Sore ini aku telah mempersiapkan semuanya, dari lahir hingga batin aku menyiapkan diri menerima segala kemungkinan. Apa pun keputusannya akan kuterima. Apa lagi beberapa hari ini dia tak pernah mengindahkan panggilan teleponku. Sesak sekali dada ini mendengar suara yang pertama kali kudengar kemarin adalah suara pamannya. Hingga kuputuskan untuk mengirimkan pesan singkat padanya untuk memperjelas langkah kami berikutnya. Mentari beranjak ke peraduan menemani langkah kakiku menuju sebuah obyek wisata di lereng Gunung Merapi. Sebuah bangunan dari bambu sudah terlihat dari kejauhan dengan tulisan NEW SELO di atasnya.
Sambil terus menarik pedal gas sepeda motor kesayanganku, isi kepalaku masih menerawang jauh tentang apa yang akan dikatakan oleh seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Beberapa kali kuhembuskan nafas panjang memantapkan hatiku.
“Kalau putus bagaimana? Tidak apa-apa! Harus semangat!” pekikku menyibak jalanan yang sepi. Lukisan pemandangan penuh dengan hamparan lahan pertanian menyambutku. Tibalah saat sepedaku harus merangkak naik untuk menuju tempat kami bertemu. Kulihat sepeda motor berwarna hitam lengkap modifikasinya sudah terparkir di tempat parkir. Ini pertanda dia sudah datang di tempat itu. Desiran menyayat hati mengiris-iris hatiku.
“Apakah ini pertemuan terakhir kami?” batinku. Aku hanya menepis prasangka buruk yang sedari tadi menari-nari dalam pikiranku. Ketakutan mulai menggerayapi relung hatiku. Dengan langkah pelan kutapaki jalanan yang kian menanjak.
“Akhirnya kamu datang juga,” ucap lelaki di hadapanku yang sedang menikmati pemandangan Gunung Merbabu.
“Ya, maaf aku terlambat. Ada sesuatu…”
“Pasti kamu mulai memikirkan apa yang akan kita bahas sekarang, kan?” sela lelaki bernama angin itu. Aku segera menyejajarkan badanku di sampingnya.
“Mas Bayu, aku sayang kamu. Aku pun berharap perasaan kita akan berlabuh dalam ikatan pernikahan.” Aku diam sejenak, lalu melanjutkan perkataanku, “Tapi aku siap menerima semua keputusan Mas Bayu.”
Tiba-tiba dia mengusap rambutku. Hatiku menangis, sebenarnya apa yang akan terjadi dalam hubungan kami. Kemarin dia sempat memberitahu akan memberitahu kedua orangtuanya tentang hubungan kami. Tubuhku hanya terdiam dalam sunyi. Tak terasa mataku mulai basah.
“Kita nekad saja, Sya,” ucapnya yang membuatku segera menatap wajahnya.
“Apa?”
“Kakekku tidak mengizinkan untuk melamarmu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu.” Dia semakin erat memelukku. Air mataku tiba-tiba keluar begitu saja. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa harus seperti ini? Sudah tiga tahun kami menjalin hubungan. Kenapa tak mendapatkan restu sama sekali? Bukankah ketika aku datang silaturahim, mereka menyambutku dengan hangat? Ada apa dengan mereka? Semua pertanyaan itu memenuhi kepalaku.