Gending Hati

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #12

Bagian 12

“Sya, aku tunggu di sana, ya,” ucap Wisnu meninggalkan aku bersama Mas Pandu. Aku hanya mengangguk, tampak raut wajah Mas Pandu berubah ketika mengetahui aku memang janjian bertemu dengan Wisnu.

“Mas Pandu kok di sini?” tanyaku berusaha menghilangkan rasa canggung di antara kami.

“Kebetulan tadi lihat kamu jalan ke sini, makanya aku membuntuti kamu. Aku kira kamu sendiri, ternyata janjian sama Wisnu,” jawabnya sedikit canggung. Setelah berbasa-basi, Wisnu memberi kode agar aku segera meninggalkan lelaki di sampingku itu. Langkah kakiku segera kupercepat, wajah Wisnu tampak kesal. Aku berusaha mengajaknya bercanda sepanjang jalan menuju tempat tujuan kami.

“Sebenarnya kita mau ke mana sih?” tanyaku penasaran. Wisnu hanya tersenyum. Lalu lalang kendaraan tampak memenuhi jalan hingga tersendat. Wisnu mengajakku ke sebuah bangunan kuno dengan atap joglo. Letaknya berada di bawah pohon beringin besar dan terkesan tertutup. Dengan sopan, Wisnu bertanya pada lelaki yang sedang khusyuk menggoreskan pena berwarna di atas wayang berbahan kulit kerbau. Tempat itu bernama Balai Agung, di sana para wisatawan bisa melihat pembuatan wayang kulit secara langsung dan juga bisa membelinya untuk oleh-oleh. Nampaknya Wisnu sudah janjian dengan pengrajin di tempat tersebut.

“Tinggal ambil saja, kok. Tidak lama,” ucapnya sambil tersenyum. Seorang pengrajin menyodorkan sebuah wayang berwajah merah dengan gigi taring keluar dan badan besar. Wisnu memegang wayang tersebut sambil tersenyum. Aku mengamati seorang bapak-bapak yang sedang menatah wayang. Bapak itu tak menggubrisku walaupun aku berdiri di depannya mengamati pekerjaannya. Memang, proses menatah wayang diperlukan konsentrasi dan ketrampilan serta rasa seni yang tinggi. Proses ini biasanya disebut Nyorek.

Wisnu memanggilku, nampaknya ada beberapa wayang yang dibelinya. Yang kutahu, wayang kulit harganya ratusan ribu. Ini berarti Wisnu mengeluarkan beberapa juta untuk wayang-wayang di tangannya.

“Tolong pesankan, GO-Car dong!” perintahnya kepadaku.

“Oh jadi ini alasanmu nyuruh aku ngojek?”

Dia mengangguk kemudian berkata, “Kalau kita naik sepeda motor, agak ribet bawa wayang-wayang ini. Mending naik mobil.”

Kami menaiki sebuah mobil Avansa berwarna hitam. Driver mobil tersebut cukup ramah menyambut kami. Wisnu memangku wayang-wayang tersebut. Kami berdua pulang ke rumah Pak Burhan.

Lihat selengkapnya