Sudah dua kali Asih masuk ke ruang depan, menengok lelaki yang terbaring beralas tikar pandan. Tadi ia membantu Ummi membersihkan luka dan mengganti ramuan yang menutup luka. Seperti kemarin lelaki berkulit hitam manis dengan rambut ikal itu masih bergeming.
Kali ini ia berdiri terpaku sambil memandang sosok di hadapannya, sudah dua hari lelaki itu berada di sini. Asih merasa was-was. Bagaimana kalau ia tidak sadarkan diri juga? Mungkin abah harus membawanya ke rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh dari desa ini. Untuk membawa ke rumah sakit Abah harus meminjam mobil angkutan sayur punya Uwa Husen hanya dia satu-satunya penduduk kampung yang mempunyai mobil.
Baru saja Asih bermaksud meninggalkan ruang depan ketika ia mendengar suara erangan halus. Sejenak gadis itu tertegun di depan pintu. Ia berbalik kembali mendapatkan sosok yang terbaring itu. Erangan kembali lagi terdengar.
Asih langsung melesat ke dapur sambil berteriak memanggil ibunya. Wanita berumur lima puluh tiga tahun yang masih tampak cantik itu sedang asyik memarut kelapa. Ia terlonjak kaget mendengar teriakan anak gadisnya.
“Astagfirullah, aya naon Asih teriak-teriak?”
“Ummi, lelaki itu siuman,” jawab Asih kali ini suaranya sudah lebih pelan.
“Alhamdulillah, cepat atuh panggil Abah.”
“Di mana?”
“Aeh..aeh Asih, Abah mah atuh biasa di Basalen, ngerjain pesanan keris buat pawai budaya.”
Asih berlari menuju halaman belakang, melintasi jalanan kecil yang diberi bebatuan yang tersusun rapi. Jarak rumah dengan Basalen hanya sekitar sepuluh meter, bangunan tembok berukuran sekitar enam belas meter persegi itu adalah tempat Abah dengan tiga orang panjaknya membuat keris. Beberapa menit kemudian Asih dan Ayahnya sudah berjalan menuju rumah kembali.