Api.
Api menari-nari liar, melahap apa saja yang bisa disentuhnya. Lidah-lidah api itu menjilat tinggi ke langit malam, mengirimkan percikan bara seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Dari setiap sudut, suara teriakan tak putus-putus terdengar—bukan lagi seperti suara manusia, melainkan lolongan keputusasaan yang memilukan. Ada tangis anak-anak yang mengiris hati, melengking ketakutan. Ibu-ibu meratap, memanggil nama anak-anak mereka yang hilang dalam kobaran api. Para ayah, dengan wajah menghitam karena jelaga dan putus asa, berjibaku menerobos dinding api, mencoba menarik putra-putri mereka dari cengkeraman maut yang panas.
Rumah-rumah, yang tadinya berdiri kokoh, kini tak lebih dari tumpukan puing yang membara. Kayu-kayu hangus berserakan, patah dan menghitam. Beton-beton penyangga bangunan retak dan runtuh, kehilangan bentuk aslinya. Logam-logam berharga, bahkan besi yang kokoh, meleleh, mengalir di tanah seperti aliran darah merah kehitaman. Dan di udara, abu beterbangan ringan, menari-nari seperti salju kelabu yang turun di neraka; entah itu abu dari kayu yang terbakar, kain yang menjadi debu, atau—pikiran yang paling mengerikan—sisa-sisa dari mereka yang tak sempat lari.