Saat aku keluar dari perpustakaan sekolah seluruh koridor sudah kosong tanpa seorang pun. Aku jadi teringat dengan sebuah film tentang sekumpulan siswa SMA yang diculik oleh alien. Padahal hal seperti itu tidak akan terjadi. Aku cukup banyak membaca buku sains. Jika alien sungguh ada dan melihat kita di waktu sekarang, maka gambaran yang mereka temukan adalah di jaman dinosaurus. Ah, belum apa-apa kau jadi tahu kalau aku ini kutu buku dan tidak menarik sama sekali.
Dengan pikiran bertanya-tanya aku melalui koridor tertutup selebar dua meter dan menghampiri balkon lantai tiga. Balkon ini pun kosong, tapi aku bisa mendengar keributan dari lapangan sekolah di bawah sana. Ternyata benar dugaanku. Seisi sekolah sedang heboh menonton sesuatu di bawah sana, tapi aku tidak tahu apa. Padahal baru setengah jam aku menyelam di perpustakaan, tapi sudah terjadi sesuatu yang pasti sangat seru sampai-sampai guru-guru pun ada di bawah sana.
“Lea!” Kudengar seseorang memanggilku sambil berlari melintasi balkon. Aku kenal suara itu. Dia Yovie, temanku, sepupu dari sahabatku. Yovie selalu menghampiriku dalam setiap kesempatan. Dia sangat ramah.
“Di bawah lagi ada apa?” tanyaku begitu Yovie mendarat di sampingku.
Yovie menarik napas dalam-dalam. Sepertinya dia kelelahan karena habis latihan basket. Sebentar lagi ada turnamen antar sekolah.
“Ada pahlawan, Le.”
Aku mengernyit bingung.
Yovie menunjuk ke tiang bendera dengan gerakan kepala, “Murid baru, udah main tonjos-tonjosan aja sama Pak Samsudin.”
“Hah?!”
Pak Samsudin itu guru seni musik kami. Banyak yang benci padanya karena dia suka menyentuh murid-murid perempuan tanpa ijin. Cara mainnya cantik. Dia hanya menyentuh pundak, punggung, tangan. Tapi tetap saja itu tidak pantas.
Aku melihat ke arah lapangan. Para siswa dan guru sudah berhamburan meninggalkan lapangan. Yovie mulai menceritakan kronologi kehebohan barusan dengan detail. Singkatnya aku bisa menangkap kalau si murid baru sebenarnya menonjos wajah Pak Samsudin karena tidak suka dengan perlakuannya pada seorang siswa, selebihnya aku tidak dengar lagi karena terlalu fokus mengamati sosok pahlawan yang sedang dihukum menghormat bendera.
Baju seragamnya berkelebatan. Rambut bergelombangnya sedikit lebih panjang dari anak SMA pada umumnya. Tubuhnya kurus tinggi tapi lengannya tampak keras dan sepertinya dia rajin work out. Tapi di antara semua ciri yang cukup nyentrik itu ada satu yang menyita perhatianku hingga semua suara disekelilingku senyap ditelan angin. Wajahnya mirip Bajra.
Aku mengambil kacamata baca dari saku seragamku lalu memakainya dan kembali melihat ke arah pahlawan di bawah sana. Untuk seketika rasanya waktu berhenti berjalan. Semua kenanganku dengan Bajra melintas dalam benakku dan membuatku bisa membayangkan bagaimana wajah Bajra jika sudah dewasa.
Kutarik lengan baju Yovie dan berbicara padanya tanpa melepas pandangan dari sang pahlawan. “Siapa namanya?” kataku.
“Nama siapa?”
“Cowok yang jadi pahlawan itu,” sahutku.