“Sya, cepat masuk!” perintah Mbak Rengganis. Aku masih memperhatikan sekelilingku dan mengamati ponselku. Orang yang mengirim pesan padaku tak menampakkan batang hidungnya. Mas Abdul sudah berulang-ulang membunyikan klakson agar aku segera masuk ke dalam mobil. Aku tak mau menimbulkan rasa kesal pada rekan-rekanku. Seketika itu juga aku segera masuk ke dalam mobil. Rasa penasaran yang membelenggu pikiranku sejak tadi segera kuhapus secara perlahan.
Sembari menyusuri jalan untuk pulang ke sanggar, Mas Adipati memberikan kami uang manggung hari ini. Amplop pertama mendarat pada Mbak Rengganis, kemudian Mbak Ayunda, lalu Mbak Nyimut kemudian amplop keempat mendarat kepadaku. Aku mengucapkan terima kasih pada Mas Adipati. Senyum kepuasan nampak dari wajah mereka. Mereka masih larut dalam candaan mengusir rasa lelah yang tengah menjangkiti badan kami.
“Sya, ini titipan dari Bu Murni,” ucap Mas Adipati sambil menyodorkan sebuah amplop.
“Wah, Laasya dapat jatah double,” goda Mbak Nyimut.
“Rejeki anak sholehah,” timpal Mbak Rengganis.
“Eh, aku sempat merekam aksi kamu lho, Sya,” sahut Mbak Ayunda sambil mengeluarkan ponselnya. Kami berempat langsung mengelilingi Mbak Ayunda untuk melihat hasil rekamannya. Aku tak menyangka bisa selepas itu. Pujian terlontar dari mulut ketiganya. Aku hanya membalasnya dengan senyum simpul. Sebenarnya hatiku masih sakit ketika mengingat kejadian kemarin. Mungkin tarianku tadi hanya pelampiasan emosiku. Dibalik aksi yang menuai pujian ada hati yang menangis di dalamnya.
Setelah sampai di sanggar, kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Aku mengamati ponselku nampak nama Wisnu muncul di layar.
“Ya, ada apa?” tanyaku sedikit malas.
“Buruan pulang, aku sudah di kos kamu bawa makanan,” jawabnya dari seberang.
“Ya.”
Aku memasukkan ponselku ke dalam tas. Segera kupacu kuda besi yang terparkir di sudut rumah Mas Adipati. Bunyi klakson membuat rekan-rekan baruku melambaikan tangan. Di sepanjang perjalanan pikiranku masih kalut, tak terasa air mata menetes begitu saja. Kata-kata perpisahan kemarin masih terputar dengan sendirinya. Beruntung aku mengenakan masker dan kacamata, sehingga tak ada yang mengetahui aku menangis sepanjang jalan.
Setelah Mas Bayu pergi, siapa yang akan menjadi sandaranku? Siapa yang bisa menerimaku menjadi diriku sendiri layaknya Mas Bayu? Apa masih ada lelaki seperti dia di dunia ini? Argh… entahlah! Aku harus segera mengalihkan ketakutan ini. Aku tak bisa begini terus. Satu-satunya jalan agar bisa terbebas dari belenggu ini adalah menyibukkan diri. Tadi Mas Adipati sempat menawarkan beberapa pekerjaan, lantas aku menyanggupinya. Selagi tidak bentrok dengan jadwal kuliah, kenapa tidak? Pekerjaan ini halal dan bisa menghasilkan uang. Aku bisa mencukupi kebutuhan kuliahku sendiri tanpa membuat repot Mak Sri.
Sesampainya di kos, kulihat Wisnu duduk sambil membaca buku. Lekuk bibirnya merekah menyambut kedatanganku.
“Sorry, agak telat, kamu sudah lama?” tanyaku sambil memasukkan tas perlengkapanku.
“Lumayan. Nih, aku bawain makanan. Buruan dimakan!” perintahnya sambil menyodorkan sebuah kotak berisi nasi dan ayam goreng kremes.
“Aku mau membersihkan make up dulu. Kamu sudah makan?”
Dia mengangguk. Aku mengeluarkan pembersih dan penyegar dari dompet alat riasku. Dia masih sibuk membaca buku di tangannya.