Di pagi hari yang dingin, embun baru saja turun, Kotaraja dilanda kegemparan, boleh dikatakan hampir seluruh penduduk keluar dari rumah masing-masing dan bergegas menuju alun-alun Kotaraja.
Hati mereka yang diliputi kecemasan, ditingkahi oleh suara kentongan yang dipukul tiada henti dari berbagai penjuru. Para penduduk saling bertanya satu sama lain, benarkah kabar bahwa junjungan mereka Prabu Linggajati dan putri Dyah Pitaloka telah wafat di Bubat?
Rasanya mereka tidak percaya mendengar kabar itu, baru beberapa hari lalu mereka melepas kepergian rombongan Prabu Linggajati dan putrinya Dyah Pitaloka yang akan dinikahkan dengan Raden Hayam Wuruk, mereka tidak pernah melupakan arak-arakan yang membawa berbagai macam bawaan di dalam ratusan peti.
Upacara dilakukan dengan meriah, seluruh penduduk gembira, Putri kerajaan yang cantik jelita akan dipersunting seorang Raja dari Majapahit.
Alun-alun telah ramai, penduduk berdesakan menyaksikan rombongan berkuda yang datang dari gerbang timur Kotaraja, ratusan prajurit dari Majapahit datang dengan membawa guci-guci berisi abu jenazah yang meninggal di medan Bubat.
Suasana diliputi ketegangan, Patih dan sejumlah pasukan siaga. Berjaga-jaga kalau akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, peristiwa Bubat masih menyisakan luka, meski sang raja sudah mengirimkan utusannya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada kerajaan Pajajaran.
Di sebuah Basalen, Buana Soca sibuk membereskan barang-barang perkakas yang biasa ia gunakan untuk membuat keris, seorang panjak yang selama ini membantunya ikut memasukan barang-barang tersebut ke dalam beberapa peti kayu besar kemudian membawanya keluar dan dinaikkan ke atas kereta kuda.
“Sapta, Kamu melihat Tirta Mukti? Dari malam kemarin aku tidak melihatnya.”
Panjak yang bernama Sapta itu menggeleng.
“Hmm, kemana ya dia, bukankah dia juga harus mengemas seluruh barangnya juga, semua empu keris yang ada di Pajajaran ini diperintahkan untuk segera kembali ke Majapahit.”
Sapta menatap Buana Soca ragu, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Buana Soca ternyata menangkap keraguannya.
“Ada apa Sapta?”
“Anu…” suara Sapta mengambang di udara.
“Anu apa?” desak Buana Soca tidak sabar, sepertinya Sapta menyimpan suatu rahasia.
“Malam kemarin saya melihat Tirta Mukti pergi ke Kadipaten, ada pertunjukan wayang golek semalam suntuk di sana.”
“Lha memang hal yang biasa toh, Tirta Mukti sejak datang ke Pajajaran ini senang menonton wayang golek?”
“Iya, tapi…”
“Tapi apa? Kamu tuh bicaranya sepotong-sepotong begini membuat aku tidak sabar.”