Gending Hati

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #10

Bagian 10

Entah kenapa hari ini aku tidak bersemangat menjalani hari. Beberapa hari memang aku memimpikan Mas Bayu. Ya, bisa dibilang aku terlalu merindukannya. Bahkan aku membunuh semua rasa maluku. Aku tetap mengirim beberapa pesan, tapi tak ada satupun pesan yang dibalasnya. Jujur, aku sempat mengajaknya memperbaiki hubungan kami yang sudah retak, tapi hal tersebut tetap saja membuatku galau. Tak ada respon sama sekali.

Hari ini aku berniat pulang ke rumah setelah pentas. Beruntung, job  kali ini di sebuah gedung di jalur Solo-Semarang. Sebuah patung Semar menyambut kami memasuki pelataran gedung yang berhadapan dengan Kantor Polres Boyolali.  Deretan kursi berwarna merah berjejer dengan rapi, hiasan dekorasi dengan bunga berwarna merah mendominasi panggung pengantin. Aku mengekor di belakang Mbak Rengganis. Kami bersiap-siap di pojok gedung tersebut. Sementara kru penabuh kami mempersiapkan alat-alat di panggung musik. Ketika sedang memakai sanggul, aku kaget melihat paman Mas Bayu berjalan dengan setelan jas begitu rapi. Aku berusaha menengoknya.

“Jangan gerak-gerak dulu, Sya!” gertak Mbak Ayunda yang sedang menghias sanggulku dengan bunga melati. Rasa penasaran menyelimuti hatiku. Apa pernikahan ini masih kerabat dengan keluarga Mas Bayu? Berarti, kemungkinan Mas Bayu ada di acara ini cukup besar. Hatiku tiba-tiba berbunga-bunga. Sudah lama aku merindukan pria itu. Mbak Ayunda dan Mbak Nyimut sudah berjalan menuju tempat acara. Sedangkan aku dan Mbak Rengganis masih sibuk memasukkan alat make up ke dalam tas jinjing kami.

“Yuk, Sya!” ajak Mbak Rengganis. Aku berjalan di belakang Mbak Rengganis. tiba-tiba aku terpaku melihat foto yang terpasang di depan pintu masuk acara tersebut. Hatiku hancur, dadaku sesak, inginku menangis saat itu juga. Bagaimana bisa ini terjadi? Ingin rasanya lari dari tempat ini. Aku masih mengamati gambar lelaki yang tersenyum manis pada gadis cantik di hadapannya. Semakin lama aku tidak bisa menahannya. Aku berusaha menepis segala sesak dalam dadaku. Bagaimanapun juga aku harus kuat melalui saat-saat ini. Aku berjalan dan duduk di sisi Mbak Rengganis. Wanita berumur 30 tahun itu seakan mengerti apa yang kurasakan saat ini.

“Sya, ada apa?” tanya Mbak Rengganis penasaran.

“Tidak ada apa-apa, Mbak.”

“Bohong! Pasti ada apa-apa, sabar ya. Kita harus profesional meskipun hati kita hancur,” ucap Mbak Rengganis. Aku mengangguk. Meskipun mataku ini tak bisa berbohong. Aku bernyanyi meskipun hatiku hancur saat ini. Apa ini jawaban dari Tuhan bahwa aku memang tidak berjodoh dengannya?

Pengantin perempuan sudah duduk di panggung pengantin. Kemudian disusul Mas Bayu berjalan memasuki gedung resepsi. Mas Bayu belum menyadari keberadaanku, tapi ibunya sudah menatapku sedari tadi. Ketika aku menatapnya, dia membuang muka. Mataku masih tertuju pada lelaki yang berdiri dengan pakaian pengantin berwarna merah itu. Saat acara pasrah dilaksanakan, tiba-tiba mata Mas Bayu tertuju padaku. Raut wajahnya seperti terkejut melihatku duduk di sudut ruangan tersebut. Aku berusaha menahan agar mataku tak meneteskan air mata. Hingga aku berusaha menghindari tatapan matanya. Semburat kesedihan masih terpancar dari wajahku. Harusnya aku yang berada di singgasana itu bukan wanita itu. Mas Adipati menyuruhku berdiri untuk menghibur para tamu. Ada beberapa orang yang mengenaliku dan tampak ada sebuah rasa iba yang terpancar dari wajah mereka.

Aku berjalan perlahan dengan iringan musik lagu Banyu Langit. Meskipun sesak aku masih berusaha agar suaraku tidak sumbang. Mas Bayu duduk di kursi pelaminan mata kami masih beradu tatap, aku masih menyanyikan lagu tersebut dengan sebaik mungkin. Tatapannya membuat luka hatiku semakin dalam. Aku berjalan menghampiri para tamu yang masih menikmati hidangan. Mbak Rengganis menyemangatiku dari kejauhan, nampaknya dia sudah mengerti apa yang terjadi. Aku mengakhiri lagu tersebut dengan baik dan berjalan mengembalikan microfone. Mbak Rengganis menghentikan langkahku.

“Kamu mau ke mana?”

Lihat selengkapnya