Gelombang°°

Feryan Christ Jonathan
Chapter #16

8 Tahun

Suara burung berkicau di luar membuat bising keadaan tentram di kawasan itu. Matahari sudah tinggi. Dari sudut jalan, para pejalan kaki bermunculan untuk memulai aktivitas mereka. Di salah satu deretan rumah yang ada di kota itu, sebuah jendela terbuka dari sana. Sinar mentari merangsek masuk, mencelikkan mata seorang pemuda yang berbaring tidur di kasurnya. Matanya memicing silau. Ia sangat kelelahan. Tanpa sebab, tubuhnya tersentak bangun. 

"Heh ... heh ... heh," napas Bara tersenggal-senggal. Matanya melotot begitu rupa. 

John keluar dari kepompong selimutnya. Ia sadar teman sekamarnya bernapas tidak normal.

"What happened?"

"Apa yang terjadi?"

"Heh ... heh, I don't know. I think, I just had a very long dream."

"Heh ... heh, gua gak tahu. Gua pikir, gua barusan aja mimpiin mimpi yang sangat panjang."

"Wakey-wakey! Today is a bright and wonderful day!"

"Bangun-bangun! Hari ini adalah hari yang cerah dan indah!"

Bara tidak menggubris perkataan John. Matanya bahkan masih terfokus ke depan, tidak mengindahkan keberadaan temannya yang melongokkan kepalanya dari bawah kasurnya itu. 

"Heh? By the way, John,"

"Heh? Ngomong-ngomong, John,"

"Hmmmm?" John balas berdehem.

"We went to Bali right?"

"Kita berdua pergi ke Bali 'kan?"

"Yep."

"Iya."

"What were we doing back then?"

"Apa yang kita lakukan waktu itu?"

"About that? Hmmmmmm, we just ... hangout. Travel...."

"Tentang hal itu? Hmmmmmm, kita cuma nongkrong. Jalan-jalan..."

"Only both of us?"

"Cuma kita berdua?"

"I think there are four of us. It was me, you, my future bride, and her little sister."

"Gua rasa kita tuh berempat. Ada gua, lu, calon pengantin gua, dan adek ceweknya."

Bara sontak menengok ke arah John dengan cepat. Kilat matanya berbeda. Ia teringat sesuatu. Sudah diujung lidah, namun tidak ada suara yang keluar dari sana. 

"What?"

"Apa?"

Mulut Bara masih menganga.

"Nothing. Just ignore me. I think I just remember something really important. But, I forget."

"Gak papa. Jangan peduliin gua. Gua kayak ngerasa ingat sesuatu yang sangat penting. Tapi abis itu lupa."

"Yeah ... somehow I forget the whole trip there. But what I remember, it didn't end well. So, let's not go there again."

"Iya ... gak ngerti kenapa, gua lupa seluruh perjalanan di sana. Tapi yang gua inget, kemarin itu gak berakhir baik. Jadi sebaiknya kita gak ke sana lagi."

"I ... agree...."

"Gua ... setuju," Bara melambatkan tempo bicaranya.

"We need to go to school now."

"Kita harus ke sekolah sekarang," John turun dari kasurnya, bergegas ke kamar mandi.

Bara mengkerutkan kening.

"Right."

"Bener."

Pun mengatakan itu, badan Bara tidak beranjak.

"Ey, by the way, let's see the supermoon later. It's the day! They said, it's the most obvious Supermoon ever!"

"Ey, ngomong-ngomong, ayo kita lihat Supermoon nanti. Ini adalah harinya! Mereka bilang, ini adalah Supermoon paling jelas sepanjang sejarah!"

Ia masih mengkerutkan kening, menjawab tanpa menoleh ke arah John. 

"Yeah, sure...."

"Iya, boleh...."

Bara sadar. Ada yang hilang. Ada kepingan yang hilang dari hidupnya. Sesuatu yang penting. 

"You okay, mate?"

"Lu gak papa, cuy?" John berhenti melangkah ke kamar mandi.

"Yeah ... heheh, don't worry about me. It's just, I'm trying to remember something really important."

"Iya ... heheh, jangan khawatirin gua. Ini cuma, gua mencoba untuk mengingat sesuatu yang sangat penting."

Ia lanjut berjalan menuju kamar mandi, sembari menjawab Bara tanpa menoleh.

"If it's that important, then there is no way you'll forget that."

"Kalau hal tersebut sepenting itu, maka gak mungkin lu bisa kelupaan."

Otak Bara masih berputar keras. Tapi logika John ada benarnya. Bara tidak mungkin melupakan sesuatu yang penting. 

"You got a point."

"Lu ada benarnya juga," Bara berjalan mengikuti John. Mereka mengambil sikat gigi masing-masing.

Tirai jendela kamar flat Bara dan John masih terbuka lebar. Burung-burung berkicauan di luar, saling menyahut satu sama lain. Beberapa betengger di tepi jendela. Matahari pagi itu, panas bukan main, walau di pagi hari. Tidak ada angin. Tidak ada awan. 

Apalagi hujan.

----



8 tahun kemudian

Di sebuah lautan lepas, daerah Timur indonesia. Langit cerah, burung-burung camar berterbangan. Kawasan ini, terkenal dengan lumba-lumba yang suka melompat-lompat dari bawah air. Di tengah lautan itu, bergoyang-goyang sebuah kapal. Kapten kapal memerintahkan anak kapalnya untuk menurunkan jangkar sejenak. Awan-awan yang menggantung di atas, menitikkan percikan-percikan kecil air dari langit. Meski matahari membara di langit, percikan hujan itu tetap turun. Bak gerimisnya gerimis, hujan itu menyemprot mahkluk yang berada di bawahnya. Hujan dan mentari berada dalam saat yang sama, coexist. Tak ada upaya saling tarkam, atau meniadakan. Angin sepoi-sepoi perlahan bertiup entah dari sudut yang mana. Dari kejauhan, pulau-pulau terlihat melambai-lambaikan pepohonan kelapa. Hei, meski begitu apakah kapal harus selalu berlayar menuju pulau? Kapal itu memiliki tujuan yang lain. Lagipula pulau-pulau itu sudah mereka sambangi beberapa hari lalu. Mereka punya misi yang lain. Misi yang ada di kapal itu, semua tergantung oleh dokter kepala yang ada di sana. Kapal itu berhenti pun, atas seizin dokter kepala. Perintahnya adalah komando. Setiap anak kapal menurutinya, begitu juga perawat-perawat yang ada di sana. 

Lihat selengkapnya