“Laasya! Sya!” suara Eyang putri terdengar dari luar. Mataku masih sulit untuk dibuka, tapi tubuh ini kupaksa untuk bangun. Masih dengan mata terpejam, aku berjalan menuju pintu. Suara adzan lamat-lamat sampai di telingaku.
“Ya Allah, bocah! Ndang ambil wudhu, sholat subuh!” bentak Eyang. Antara sadar dan tidak sadar aku berjalan perlahan ke kamar mandi. Percikan air membuat mataku lebih segar. Setelah selesai sholat subuh, entah kenapa rayuan kasur yang empuk dan selimut yang hangat masih membuatku terbuai kembali. Sepulang dari masjid, Mak Sri teriak-teriak membangunkan aku.
“Laasya! Sya!” panggilnya menuju kamar. Aku masih memeluk guling dan pura-pura tidur. Tiba-tiba Mak Sri menyeret selimutku, udara yang dingin menusuk ke kulitku membuat aku spontan marah-marah.
“Mak, masih dingin!”
“Kamu hari ini mau berangkat pagi, kan? Ini sudah jam 5, Lasya!” Otakku mulai bekerja, seketika badan ini merespon dan terperanjat dari kasur.
“Oh iya, terima kasih, Mak. Laasya hampir lupa,” ucapku sambil berlari mengambil handuk dan mandi. Udara pagi ini sangat dingin, air kamar mandi hampir berubah menjadi air es. Dingin sampai menusuk ke dalam tulang-tulang. Suara bersin membuat Mak Sri agak khawatir.
“Perlu air hangat?” tanya Mak Sri dari dapur.
“Tidak.”
Kupaksa membelai air yang dingin demi nilai B dari Pak Burhan. Setelah selesai mandi, aku bersiap berangkat. Kukecup punggung tangan Mak Sri dan Eyang putri yang sedang duduk di teras sambil menyiapkan keranjang bambu untuk memanen tomat. Mereka berdua masih sibuk adu bicara mengenai harga tomat yang terjun bebas di pasaran. Aku tak peduli mereka berdua yang masih bersikeras dengan argumen masing-masing. Yang terpenting bagiku adalah segera berangkat. Pak Burhan sudah memberikan pesan tadi, jika orang yang akan kujemput mendarat pukul 08.00 pagi. Matahari masih malu-malu di belakang Gunung Lawu yang menyerupai wajah seorang putri. Angin membelai wajahku yang lupa kututupi dengan masker, bau pupuk kandang dari lahan pertanian menjalar di hidungku. Segera kupacu pedal gas agar segera melaju cepat. Sapaan warga desa yang mengenaliku menggema setiap aku melewati mereka. Jalanan penuh tikungan menyambutku, tiap tikungan kubunyikan klakson sepedaku agar tak terjadi tabrakan dengan sepeda yang melaju dari arah berlawanan. Daerah ini memang rawan sekali kecelakaan karena banyaknya tikungan yang bisa mengecoh pengendara.
Dengan konsentrasi penuh kusibak jalanan yang mulai padat memasuki kota. Lampu merah di utara kompleks Kabupaten Boyolali menyala merah, membuatku harus berhenti. Aku memperhatikan jam tanganku. Masih ada waktu sebelum orang itu mendarat. Sesampainya di sekitar Polres Boyolali tiba-tiba ban sepedaku agak oleng. Aku segera menepikan sepeda motorku. Sial! Ban belakangku kempes. Aku menggerutu sambil mendorong sepeda menuju tambal ban terdekat. Apes banget hari ini, aku belum sempat sarapan. Untungnya di sekitar pasar Mojosongo ada bengkel yang sudah buka.
“Pak, mau nambal ban, Pak,” ucapku pada pemilik bengkel yang sedang siap-siap.
“Oh, monggo, Mbak. Silahkan duduk dulu.” Lelaki setengah baya itu menyodorkan bangku untuk kududuki.
“Maturnuwun.”
Untuk mengusir penat, kupasang earphone di telingaku. Lagu-lagu One Direction dan Weslife mengalun pelan di telingaku, hentakan musik membuat kondisi hatiku sedikit membaik. Aku hanya merasa perutku sudah keroncongan. Kulihat jam di tanganku, sudah hampir jam setengah delapan. Jika aku mampir ke warung makan, pasti aku terlambat sampai di bandara. Ya sudahlah, demi nilai B lapar ini akan kutahan.
“Sudah, Mbak,” ucap pemilik bengkel sambil menurunkan sepedaku.
“Oh, ya.” Aku meraba-raba dompet dalam tasku. Ya Salam! Dompetku ketinggalan, kuraba saku kecil di dalam tas, aku mendapati sebuah kertas. Segera kulihat kertas tersebut, Alhamdulillah, untung ada uang walaupun hanya dua puluh ribu saja. Dengan senyum mengembang dan ucapan terima kasih kusodorkan uang berwarna hijau dan putih itu. Pemilik bengkel segera memberikan kembalian. Aduh, kalau pulang tidak bakal terkejar. Yang penting jemput orang itu dulu. Urusan dompet nanti sore bisa pulang lagi.
Sesampainya bandara, aku hanya celingak-celinguk seperti orang kebingungan. Pak Burhan tiba-tiba menelponku.
“Halo, Pak.”
“Kamu mau dapat nilai D?! kenapa belum sampai ke bandara?!” murka Pak Burhan di seberang sana.
“Saya sudah sampai di bandara kok, Pak. Tapi, belum bertemu dengan orang yang Bapak maksud,” sahutku membela diri. Hih, Pak Burhan seenaknya sendiri mau memberi nilai D. Pengorbananku bakal sia-sia kalau dapat nilai D saja.
“Ya, sudah! Bapak sudah kasih nomor kamu. Tunggu dia telpon kamu!” perintah Pak Burhan.
“Siap, Pak.”
Huft! Nasibku sial banget, kok bisa ketemu dosen antik kayak Pak Burhan. Aku duduk di ruang tunggu. Tiba-tiba ada nomor baru menghubungiku.
“Halo!”