Aku terpaku di halaman kos. Hari ini ada tamu yang tak terduga datang kepadaku. Orang dimasa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam bagaikan bangkit dari kuburnya. Terlihat menyeramkan dengan beberapa memori kelam yang pernah terjadi di antara kami. Kumantapkan hatiku, langkah kakiku perlahan menghampirinya.
“Mau apa kamu ke sini?!” tanyaku sedikit ketus.
“Sya! Kenapa kamu masih seperti ini? Bukankah setelah semua itu terjadi kamu akan bersikap biasa saja padaku?” kata Anto berusaha meraih tanganku.
“Memang kamu pernah ada di dalam hatiku, pernah jadi teman baikku. Bahkan kamu rela melakukan apapun demi aku, tapi… semua yang kamu lakukan terlalu menyakitkan! Kamu pikir hatiku begitu saja memaafkan kamu!”
“Sya, kita pernah jadi teman baik. Apa salahnya kita berteman lagi seperti dulu?” bujuk Anto. Entah kenapa luka yang pernah kubalut dengan sekuat tenaga mengangga bersama kehadirannya.
“Mending kamu pulang! Aku tidak mau dicap pelakor!” teriakku sambil membanting pintu kamarku. Anto berusaha memanggilku, tapi entah kenapa aku enggan menemuinya. Terlalu sakit untuk bertemu dengannya, dia memang cinta pertamaku, dia pernah jadi sahabat baikku, tapi karena taruhan itu membuatku semakin membencinya. Bagaimana bisa orang yang kuanggap belahan hati waktu itu bisa melakukan hal yang kubenci? Pacaran hanya karena sebuah taruhan saja. Sakit, ya sakitnya tak terkira. Hampir mirip dengan sakit yang kurasakan sekarang. Apalagi sekarang dia sudah beristri. Aku ingin menjaga jarak dengannya agar tak ada fitnah yang menghampiriku. Kulempar tasku ke meja, segera kurebahkan badanku. Ternyata nomor yang menerorku selama ini adalah Anto. Kuraih ponsel di dalam saku kemejaku. Nomor bernama unknown segera kublokir. Entah kenapa aku ingin orang itu tak lagi muncul di hadapanku. Aku ingin tidur sebentar saja. Tapi, suara ketukan pintu membuatku geram. Aku tidak mengira Anto masih saja bertahan. Dengan kesal segera kubuka pintu itu.
“Aku sudah menyuruhmu pergi!” teriakku sambil membuka pintu. Betapa terkejutnya diriku ketika sosok yang sedang berdiri di hadapanku adalah Mas Bayu. Aku segera menutup kembali pintu kamarku. Dia beberapa kali membujuk agar membuka pintu kamarku. Hingga suara protes tetangga kamarku membuatnya tak enak hati. Kuintip sosok Mas Bayu yang berjalan keluar. Aku belum siap bertemu dengannya, bahkan hatiku belum mampu menyembuhkan luka dalam yang ia torehkan. Apalagi, sekarang dia juga seorang pria beristri. Argh! Kenapa hari ini aku dicari dua orang lelaki sudah beristri, sih?
Tiba-tiba seorang laki-laki mendobrak pintu kamarku, aku benar-benar kaget dibuatnya. Nampak Wisnu dengan nafas tersengal-sengal berdiri di depan pintu.
“Kamu kenapa kok kayak habis lari?”
“Justru… aku... yang harusnya bertanya. Kamu kenapa?” tanya Wisnu berusaha mengatur nafasnya. Aku baru ingat dan benar saja, tampak beberapa kali aku memanggil Wisnu.
“Maaf, kepencet,” ucapku lirih. Wisnu tampak manyun. Aku berusaha meminta maaf padanya.