyak ini dibiarkan begitu saja? Apakah tidak ada yang bisa ia lakukan? Runa berpikir di dalam benaknya. Ia menyimpan perasaan itu dalam-dalam.

Ajik masuk ke dalam daerah dengan banyaknya pepohonan rindang. Sekali lagi, Runa melihat banyaknya orang yang berjalan-jalan di area tersebut. Berhenti di lampu merah, Ajik menaikkan rem tangannya. Mata Runa mendapatkan dirinya berhenti pada dua orang pasangan. Mereka sepertinya masih remaja, seperti dirinya. Dua orang itu saling memandang satu sama lain. Tidak lama kemudian, tertawa. Si perempuan beringsut masuk ke daerah yang lebih banyak pohon, untuk menutupi dirinya dari panas. Si lelaki kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan payung. Ia membuka payung itu, dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Keduanya kemudian tertawa dan lanjut berjalan. Pemandangan itu perlahan menghilang setelah Ajik meninjak gas sekali lagi. Ia turunkan rem tangannya dan bergerak maju, meninggalkan dua sosok pemuda itu dalam larut tawa mereka. Meninggalkan seberkas perasaan dalam hati Runa. Jantung Runa berdegup kencang. Ia tahu, bahwa jika orang-orang ini hanya dapat selamat jika ia ingin menyelamatkan mereka.

"Ajik, tolong berhenti," tahu-tahu suara Runa membelah keheningan.

"Hah? Kenapa?" Bara juga kaget mendengar hal tersebut.

"Hah ... Runa?! Kenapa?!"

"Apaan sih kak?!"

"Tolong berhenti sekarang! A-ada yang Runa lupain."

"Haduh, Runa ... udah bawa barang banyak kayak gitu, masih ada yang lupa?" Ajik memprotes, namun mobilnya tetap berhenti juga.

"Ummm ... bukan barang jik, tapi Runa baru ingat, heheh, ada acara sama teman," Runa mencoba mencari-cari alasan.

"Haduh, kamu ini minta dimarahi ya?!" Ajik naik pitam. Ia semakin kesal mendengar alasan anaknya. 

"Aduh, maafin Runa, jik. Runa lupa banget. Gak papa, nanti Runa balik sendiri naik taksi," Lina menyadari, ada yang salah dari kakaknya. Tingkah laku aneh ini pasti ada kaitannya dengan sesuatu.

"Jik, gak papa. Kak Runa sepertinya ada urusan penting."

Lina mengedipkan mata ke arah Runa, sambil berbisik:

"Kak Bara ya?"

Runa hanya mengangguk.

"Jik, udah gak papa. Aku terlambat sedikit, gak apa kok."

"Runa! Jangan turun?! Lu mau ngapain sih?!" Bara ikut mengoceh.

----

Runa berdiri berjalan-jalan di pinggir jalanan. Banyak mobil dan motor melintas. Suara hiruk pikuk kota sedikit membuatnya takut. Beberapa kali, Runa tersentak oleh suara knalpot kendaraan. Belum lagi suara bentakkan Bara.

"Runa! Runa! Lu udah gila ya?! Ada tsunami nanti malam! Lu harus selamat, Runa!"

"Bar ... Aku gak bisa...."

"Hah ... Apa?"

"Aku ... gak bisa seegois itu! Kamu gak lihat sepanjang jalan tadi?! Orang-orang ini, akan meninggal nantinya...."

Hening sejenak. Bara menarik napas panjang. 

"Runa! Keselamatan lu lebih penting!"

Mendengar hal tersebut, Runa menaikkan nada bicaranya.

"Keselamatan semua orang sama pentingnya, Bara! Kamu sadar gak sih sama ucapan kamu sendiri?! Kamu itu calon dokter!!"

Orang-orang sekitar kebingungan, kenapa Runa berteriak-teriak sendiri.

Hening sejenak.

"Heh ... terus apa mau lu?"

"Setidaknya, aku akan mencoba semampuku, untuk menyelamatkan mereka...."

"Mereka ... gak akan percaya sama lu!" Ucap Bara dengan penekanan.

"Aku harus coba!"

"You're unbelievable, Runa."

"Kamu gak bisa dipercaya, Runa."

"Kamu mau bantu aku atau enggak? Aku gak akan pergi di saat aku seharusnya bisa melakukan sesuatu untuk mereka."

"Hmmm oke deh. Heheh...."

"Apa yang lucu?"

"Lu mau mulai dari mana? Teriak-teriak di jalanan? Lu yakin ada yang bakal percaya?"

----

Runa pergi ke semua tempat untuk berteriak-teriak. Dari mall, sekolah, rumah sakit, pura, dan sebagainya.

"AKAN ADA TSUNAMI HARI INI!"

"PERGI DARI BALI SELATAN, AKAN ADA TSUNAMI!"

"AKAN ADA TSUNAMI!"

Orang-orang di sekitar Runa kebingungan. Mereka justru pada menjauh darinya.  

Runa terengah-engah. Hari sudah sore, pukul 3.30. Dalam waktu beberapa jam lagi, akan terjadi tsunami.

"Gua udah bilang, gak akan ada yang percaya."

"Heh... heh... terus gimana?"

"Sebaiknya kita bujuk orang yang punya otoritas untuk berbicara. Seperti badan pusat gempa, atau pemerintah."

"Kalau mereka kasih peringatan, seharusnya di dunia yang kamu datangi tidak akan ada korban jiwanya 'kan?"

Lihat selengkapnya