Rasa kecewa yang mencengkeram hatiku, kulepas sejalan dengan berhamburnya abu foto kenanganku bersama Mas Bayu. Inilah jawaban dari keraguan yang pernah kurasakan. Walaupun aku mencoba mengejarnya. Tapi, semakin lama kukejar semakin jauh untuk kugenggam. Sekarang, aku harus menatap ke depan. Di depan sana pasti ada kebahagiaan untukku. Setiap luka pasti akan terobati bersama jalannya waktu. Aku percaya, bayangan Mas Bayu akan memudar dengan sendirinya. Aku berusaha membuka hatiku, tapi trauma ini masih saja menjalar di dalam hatiku.
Pikiranku masih penasaran dengan Wisnu. Kenapa setelah kuamati, wajah pria di dalam foto waktu di Moscow itu sangat mirip dengan Wisnu? Pria berkacamata itu juga tidak membalas pesanku, beberapa kali aku mencarinya di fakultasnya, tapi tak kutemui batang hidungnya. Hingga kuredam segala rasa penasaranku ini. Aku masih bisa menanyakan waktu pentas minggu depan. Pasti dia akan menjemputku.
Menoreh keberhasilan setiap hari adalah hal yang paling menyenangkan. Tetapi dalam setiap keberhasilan pasti ada saja iri dan dengki menghiasi sekeliling kita. Begitu pula denganku. Setiap libur kuliah Mas Adipati selalu memberikan aku pekerjaan. Memang Mas Adipati sedikit menganakemaskanku. Hal tersebut membuat Mbak Nyimut selaku senior memanas-manasi Mbak Ayunda dan Mbak Rengganis. Tapi, beruntung Mbak Rengganis masih bisa berpikir dewasa. Walaupun Mbak Nyimut dan Mbak Ayunda sedikit ketus denganku, dia tetap bersikap biasa saja.
“Mbak, Mbak Nyimut dan Mbak Ayunda kok berasa lebih ketus, ya?” tanyaku di sela-sela menghapus riasan wajah. Mbak Rengganis tersenyum kepadaku.
“Laasya, semakin tinggi pohon semakin kencang angin itu memang benar adanya. Keberhasilan itu selalu dihiasi dengan iri dan dengki dari orang yang kotor hatinya,” jawab Mbak Rengganis menepuk pundakku.
“Sebenarnya apa yang mereka cemburukan?”
“Kamu itu walaupun masih pemula tapi jadi magnet tersendiri bagi grup campursari ini. Penampilan kamu selalu memukau para penonton, sebenarnya ada beberapa grup campursari yang menginginkan dirimu, tapi Adipati selalu menolak berbagi masalah kamu. Dia ingin kamu tetap menjadi keunikan grup ini. Nah, karena inilah mereka berdua cemburu. Jadi, tak usah kamu pikirkan, anjing menggonggong kafilah berlalu,” jawab Mbak Rengganis menasehatiku.
Aku termenung dalam pikiranku sendiri, sementara Mbak Rengganis memanggilku untuk segera menyusul yang lain ke dalam mobil.
“Walah kayak tuan putri sampai ditungguin,” kata Mbak Nyimut sedikit ketus.
“Ya, iyalah, anak emas kok,” sahut Mbak Ayunda.
“Kalian apa-apaan sih! Tidak boleh begitu sama Laasya! Bagaimanapun dia itu keluarga kita juga!” Mbak Rengganis berusaha melindungiku. Aku memegang pergelangan tangannya.
“Maaf Mbak, kalau kelamaan,” ucapku sopan. Kedua rekanku itu nampaknya semakin memandang dengan perasaan benci padaku. Kami turun di sanggar, Mbak Rengganis mengajakku makan bakso di kedai dekat sanggar.
“Jangan dimasukkan ke dalam hati. Jadikan cambuk saja, suatu saat mereka bakal berhenti kok kalau sudah capek,” tutur Mbak Rengganis saat tahu aku melamun semenjak kami masuk ke dalam kedai tersebut.
“Aku tidak enak, Mbak,” jawabku sambil memegang gelas berisi jeruk hangat yang mampu membuat tanganku lebih hangat diwaktu sore yang masih turun hujan.
“Anggap saja mereka itu fans yang terlalu perhatian sama kamu. Cukup diam saja, lalu lakukan apa yang bisa mengembangkan kemampuanmu. Begitulah cara paling jitu menghadapi para hater.”