Suasana perkuliahan tak lagi membuatku nyaman. Sindiran demi sindiran membuat telingaku semakin panas. Setelah perkuliahan selesai, aku dengan sengaja meninggalkan mereka. Citra masih berkumpul dengan mereka. Kenapa dunia semakin tak bersahabat denganku? Semua seakan menjauh dariku. Aku masih duduk termenung melihat adik tingkatku latihan menari di aula kampus. Desiran angin membelai lembut wajahku. Tepukan seseorang membuat jantungku terperanjat. Sosok itu tertawa melihatku kaget.
“Kamu sering banget melamun, ada apa sih?” tanya Wisnu duduk di sampingku.
“Kebetulan kamu datang ke sini. Gara-gara kamu, anak-anak menjauhiku. Sebenarnya kenapa sih kamu bersikap begitu? Kalau kamu sedikit ramah dengan mereka, aku yakin mereka tidak akan nyinyir di kelas,” jawabku sedikit ketus.
“Aku tidak suka cewek yang terlalu berambisi.”
“Tapi, bukan berarti kamu bisa membentak mereka, kan? Mereka mengira aku nempel terus sama kamu!” balasku lebih ketus. Tak ada kata yang keluar dari mulut kami berdua. Aku meninggalkan Wisnu duduk sendiri, semakin lama bersama dia hanya akan membuat hatiku semakin kesal.
Gara-gara kesal dengan teman sekelasku, aku melampiaskannya dengan belanja kain di Beteng Trade Center. Citra tak bisa menemaniku karena masih sibuk dengan acara keluarga sepulang kuliah. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan kain brokat yang kuinginkan. Mataku tiba-tiba tertuju kesosok yang berdiri di ujung koridor. Iya, dia lelaki yang masih kucintai. Mas Bayu berjalan menjauh, aku masih berdiri terpaku melihatnya. Kenapa dia bisa bersama wanita itu? Aku berusaha mengejarnya sampai di tempat parkir, tapi mobilnya sudah melesat ke luar. Nafasku masih tersengal-sengal. Tiba-tiba hatiku makin terasa perih. Rasa sakit hati berkolaborasi dengan rasa lapar membuat suasana hatiku kian buruk. Hanya satu yang bisa kulakukan sekarang, makan sepuasnya. Aku duduk di bangku terbuka di depan BTC. Tengkleng dan sate buntel disuguhan pemilik warung, entah kenapa nafsu makanku tiba-tiba menggebu. Mulutku masih aktif menikmati makanan di hadapanku, sedangkan pikiranku melayang entah ke mana.
“Hei!” sapa seorang pria duduk di hadapanku.
“E… maaf siapa, ya?” tanyaku penasaran.
“Kamu sinden baru yang kemarin datang ke sanggar, kan?” tanya lelaki berwajah putih bersih dengan perawakan tinggi itu tanpa menjawab pertanyaanku.
“I-iya.”
“Aku Pandu. Kemarin aku melihat kamu di sanggar. By the way, siapa nama kamu?” tanya Pandu membuatku sedikit gelagapan karena dia sudah menyodorkan tangannya.
“Laasya, Mas,” jawabku sambil menjabat tangannya.
“Kamu kok sendirian? Pacarmu mana?” Tiba-tiba aku tersedak mendengar pertanyaan Mas Pandu.
“Pacar?”