Pikiranku kalut, jujur di dalam hatiku ada sebuah ketakutan. Iya, aku takut Mas Bayu mengira aku sedang selingkuh. Tatapannya penuh dengan rasa cemburu. Aku bisa merasakan dia menatap Wisnu dengan tatapan tak suka.
“Eh, Mas…, kok?”
“Tadi aku mampir ke rumah, kata Mak Sri dompet kamu ketinggalan. Aku mau ambil barang ke Tawangmangu,” jawabnya sambil menyodorkan dompet dan mengamati sosok Wisnu yang masih sibuk menyantap makanannya.
“Sudah sarapan, Mas?”
“Sudah. Aku pamit dulu, nanti aku hubungi kamu,” jawabnya sambil meninggalkanku bersama Wisnu. Aku merasa bersalah, aku takut dia marah.
Wisnu menoleh ke arah Mas Bayu yang sudah naik ke mobilnya.
“Pacar kamu?” tanya Wisnu penasaran. Aku hanya mengangguk sambil mengaduk-aduk kuah soto beserta ampasnya. Nafsu makanku tiba-tiba hilang.
“Tidak boleh menyia-nyiakan makanan, buruan dimakan!” perintah Wisnu. Aku masih khawatir Mas Bayu berpikir yang tidak-tidak. Bagaimanapun juga aku tidak mau kehilangan dia. Hampir seperempat jam aku menghabiskan makanan, Wisnu dengan sabar menemaniku yang masih galau.
“Sudah?” tanya Wisnu kepadaku.
“Sudah, maaf ya, kelamaan,” jawabku merasa bersalah.
“Tidak kok. Aku bayar dulu.” Wisnu meninggalkanku di meja sendirian. Pikiranku masih kacau, aku bergegas ingin mengantar Wisnu ke kampus agar bisa mengambil alat-alat untuk kuliah. Stagen dan jarikku masih ada di kos.
“Apa sih yang ketinggalan?” tanya Wisnu penasaran sambil turun dari jok sepedaku.
“Jarik sama stagen. Aku tinggal dulu, ya. Kalau butuh bantuan telpon saja,” ucapku sambil meninggalkannya di dekat fakultas pedalangan. Hari ini ada presentasi tugas koreografi, tapi konsentrasiku hancur. Hanya suara Mas Bayu yang ingin aku dengar, hanya kehadirannya yang bisa menenangkanku. Sesampainya di kampus, Citra sudah menungguku. Dia sudah memakai sampur dan jariknya. Hari ini kami akan mempresentasikan tugas kelompok kami untuk tugas koreografi.
“Kenapa mukamu kusut begitu?” tanya Citra penasaran.
“Panjang ceritanya, kamu perlu menginap kalau pengen dengar ceritanya.”
“OK, aku izin Bunda dulu,” ucapnya sambil membelai ponsel pintarnya. Tanganku masih terampil mengikat jarik dan melilitkan stagen di perutku. Kudengar beberapa kawanku berbisik, Pak Burhan datang bersama seorang lelaki ganteng. Seketika aku menoleh ke arah pintu. Hum, benar saja, si Wisnu yang membuat heboh. Aku bisa bertaruh, anak-anak tari pasti bakalan mengejar dia. Apalagi kalau mereka tahu Wisnu adalah seorang dalang. Riuhnya teman-temanku yang mendekati Pak Burhan, tak membuatku ikut dalam euforia kedatangan Wisnu. Bagiku, telpon Mas Bayu lebih penting dari nilai B dari Pak Burhan. Aku duduk termenung mengasingkan diri dari teman-teman yang masih sibuk berkenalan dengan Wisnu.
“Laasya!” teriak Wisnu padaku. Tangannya menyuruh agar mendekatinya. Tapi, aku tetap tak bergeming. Aku masih memandangi ponselku. Tak ada telpon dari Mas Bayu, pesanku juga belum dibalasnya. Apakah dia marah padaku? Ini kan cuma salah paham?
Sesudah mempresentasikan tugas koreografi pada Pak Burhan, aku segera keluar dari ruangan. Citra mengekorku dari belakang. Dia pasti tahu kondisi hatiku dalam keadaan buruk.
“Sya! Kamu kenapa sih?”
“Mas Bayu marah sama aku, Cit,” jawabku sambil duduk di bangku taman fakultas.
“Memangnya ada masalah apa?” tanya Citra penasaran.
“Mungkin salah paham. Tadi, aku disuruh menjemput si Wisnu, kebetulan Mas Bayu melihat kami sedang sarapan berdua. Mungkin dia marah karena aku pergi dengan lelaki lain,” ucapku lirih.
“Biar dia berpikir jernih dulu. Biasanya cowok memang mengedepankan emosinya. Cowok mana pun tidak ada yang mau wanitanya disentuh atau pergi dengan cowok lain.” Jawaban Citra membuatku tambah galau. Argh, bisakah mengulang waktu? Pasti aku tidak akan melupakan tugasku kemarin.
Beberapa hari Mas Bayu bak hilang ditelan bumi. Tak ada satu pun pesan yang dibalasnya. Aku semakin pesimis. Disaat seperti itu, hanya Rinjani yang bisa kumintai saran.
“Tumben pulang langsung mampir ke sini? Ada apa, Sya?” tanya Rinjani penasaran. Di tangannya ada segelas teh manis panas yang menggoda imanku.
“Aku…, aku lost contact sama Mas Bayu.”
“Kok bisa?”
Curahan hatiku mengalir begitu saja sore ini. Rinjani hanya menasehatiku agar lebih fokus pada kuliah. Entah kenapa dia begitu sama dengan Mak Sri. Selalu menomor satukan kuliah.
“Opo! Seminggu lagi?!” teriakku tak percaya ketika Rinjani mengatakan pernikahannya akan digelar minggu depan. Dia hanya mengangguk. Ada guratan rasa takut yang nampak di wajahnya.
“Kamu sudah yakin?” Aku berusaha meraih tangannya.
“Aku bisa apa, Sya. Hahaha, tidak bisa menolak, mau tidak mau ya harus mau.”
“Tapi… komitmen lho, Rin?”