Gending Hati

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #2

Bagian 2

Namaku Zoriya Laasya, aku seorang mahasiswa di Institut Seni Indonesia di Solo. Aku lahir sebagai anak tunggal. Sebuah masalah membuat keadaanku harus berpisah dengan Bapakku. Aku hidup bersama Ibuku, dia adalah seorang petani sayur mayur. Kami hidup di sebuah desa di lereng Gunung Merbabu. Kalau kalian bertandang ke desaku, kalian bisa melihat indahnya pemandangan pegunungan yang masih segar dengan bentangan lahan pertanian di sekelilingnya. Desaku terkenal dengan sebuah grup tari yang terkenal sampai di manca negara. Karena grup inilah aku bisa masuk kampus ISI dengan mudah dan juga pernah dikirim menjadi seorang duta seni saat aku menginjak di bangku SMA. Sebuah kebanggaan tersendiri tentunya bisa memperkenalkan kebudayaan kabupaten kami yang berada di sisi timur lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu ke negara lain.

Kehidupanku bisa dibilang tidak seperti anak pada umumnya. Dulu, sewaktu kami masih serumah dengan Bapak, aku sering menangis di kamar karena mendengar kedua orang tuaku bertengkar. Hingga akhirnya, ibu memberanikan diri untuk mengajukan gugatan cerai. Aku ikut ibuku tinggal di rumah nenekku. Kehidupan kami mulai damai setelah pergi dari rumah itu.

Bisa dibilang Bapakku memang seorang pengusaha sukses, tetapi harta dan wanita tampaknya membuat nurani seorang lelaki menjadi buta. Hal tersebutlah yang membuatku tak pernah sungguh-sungguh dalam menjalin hubungan dengan seorang pria. Aku dikenal sebagai cewek yang tak suka membuat komitmen dengan cowok. Eits… tunggu dulu, jangan berpikir kotor dulu ya. Aku memang bisa bergaul dengan siapa saja, tetapi aku hanya menganggap mereka sebatas teman dekat. Hanya ada dua orang yang bisa singgah di hatiku. Mereka adalah Mas Bayu dan seseorang yang ingin ku kubur dalam-dalam namanya. Aku tidak ingin mengingatnya. Kembali ke topik, hubunganku bersama Mas Bayu bisa dibilang sudah cukup lama. Semenjak aku menginjak bangku kuliah.

Pertemuanku dengannya bisa dibilang sangat lucu. Dulu ada hajatan di rumah tetanggaku, aku dan teman-temanku mendapat tugas untuk menjadi sinoman yang harus melayani tamu yang datang. Tahukah kalian, aku pertama kali melihat wajah itu dengan tak sengaja. Mata kami saling beradu pandang sambil memegang kotak snack hingga aku tak sengaja menyikut gelas berisi teh yang menumpahi celananya. Ah… bisa dibayangkan betapa wajahku merah kala itu. Dia melempar senyuman hangat kepadaku dan hal tersebutlah yang membuat hatiku berdebar dan malu. Senyumannya selalu bisa mendamaikan hatiku. Dia selalu memberikan sebuah semangat yang tak pernah kudapatkan selama ini. Kehadirannya bisa menggantikan kekosongan yang telah lama ada. Itulah sekelumit betapa berharganya seorang Bayu dalam hidupku.

“Sya, Bayu kok sekarang jarang ke sini?” tanya Mak Sri, ibuku.

“Hm, lagi sibuk mungkin, Mak. Kapan-kapan pasti ke sini kok.” Mataku mulai berkaca-kaca ketika Mak Sri mengingatkanku tentang Mas Bayu. Semenjak pertemuan kami di New Selo, dia jarang sekali memberikanku kabar. Ada rasa takut yang menyeruak dalam hatiku. Aku takut Mas Bayu meninggalkanku begitu saja. Bagaimana bisa aku hidup tanpa kehadirannya? Bagaimana aku bisa melalui beratnya hari tanpa senyumannya? Bagaimana bisa aku bisa menemukan sosok seperti dia di dunia ini? pertanyaan itu selalu menghantui pikiranku. Setelah selesai menata labu siam ke dalam karung plastik. Aku memberanikan diri untuk pamit kepada Mamak. Aku butuh waktu untuk menyendiri saat ini.

“Mak, Laasya boleh main? Suntuk di rumah terus,” rengekku pada Mak Sri.

“Anak gadis kok keluyuran terus, Nduk. Kamu mau ke mana?” tanya Mak Sri sambil menarik tali rafia untuk menutup karung plastik berisi labu siam yang akan dijualnya ke pasar sayur.

“Kalau tidak boleh keluyuran, aku antar ke pasar saja kalau begitu,” jawabku sambil cemberut.

“Nah, kalau begitu kan bagus. Boleh, Mamak siap-siap dulu, ya!” Mak Sri berlalu meninggalkan aku bersama sekarung labu siam siap untuk dijual. Pikiranku masih menerawang jauh membayangkan wajah Mas Bayu yang menari-nari di kepalaku, sementara itu aku juga memikirkan tugas kuliahku yang menumpuk.

“Laasya!” teriakan seorang gadis membuat lamunanku buyar. Suaranya sangat ku kenal, siapa lagi kalau bukan Rinjani. Sahabatku dari SMP, dia menjadi sahabat dekatku semenjak aku pindah ke desa ini.

“Hmm, apa?” sahutku tampak malas.

“Wah, kenapa kamu cemberut begitu?” tanya gadis berambut panjang dengan bando warna hitam itu.

“Suntuk!”

“Ciye… yang kemarin kencan di New Selo, kenapa sekarang jadi suntuk?”

Aku kaget mendengar ucapan si Rinjani.

“Kamu tahu dari mana kalau aku ketemuan?” tanyaku penasaran.

“Hahaha, tahulah! Kemarin aku lagi di tempat Bude di desa Plalangan. Kebetulan aku lihat Mas Bayu pas naik sepeda motor menuju tempat kalian ketemuan. Selang tak begitu lama, aku lihat kamu nyusul dia. Hayo, kalian ngapain saja hayo!” goda Rinjani membuatku tambah pusing.

“Hmm…, dia ngajak kawin lari,” jawabku tak bersemangat.

OPO!” teriak Rinjani dengan logat bahasa Jawa yang kental.

Lihat selengkapnya