Anggada masih memandang artefak di pinggir lembah itu ketika Udin memanggilnya dengan tidak sabar.
“Mas, ayo tim lain sudah turun semua, sebelum kita terjebak kabut di sini.”
Sebentar Din, aku menemukan sesuatu yang baru ini,” jawab Anggada. Matanya masih meneliti sebuah susunan batu yang tidak sengaja ditemukannya. Sudah dua hari ia dan tim nya berada di Sindang Barang, meneliti berbagai macam situs yang diyakini sebagai peninggalan zaman Pajajaran.
Ada sekitar 94 titik sebaran situs di sekitar sini, di antaranya Punden Surawisesa, Taman Sri Baginda, Sumur Jalatunda, Punden Rucita, Hunyur Cibangke, Punden Pasir Ater, Batu Tapak, Makam Prabu Darmasiksa. Sebagian dari situs tersebut berada di antara pemukiman padat penduduk dan sebagian lainnya tertutup semak belukar. Hampir semuanya dalam keadaan tidak terawat bahkan nyaris terlupakan.
Anggada dan tim nya berusaha mencari puluhan lainnya yang tersebar di lereng-lereng hingga puncak Calobak salah satu puncak Gunung Salak. Mereka ingin mencoba meneliti kembali daerah kerajaan Pajajaran, sebagai salah satu kerajaan besar dan berpengaruh pada masanya.
“Mas, kabut mulai turun!” teriak Udin tidak sabar, Porter yang bertugas membantu Anggada membawakan barang itu kembali melirik Anggada yang masih berjongkok menyaksikan puing yang tersusun rapi memanjang.
“Kamu duluan saja Din, sebentar lagi aku menyusul.”
Udin mengangkat bahu, ia kemudian bergegas pergi, gerimis mempercepat kelam suasana di lembah itu. Jika kabut mulai turun keadaan akan semakin gelap. Anggada bergegas membereskan perlengkapannya, ia memotret artefak yang baru saja ditemukannya. Kemudian berjalan menyusuri jalan setapak yang menurun di antara rapatnya pepohonan.
Mengingat penemuannya tadi dadanya bergemuruh, dari bentuknya itu seperti sisa-sisa puing sebuah makam, makam tidak bernisan. Tetapi makam siapakah yang terpencil sendiri di tepi lembah, dilihat dari bentuknya jelas bukan makam orang sembarangan.
Anggada merapatkan ponconya, dingin mulai menyergap, kabut yang turun dari pegunungan seakan mengejarnya. Ia bergegas menuruni lereng gunung, ketika sampai di sebuah pohon kiara besar Anggada baru menyadari kalau ia tadi tidak melewati jalan ini.