“Mas! Aku tidak suka kamu seperti ini!” gertakku kepada Mas Bayu.
“Sya! Dengarkan penjelasanku dulu, aku mohon!” bujuknya masih menghadang sepeda motor kami. Iyon nampak bingung. Tapi, Wisnu datang di saat yang tepat. Wisnu menyeret Mas Bayu agar tak menghalangi sepeda motor kami. Wisnu segera menyuruh Iyon untuk memacu kuda besi yang kami tunggangi. Aku masih memperhatikan dua orang pria itu adu mulut. Oh Tuhan, aku tidak mau mereka berkelahi hanya karena aku. Udara pagi yang masih menusuk tulang membuatku kian menggigil. Kulingkarkan kembali syal hitam. Hatiku semakin gundah, bagaimana keadaan Wisnu?
“Yon, buat beli pulsa,” ucapku sambil menyodorkan selembar uang berwarna biru dari amplop yang baru saja kuterima.
“Wah, terima kasih, Mbak. Nanti sore jadi diantar ke Solo?” Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Aku segera masuk ke dalam rumah. Tak kusangka Mak Sri sudah memasang wajah menyeramkan di belakang pintu.
“Paklikmu bilang kamu nyanyi sekarang?!” tanya Mak Sri dengan wajah garang.
“Hanya tugas kuliah kok, Mak,” jawabku sambil berlalu meletakkan tas ranselku berisi kebaya dan peralatan make up.
“Sya, yang namanya penyanyi itu selalu direndahkan di mata orang-orang!”
“Laasya bukan penyanyi gampangan, Mak!” jawabku dengan kesal. Kondisi hatiku makin buruk mendengar ucapan Mak Sri. Kujatuhkan badanku di atas kasur. Sambil membungkus tubuhku dalam selimut, tiba-tiba air mataku jatuh dengan sendiri. Perlahan-lahan aku tertidur. Mungkin karena semalaman tidak tidur menjadikan badanku begitu capek, apalagi ditambah dengan kondisi hati yang seperti ini.
Walaupun aku berusaha tegar, tapi kenyataannya aku tetaplah seorang gadis yang rapuh. Aku dibesarkan dengan beragam kesulitan. Mak Sri memilih menjadi single parent. Diusia tiga belas tahun aku harus menjadi korban broken home. Yang kutahu, aku begitu benci dengan Bapak. Kenapa dia menghilang dari hidupku? Bukankah dia bisa menemuiku sejak dulu? Tetapi kenapa dia tidak berusaha menemuiku? Lantas kenapa Paklik ingin aku menemuinya? Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku?
Setelah puas tidur, aku bergegas mandi. Setelah itu aku segera ke rumah Paklik Haryanto. Ada beberapa pertanyaan yang masih menari-nari di dalam kepalaku. Kupanggil-panggil lelaki yang masih betah menjomblo hingga umur 40 tahun itu. Tak kujumpai batang hidungnya di dalam rumah. Hingga kudengar suara dari kandang sapi di belakang rumah.
“Paklik!” panggilku sambil setengah berlari. Lelaki itu menghentikan pekerjaannya.
“Sebentar, Paklik selesaikan dulu. Tinggal sedikit lagi,” ucapnya sambil melanjutkan membersihkan kotoran sapi. Aku sebenarnya kagum dengan Paklik, dia memang pekerja keras. Rumah ini adalah hasil kerja kerasnya selama ini. Beberapa tahun yang lalu dia memutuskan untuk tinggal sendirian di rumah ini. Suara sapi saut menyaut merasa terganggu ketika Paklik membersihkan kotoran di bawah tubuh mereka. Bau menyengat kotoran sapi menyeruak ke dalam hidungku. Seketika aku menutup hidung dengan tanganku. Paklik hanya tertawa melihatku. Sekop di tangannya digantung di sudut kandang. Sepatu bot berwarna hitam dilepasnya dan diguyur dengan beberapa ember air. Aku masuk ke dalam rumah sambil menyiapkan segelas air putih untuknya. Lelaki yang tergila-gila dengan sapi itu masuk ke dalam rumah setelah membersihkan diri.
“Kamu ada apa tiba-tiba ke sini?” tanya Paklik Haryanto sambil menyaut minuman yang baru saja kusiapkan.
“Sebenarnya kenapa Paklik menyuruhku bertemu dengan Bapak?”
“Bapakmu sakit, Sya. Sebenarnya sudah lama dia ingin bertemu dengan kamu. Tapi, kamu tahu sendiri watak Mamakmu. Dia tidak mengizinkan bertemu denganmu.”
“Tapi, bukankah Bapak yang sudah mengkhianati Mamak?”
“Hehehe, kata siapa? Mamakmu?” Aku mengangguk mengiyakan ucapan Paklik Haryanto.
“Dulu kamu masih terlalu kecil untuk mendengarnya. Tapi, sekarang kamu sudah tumbuh menjadi gadis yang bisa menilai kehidupan. Bapakmu bercerai dengan Mamakmu bukan karena kedatangan orang ketiga. Mamakmu sendiri yang memilih pulang ke sini dan mengajukan gugatan cerai. Lalu, Bapakmu sebenarnya juga lelaki yang bertanggung jawab. Kamu lihat beberapa sapi yang Paklik pisahkan di sebelah barat? Itu sebenarnya sapi yang dititipkan Bapakmu. Dia membelikannya agar bisa dipakai untuk biaya sekolah. Tapi, kembali lagi pada Mamakmu. Dia selalu menolaknya. Hingga akhirnya Paklik kembangkan menjadi lima ekor. Itu sapi milikmu, Sya.” Aku hanya melongo mendengar ucapan Paklik.
“Apa karena alasan itu juga Paklik memilih tinggal di sini?” tanyaku penasaran. Paklik mengangguk. Memang Mak Sri walaupun lembut tapi sifatnya memang keras. Apa pun harus sesuai dengan kemauannya.
“Paklik sudah mendengar kamu tidak mau bertemu saat mereka datang ke kosmu. Sya, coba buka hatimu. Jangan penuhi hatimu dengan dendam yang belum tentu benar. Belajarlah menerima kesalahan orang lain dan belajarlah memaafkan,” ucap Paklik membuat hatiku tersentuh.
“Satu lagi, Sya. Bapakmu menikah lagi bukan karena dia direbut wanita yang menjadi istrinya sekarang. Mereka menikah setelah dua tahun pasca perceraian. Jadi, kamu salah jika menilai Bapakmu mengkhianati Mamakmu.” Paklik berdiri sambil mengambil camilan di dalam almari. Aku masih tenggelam dengan pikiranku sendiri. Bagaimana aku harus menghadapi ini semua? Apa Bapak mau menerima anaknya yang kurang ajar ini?
“Paklik, Laasya kurang ajar banget ya?”
Lelaki di hadapanku itu tersenyum. Kemudian berkata, “Mumpung belum terlambat, segera temui dia. Seburuk apa pun dia di masa lalu, darahnya tetap mengalir dalam tubuhmu. Jangan sampai kamu menyesal.” Paklik menepuk bahuku. Aku tahu pria di hadapanku ini orang yang mampu menilai baik buruk seseorang. Mak Sri pasti mempunyai alasan tersendiri kenapa ingin menjauhkan aku dari Bapak.
Sore ini juga aku meminta Iyon untuk mengantarku. Mak Sri sempat mengejarku sampai halaman. Aku berusaha mempraktekkan ilmu yang diberikan Paklik tadi siang.
“Aku mau kuliah, Mak. Besok ada ujian praktek. Doakan lancar, ya!” pintaku pada Mak Sri. Kubuang jauh-jauh rasa kesal terhadapnya. Wanita dengan jaket hitam dan jilbab hijau itu tiba-tiba memelukku.
“Jaga dirimu baik-baik!”
“Laasya sudah besar. Percayalah, Mak! Anakmu ini tak akan mencoreng harkat dan martabat keluarga besar kita, Mak.” Aku mencium tangan wanita yang masih sesenggukan itu. Tangannya membelai rambutku. Dia merogoh sesuatu dari saku jaket. Aku berusaha menolak pemberiannya.
“Simpan saja, Mak. Honorku kemarin masih cukup,” ucapku sambil memeluknya. Aku tersenyum dan segera naik ke atas motor si Iyon. Angin membelai wajahku di sepanjang jalan.
“Yon, ke Tumang dulu,” pintaku kepada adik sepupuku. Dia nampak kaget.
“Serius?” ucap remaja berambut cepak itu menghentikan laju sepeda motor.
“Serius. Tapi, kamu harus janji jangan sampai Mamak tahu!” Aku mengancamnya. Bagai kerbau dicucuk hidungnya. Si Iyon tak bisa berkutik. Dia sering ke rumah Bapak ketika acara sadranan. Sepeda kami masuk ke desa yang sangat bising. Aku melihat sekelilingku, banyak sekali rumah-rumah yang disulap menjadi showroom kerajinan ukir tembaga dan kuningan. Ada juga pengrajin perkakas rumah tangga di desa tersebut. Motor kami berhenti di sebuah rumah penuh dengan hiasan kerajinan tembaga yang menggantung. Ada perasaan gundah dan gugup yang menyerangku secara perlahan.
Seorang pekerja menyambut kami. Tangannya masih kotor dengan bau cat yang begitu menyengat.
“Mau cari siapa, Mbak?” tanyanya sopan.
“E… saya mau bertemu Bapak…”
“Pak Hadi?” tanya lelaki tersebut.
“I-iya.”
Lelaki itu kemudian masuk ke dalam rumah. Setelah itu dia keluar dan menyuruhku menunggu sebentar. Aku masih gugup, Iyon memutuskan untuk duduk di jok sepeda motor. Seorang lelaki tiba-tiba memelukku. Ada suara tangis yang terdengar. Entah kenapa aku terdiam tak berontak. Padahal kemarin aku menyuruhnya pergi. Pelukan yang belum lama tak kudapatkan, hari ini kudapatkan. Tiba-tiba air mataku jatuh dengan sendirinya. Lelaki dengan wajah sayu itu beberapa kali tak percaya aku datang ke rumahnya. Beberapa karyawan tampak mengintip dari sudut bengkelnya. Dia mengajakku masuk ke dalam rumahnya sembari memanggil si Iyon agar ikut bersamaku.
“Bu, lihat siapa yang datang!” teriaknya memanggil istrinya.