Blambangan, 1723.
Spektrum warna menghiasi langit. Hujan baru saja reda setelah mengucur deras sepanjang hari. Rintik hujan mengisi sore itu. Seberkas cahaya kekuningan nan hangat merebak di atas lembah di pegunungan Ijen di timur pulau Jawa.
Matahari sedang menyapu lembah dengan cahaya kemewahan itu. Begitu menentramkan menyaksikan puja dan puji manusia menyembah matahari sebagai dewa. Bintang bermasa nitrogen dan helium itu tampak terang dan acuh menyisir satu per satu daratan dan perairan. Dia bergerak konstan bagi yang melihatnya. Tetapi sejatinya bagi mata yang lain, Bumilah yang mengelilingi sang bintang besar.
Tidak cuma perbandingan itu. Fatamorgana lainnya ialah matahari penuh keindahan surgawi. Nyatanya, jika sang bintang didekati penuh pemujaan, kamu keliru. Lidah api bakal menjilati wujudmu dalam radius 57 juta kilometer dari bintang utama terdekat, yakni Merkurius. Atau kamu punya nyali, jadilah setitik atom hidrogen yang terbakar sepanjang waktu.
Cahaya matahari berkelok-kelok melintasi ribuan lapis bumi dan menembus banyak tekanan udara. Butuh delapan menit lamanya untuk menyelimuti sosok pria di bawahnya. Mata pria itu terpejam tenang di bawah guyuran gerimis. Sebagian badannya sudah basah, sementara sebagian lainnya kering dinaungi oleh setumpuk daun pisang tua lebar.
Pria itu terlalu nyenyak tidur siang, sampai gerimis pun tidak mempengaruhinya. Panggilan budaknya diabaikan. Tidak peduli tenggorokan budaknya sakit kebanyakan berteriak.
Yugo Garret tersedot dalam pusaran energi akan mimpi panjang. Dia terjebak dalam dunia surealisme. Nyata yang tidak nyata. Sebagai akibatnya, Yugo tidak yakin pada mimpinya di ujung sore itu.
Ada banyak kilas aneh yang mengisi kepalanya. Delusi dan ilusi mengaduk otaknya, menuntut untuk disimak setiap tanda yang menyembul saling tindih. Sesaat dia mengernyit kesakitan. Dia bingung karena semuanya tidak nyata.
Yugo melihat pohon yang gosong, di dalamnya terdapat lubang dalam yang mengisapnya dalam kedamaian luar biasa, lalu terdengar suara wanita sedang bernyanyi.
Sedari kemarin pagi dadanya berdebar tanpa henti. Detak jantung Yugo bagai memiliki gema.
Dug dug...
Begitulah, seolah detakannya ganda.
"Gus Yugo, silakan masuk ke dalam. Nanti Anda jatuh sakit," kata budaknya penuh perhatian.
Agak aneh memanggil Yugo dengan embel Gus. Tetapi Wayan sudah mengenal majikannya sangat lama, sehingga tumbuh penghormatan untuk pria itu. Malahan, Yugo bukan penganut agama mana pun.
Bibir sang budak membiru kedinginan. Celana pendeknya compang-camping dan basah kuyup. Sedari tadi memayungi majikannya agar tidak kehujanan, sementara Wayan sukarela hujan-hujanan. Wayan hanya berharap Yugo mau masuk ke dalam rumah. Jika tidak, budak itu bakal mampus dalam kobaran panas akibat kena demam tinggi.
Wayan tidak masalah harus merenggang nyawa. Namun, dia enggan merepotkan majikannya soal penguburan jasadnya nanti.
Pria yang mengenakan setelan pakaian sederhana berbahan sutra itu tersenyum tipis menerima perhatian Wayan.
Budak muda itu sangat baik. Tentu saja Yugo menyukai pengabdian Wayan. Yugo akan selalu baik-baik saja. Daya metabolis Yugo sangat tinggi. Tidak pernah merasakan yang namanya sakit semenjak terbangun di pantai indah pertama kali.
Penyakit panas yang sering dikhawatirkan budaknya pun, Yugo tidak tahu bagaimana rasanya. Hanya saja Yugo agak bingung gara-gara debaran jantung ganda di antara kedua bagian tulang rusuk.
Baru kali ini terjadi gema ganda di dalam jantung Yugo.
“Kamu saja yang berteduh di dalam, Wayan," ucap Yugo santai. Dia menyingkap kain sutra dengan tenang.
"Tidak apa-apa, Gus. Saya di sini saja, menemani Anda," sedak Wayan tidak karuan. Gigi-giginya bercatrukan kedinginan.
"Aku masih ingin di luar." Yugo bergumam.
Matanya menatap langit penuh kerinduan. Dia bisa melihat aurora, tubrukan asteroid, dan lidah api di angkasa dengan jelas. Keinginan Yugo semakin besar untuk menjelajahi ruang pekat bertabur bintang-bintang. Keyakinannya menguat bahwa langit sedekat kedua bola mata yang ingin melihat satu sama lain tanpa cermin atau pantulan danau.
Pasti ada tangga untuk mencapai atas. Tetapi Gaia tidak pernah menunjukkan cara untuk keluar dari Bumi.
"Kalau saya pergi ke dalam, Gus Yugo nanti kedinginan." Wayan bersikukuh. Kedua tangan Wayan yang menggenggam tangkai daun pisang bergoyang hebat. Tidak lama lagi, dia bakal roboh pingsan.
"Tidak apa-apa, Wayan. Berikan daunnya padaku, biar kupegang."
Daun itu berpindah tangan. Wayan tidak berani protes. Dia menganggukkan kepala tanda permisi, lalu kembali ke biliknya penuh kekhawatiran. Wayan ingin memastikan jika di belakang hari, Yugo tidak akan memakinya budak tidak becus. Karena itu, apa yang dilakukan hari ini harus sempurna.
Wayan ingin melakukan pekerjaannya dengan baik. Majikannya telah membayar Wayan lebih dari kata cukup. Sangat berbeda dengan kasta lain yang tidak menghormati budak-budaknya sebagai sesama manusia.
Yugo benar-benar berbeda. Karena itu Wayan khawatir tindakannya salah jika terus membantah. Dia tidak mau dibuang begitu saja oleh Yugo.
Jika disuruh masuk ke dalam rumah, Wayan harus menurut kendati otaknya dilanda kecemasan parah. Wayan pun menancapkan ujung gagang daun pisang, sehingga membentuk lingkungan teduh di atas kepala Yugo. Setelah itu, budaknya menghilang ke dalam rumah.
Yugo sendirian. Dia semakin menikmati momen kesunyian. Tangannya menyingkap daun pisang. Hujan menyerbu di atas kepala Yugo. Langit semakin jelas. Ledakan demi ledakan ruang hampa terlihat makin kentara.
Yugo tidak butuh tumpukan kaca untuk mengamati bintang dengan jelas. Dia bisa membaca pergerakan bintang. Di selatan, terdapat buih lautan yang mengamuk seperti saat tenggelamnya Aquamarine. Tetapi semakin dilihat, buih itu berubah menjadi ribuan titik yang membaur dalam pertempuran dahsyat.
"Sudah waktunya, ya?"
Bibir Yugo melengkung ke atas. Jeritan wanita saat tidur barusan bukanlah sekadar bunga tidur. Itu adalah kenangan yang sempat tertangkap indra pendengar Yugo.
Itu suara ibunya yang mengorbankan diri.
Yugo terlalu lama dibuat menunggu kelahiran boneka lainnya. Tetapi perbedaan waktu antara planet bukan menjadi masalah bagi Yugo. Karena itu, Yugo harus mempersiapkan diri dengan baik.
Yugo duduk tegak. Dia harus kembali ke tugas utamanya tercipta di Bumi. Dengan tangkas, Yugo menggulung lengan baju buatan Cina. Dia menarik secarik perkamen di balik bajunya. Tetapi hujan tidak mengizinkan Yugo menulis di luar.
Yugo masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan rencana. Seperti yang sudah dia duga, Wayan selalu siap di ambang pintu rumah.
“Mau saya buatkan air panas untuk mandi, Gus?” tanya Wayan.
“Tidak usah. Kamu tidur saja, Yan. Aku mau tidur juga,” sanggah Yugo santai.
Yugo akui, dia butuh kehadiran Wayan untuk melelehkan tinta hitam dari arang. Tetapi budaknya butuh istirahat. Akhirnya Yugo melakukan segalanya sendiri. Dia melelehkan tinta penuh tekanan dan kecepatan, lalu menulis kalimat demi kalimat dengan aksara Bali secara hati-hati.
Yugo sudah mengajari Wayan cara membaca dan menulis. Tidak akan sulit bagi Wayan untuk segera mengerti pesan sang majikan. Perjalanan kali ini hanya bisa dilakukan oleh Yugo saja. Wayan tidak diajak serta. Wayan cuma manusia biasa. Energinya tidak cukup untuk diajak mengembara ke seluruh dunia. Mendaki daratan asing dan mengarungi samudera di seluruh semesta, tanpa oksigen pula.
Yugo mengeluarkan liontin yang tersembunyi dari balik pakaiannya. Sebuah bandul yang memiliki potret nyata galaksi Bimasakti tampak hidup. Bandulnya bergerak melingkar seperti jarum jam, mengikuti satu poros matahari mini, sementara ribuan titik hilang timbul dalam potret tersebut.
"Gaia," panggil Yugo pelan.
Desir angin beraroma musim semi memenuhi ruangan kerja Yugo. Api di dalam lentera kertas bergoyang, menandakan kehadiran makhluk misterius di sekitar Yugo. Gundukan di bawah tanah secara perlahan mewujud jadi wanita bertunik biru zamrud. Rambutnya bergelombang sampai mata kakinya. Ekspresinya angkuh dengan dagu sedikit mendongak.
"Ya, Tuan Garret" sahutnya santun, tidak secongkak parasnya.
"Sudah kubilang jangan memanggilku Tuan Garret. Aku jauh lebih muda dibanding kamu," tukas Yugo mengerutkan dahi.
Wanita bertudung biru navy itu mengulum senyum. Senang saja bisa menggoda Yugo. Ekspresi senang atau kesal Yugo terlalu mirip dengan Aquamarine. Tentu saja Gaia sangat merindukan sahabatnya.
Sejak dulu Yugo benci akan derajatnya selalu diutamakan wanita tanah itu. Dia hanyalah manusia yang tidak sepenuhnya ingat masa lalunya—atau seperti kata Gaia—Yugo terlahir sudah besar tanpa melewati fase bayi sampai remaja.
"Bagaimana yang lain?" tanya Yugo langsung. Dia tidak mau berbasa-basi setelah tidak saling kontak dengan Gaia.
Bahkan Yugo sudah tiga tahun terakhir nyaman tinggal di lembah Ijen. Setiap menjelang subuh pula, dia melihat keindahan blue fire dari Gunung Ijen.
Gaia membungkuk. Telapak tangannya meraih sejumput tanah, lalu dilemparkan ke segala arah. Dia membaca tengara yang diketahui oleh dirinya sendiri.
"Seperti yang kita bahas sebelumnya, sebagian berkumpul di Amerika. Dua orang di Asia, dan satu lagi di puncak Batian di Gunung Kenya," papar Gaia masih mengamati penuh minat tanah coklat yang dilempar ke lantai.
"Menurutmu, aku harus pergi ke mana?" tanya Yugo.
Saya tidak tahu, Tuan Kim. Saya cuma pembaca pesan, mana mungkin mengatur Anda ataupun berani memberi saran," elak Gaia enggan.
"Kalau begitu," Yugo menarik napas penuh hasrat, "aku akan pergi ke Afrika. Singgah di Serengeti asyik sepertinya," putus Yugo dan terkekeh sendiri.
Wajah Gaia mendadak keruh. Bibirnya mengerucut sebal. Sang dewi benar-benar tidak bisa memahami pikiran anak sahabatnya.
"Di antara banyak keindahan dunia, Anda memilih pergi ke tempat aneh-aneh, Tuanku. Sudah cukup Anda meminta rumah bawah laut, sekarang destinasi pertama bepergian Anda adalah ke tempat gersang." Akhirnya Gaia mengajukan kritik pedas.
Gaia kira, Yugo bakal pergi ke Amerika untuk memulai ekspedisi. Di benua Amerika itu sedang seru-serunya revolusi industri. Ada banyak koloni yang bergelimpangan merebutkan tanah. Dan Yugo bakal kaya raya menjual banyak senjata untuk menjadi pembunuh bayaran.