Gending Hati

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #3

Bagian 3

Tidak boleh begitu dong, Sya!” gertak Rinjani ketika meminta pendapatnya. Aku tahu sahabatku itu sedang memarahiku. Memarahi kebodohanku, seakan logikaku mati karena cinta.

“Siapa sih orang yang pengen kamu bahagiakan sekarang? Bukannya Mak Sri, ya? Kalau betul dia orang yang pengen kamu bahagiakan, kamu harus nurut kata dia!” seru Rinjani masih terus memberondongku dengan protes dan juga usaha memulihkan logikaku yang masih mati suri.

“Berarti aku harus bagaimana? Fokus kuliah? Terus Mas Bayu bagaimana, Rin?”

“Hm, kalau jodoh tidak akan kemana-mana. Percaya deh,” ucap Rinjani sambil mengambil jadah bakar yang kami beli di warung oleh-oleh paling terkenal di Selo. Kami terdiam, hanya suara gemertak gigi Rinjani yang sedang mengunyah jadah bakar yang terdengar di telingaku. Pandanganku masih menatap jauh ke puncak Merapi yang mengeluarkan asap solfatara. Wajah Mas Bayu tiba-tiba hadir kemudian hilang, berganti dengan wajah seseorang di masa lalu yang sudah lama pergi dari hidupku.

“Argh…!” teriakku seketika mengagetkan Rinjani hingga tersedak. Dia berusaha meminta air minum yang berada di sampingku. Aku segera menyodorkannya, dia tampak tersiksa. Aku tak sanggup menahan tawaku. Tonjokannya mendarat di lenganku.

“Kamu stres ya, Sya? Teriak kayak orang gila begitu, aku kaget tahu!” protes Rinjani.

Sorry, Rin. Aku pusing banget,” jawabku sambil tersenyum tak bersalah.

“Pusingmu belum ada apa-apanya! Tadi malam tuh aku dilamar orang dan Bapak bilang iya saja. Padahal aku tidak kenal dan tidak cinta sama orang itu,” Rinjani tampak merunduk gelisah.

“Serius?”

Dia mengangguk, aku memeluk erat sahabatku. Aku tahu dia juga bingung dengan masalahnya, tapi aku sangat egois mengajaknya larut ke dalam masalahku.

“Terus kamu bagaimana, Rin?” tanyaku penasaran.

“Hehehe, bisa apa kalau orang kayak aku, Sya. Intinya menerima, kan?” jawab Rinjani dengan senyum getir. Dia tampak lebih diam setelah mengutarakan apa yang menimpanya. Argh… kenapa hidup sesulit ini Tuhan? Apa benar kami tidak boleh memilih apa yang kami inginkan? Benarkah apa yang Kau rencanakan itu untuk kebaikan kami?

Taman bunga Merapi garden tampak begitu hening, hanya angin semilir membelai bunga-bunga yang sedang mekar berwarna-warni. Tidak ada pengunjung sore itu. Hanya ada dua orang gadis yang sedang galau duduk sambil menikmati jadah bakar. Mulut kami tak mengeluarkan sepatah katapun, kami hanya melamun sambil menikmati jadah bakar yang sudah agak dingin. Tiba-tiba dering handphone Rinjani berbunyi.

“Ya, Pak. Lagi keluar sama Laasya. Iya, Rin pulang sekarang.” Raut muka Rinjani tampak sayu.

“Kenapa?”

“Disuruh pulang. Kata Bapak, Mas Ibrahim datang. Kamu tidak apa-apa di sini sendiri?” tanya Rinjani memastikan. Aku mengangguk, dia segera mengambil kunci sepeda motor dan memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya.

“Aku duluan, ya. Jangan lupa yang aku bilang tadi. Fokus kuliah dulu,” kata Rinjani sambil berlalu meninggalkan aku sendiri. Aku masih termenung sambil memperhatikan bunga-bunga yang menari bersama angin.

“Hai Merapi, hanya kamu yang bisa mendengarkan aku sekarang. Aku harus bagaimana hai Merapi? Bisakah kau membantuku memberikan jawaban tentang rumitnya masalahku ini? Apa aku harus menolak permintaan Mas Bowo untuk kawin lari? Argh… kenapa sih menikah harus ada hitung-hitungannya? Bukannya jodoh itu yang memberikan Tuhan?”

Potongan jadah bakar terakhir masuk ke dalam mulutku. Entah kenapa ketika menghadapi masalah, aku dan Rinjani sama-sama menjadikan makan menjadi sebuah pelampiasan. Tak terasa sekotak jadah bakar habis dalam sekejap. Aku baru ingat, hari ini aku ada janji latihan menari dengan rombongan grup Topeng Ireng. Kubawa kardus bekas itu ke dalam tong sampah, aku berlari menghampiri sepeda motorku dan segera memacunya. Aku bakal kena marah nanti. Apalagi Mas Yoga sangat tegas dalam hal latihan.

Aku turun dari sepeda motor dengan setengah berlari, semua temanku sudah berjejer rapi dalam barisan. Mas Yoga memperhatikan aku dari jauh, jari telunjuknya memberi isyarat agar aku segera mendekat kepadanya. Huft, aku menghela nafas panjang.

Pangapunten Mas, saya telat,” ucapku sambil menunduk merasa bersalah. Ini adalah latihan terakhirku. Aku memutuskan untuk vakum sementara waktu di grup ini.

“Tidak apa-apa, ada tamu mau ketemu kamu di dalam. Kamu temui beliau terlebih dahulu, nanti susul yang lain latihan kalau sudah selesai,” ucap Mas Yoga sambil memberikan aba-aba bagi penabuh musik memulai latihan. Aku penasaran sebenarnya siapa tamu yang dimaksud Mas Yoga. Aku masuk ke dalam rumahnya, betapa kagetnya orang tersebut adalah Pak Burhan, dosen pengampu seni tari di fakultasku.

“Assalamu’alaikum, Pak Burhan. Ada apa ya, Pak, kok tumben mencari saya sampai di sini?” tanyaku penasaran.

“Waalaikumsalam, Oh Laasya. Kebetulan saya memang menemui Mas Yoga untuk event World Dance lusa. Kata Mas Yoga kamu bisa menyanyi juga ya selain menari?”

“I.. iya, Pak. Ada apa ya?”

“Hehehe, kebetulan sekali. Anak sahabat saya sedang menempuh kuliah pedalangan sekarang. Nah, untuk mendongkrak nilai kamu yang sering tidak mengumpulkan tugas, Bapak tugaskan kamu untuk belajar sinden bersama dia,” kata Pak Burhan bersemangat.

Lihat selengkapnya