“Paklik! Paklik kok di sini?” tanyaku gelagapan.
“Justru Paklik yang ingin bertanya, kamu sedang apa di sini?” Paklik mencium rambutku yang masih bau hair spray.
“Aku dapat tugas dari kampus untuk belajar nyinden, Paklik. Tolong jangan bilang Mamak, ya! Laasya mohon,” ucapku sambil merayu pamanku. Dia hanya mengernyitkan dahi. Dia malah menceramahiku dengan banyak hal. Bahkan tentang Bapak yang datang ke kos pun dia mengetahuinya. Adik semata wayang Mak Sri itu, berusaha membujukku untuk menemui Bapak. Aku tak bisa berkutik ketika Paklik Haryanto marah. Satu-satunya orang yang kutakuti di keluarga besar kami hanyalah beliau. Dia juga mengancamku kalau besok tidak pulang ke rumahnya, dia akan memberitahu Mak Sri. Aku menepuk jidat bersamaan dengan Paklik Haryanto masuk ke dalam rumah tersebut. Mbak Wigati memperhatikan aku yang sedang dirundung kekalutan. Dia menyuruhku untuk segera mandi. Setelah selesai, tak kutemukan sosok Mbak Wigati, yang kutemukan hanyalah sosok Wisnu yang duduk menikmati secangkir kopi. Entah darimana asal kopi yang ada di hadapannya.
“Mbak Wigati di mana?” tanyaku penasaran.
“Oh, lagi makan. Kamu sudah selesai?” Aku mengangguk perlahan. Dia menyodorkanku kopi yang ada di hadapannya.
“Minum! Kamu butuh ini biar melek semalaman,” ucapnya sambil menyodorkannya di hadapanku. Sebenarnya aku tidak suka kopi, tapi mau tidak mau aku harus menenggaknya.
“Aku buat sendiri kopi itu.” Aku mengernyitkan dahi, rasa tak percaya mulai menjamah pikiranku. Wisnu seakan bisa menebak pikiranku. Dia tertawa terbahak melihat reaksiku ketika menenggak kopi pahit buatan tangannya.
“Kamu sudah mengerti belum arti ikhlas yang pengen aku jelaskan kemarin?” tanya Wisnu sambil menggoda kucing yang lewat di depannya.
“Belum, aku tadi konsentrasi buat pentas. Bagaimana bisa aku belajar di saat gugup?” Wisnu meraih kucing itu dan memangkunya di atas pahanya. Dia masih membelai lembut kucing berwarna kuning keemasan itu.
“Jadi, kehidupan ini seperti pementasan wayang tadi, Sya. Kita sebagai manusia hanyalah seorang wayang dan dalangnya adalah Tuhan. Kamu melihat kan bagaimana aku menggerakkan wayang-wayang tadi?” Aku mengangguk.
“Nah, sama saja. Ilmu ikhlas itu terjadi saat si wayang menerima apa yang diinginkan dalang. Mau dilempar, mau ditabrakkan dengan wayang lain dia hanya narimo ing pandum.” Aku menelaah apa yang diucapkan Wisnu. Hingga logikaku mampu tertaut benang merah dari kejadian-kejadian yang menimpaku. Aku tersenyum pada Wisnu. Isi cangkir yang kupegang segera kuhabiskan.
“Terima kasih, Nu. Kamu mau apa sebagai upah sudah mengajari aku?” tanyaku serius. Dia hanya tersenyum.