“Kalian apa-apaan sih!” bentak seorang gadis remaja sembari bangkit dari tempat tidur. Aku masih berada di belakang Wisnu yang terpaku dengan mengangkat payung di atas kepalanya. Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar dari luar. Aku segera berlari ke arah pintu. Nampak beberapa warga berada di depan pintu.
“Ada apa, Mbak, kok malam-malam ada suara teriakan?” tanya seorang dari mereka.
Aku mulai memutar otak, tak mungkin akan kujawab dengan kekagetan kami dengan kedatangan seorang gadis di rumah itu.
“Oh, ada ular, Pak. Tapi, sudah dibunuh kok,” jawabku asal.
“Owalah, saya kira ada maling, Mbak. Oh, jadi Mbak yang menginap di rumah ini? Tadi Pak Burhan sempat melapor ke rumah saya,” sahut RT perumahan tersebut.
“Hehehe, maaf ya, Pak. Maaf jika mengganggu jam istirahat Bapak-Bapak sekalian.” Mereka pamit kembali ke rumah masing-masing. Aku segera menutup pintu, nampak Wisnu berjalan dengan gadis itu ke ruang tamu.
“Dia putrinya Paman Burhan, Sya,” kata Wisnu sambil merebahkan badannya di atas sofa. Aku hanya mengernyitkan dahi.
“Ayah bilang ada seorang mahasiswi yang mau menginap di rumah ini, agar tidak menimbulkan fitnah, Ayah menyuruhku menemani. Ayah juga lapor ke tempat Pak RT kalau Mbak Laasya malam ini mau menginap,” ucap sang gadis sambil sesekali menguap. Aku mengucap terima kasih beserta ucapan maaf pada gadis bernama Naura itu.
Aku tidur bersama Naura di kamar tadi. Sementara Wisnu sudah terlelap di sofa ruang tamu. Esok harinya aku segera meninggalkan rumah tersebut. Setelah sholat subuh, Wisnu kembali tidur. Mungkin dia terlalu lelah, Naura pun sudah siap dengan seragam sekolahnya menunggu Pak Burhan menjemputnya. Sesampainya di kos, aku segera mencuci kebaya yang kemarin kupakai. Untung kemarin aku membeli dua baju kebaya. Kumasukkan semua peralatan ke dalam tas. Sambil menunggu jam 10.00, kuhabiskan waktuku untuk mempelajari beberapa langgam yang diajari oleh Mbak Wigati. Audio langgam-langgam yang diberikan Mbak Wigati kudengarkan dengan seksama. Disaat sedang tenggelam dalam syair-syair yang mendayu-dayu, tiba-tiba seseorang mendobrak pintu kamarku.
“Sya! Kamu tadi malam dari mana?!” tanya Citra tampak emosi. Aku hanya tersenyum dan tidak menghiraukannya. Nampak dia semakin jengkel, direbutnya earphone yang menggantung di telingaku.
“Diajak Wisnu nonton, Cit,” jawabku kesal.
“Hum, sudah move on dari Mas Bayu?”
Aku hanya menggeleng. Seketika luka hatiku bak disiram dengan air garam. Perihnya tak tertahan.
“Please, Cit. Jangan ungkit Mas Bayu lagi. Biarkan aku tenggelam dalam rutinitas baruku,” pintaku pada Citra.
“Belajarlah membuka hati, Sya. Wisnu lelaki yang baik.”
“Hum, jangan lihat buku dari sampulnya!”
Citra terbahak ketika mendengarku mulai tidak terima lelaki songong bernama Wisnu itu dikategorikan baik. Tapi tak bisa kupungkiri, hatiku melunak dengan kebaikannya kemarin. Aku masih menatap syal hitam yang berada di atas tas jinjingku. Tampaknya Citra menyadari apa yang kulihat.
“Syal dari mana?” Citra mencoba meraih syal tersebut. Aku berusaha merebutnya. Kami berdua saling berebut syal tersebut.
“Ih! Cuma lihat, pelit banget sih?!” jerit Citra. Aku segera mengambil syal tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Kulihat wajah Citra masih terlihat kesal. Aku merangkulnya.
“Yuk, makan siang dulu,” ajakku pada Citra. Ternyata rayuanku manjur, Citra tersenyum menyambut tawaranku. Kami makan di sebuah warung mie ayam. Sebenarnya Citra sempat protes karena hanya ditraktir makan mie ayam dengan gaji pertamaku. Hanya alasan aku ingin membeli kostum baru yang bisa kusuguhkan kepadanya. Akhirnya dia bisa memaklumiku. Kami berdua menikmati mie ayam dengan toping ceker dan daun bawang di atasnya. Benar-benar menggugah nafsu makanku.