Sesampainya kos aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Siapa lagi kalau bukan orang paling tega sedunia. Mungkin julukan itu pantas disematkan kepadanya. Aku tak menghiraukannya yang mencoba menghadangku. Tapi, tangannya begitu kuat hingga aku tak bisa mengelak darinya.
“Kenapa sih, Mas?! Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan!” ucapku sambil berusaha melepaskan diri darinya.
“Sya! Aku masih cinta sama kamu! Aku ingin memperbaikinya!” jawabnya masih menggenggam tanganku.
“Aku tidak mau jadi perebut suami orang! Lepaskan! Sakit, Mas!” Ternyata teriakanku membuat ibu kos keluar. Beberapa penghuni kos juga ikut keluar.
“Ada apa sih ribut-ribut! Kalau mau bertengkar jangan di sini!” gertak wanita berbadan tambun itu. Mas Bayu melepas tanganku.
“Maaf, Bu. Tapi, izinkan saya untuk berbicara dengan Laasya,” ucapnya sambil meraih tanganku.
“Selesaikan masalah secara baik-baik, Sya!” pinta Bu Ami.
“Baik, Bu.”
Wanita itu kembali masuk ke rumahnya. Mas Bayu masih menyeretku masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar area kos. Raut wajahku begitu suram. Apa kata dunia? Seorang Laasya pergi dengan suami orang! Huft…
“Kita mau ke mana?!” tanyaku dengan perasaan kesal.
“Ke pantai.”
Ya Tuhan, jam lima sore berangkat dari Solo ke Jogja. Astaga, apa yang ada dipikiran orang ini? Tak ada sepatah pun kata yang keluar dari mulutku. Aku memilih sibuk dengan ponselku mendengar beberapa lagu-lagu Weslife di playlist. Suasana hatiku kian memburuk setelah bertemu dengan Mas Bayu. Suasana Pantai Parangtritis masih ramai petang ini. Mas Bayu membuka pintu mobil kemudian menyuruhku untuk ke luar. Dia berusaha meraih tanganku, tapi aku segera menepisnya. Aku lebih memilih berjalan sendiri menyusuri bibir pantai. Deburan ombak berkejaran, angin membelai lembut rambutku.
“Kamu mau ngomong apa?” tanyaku sambil duduk.
“Sya, aku masih cinta sama kamu.” Aku tertawa getir.
“Kalau kamu cinta sama aku, bukan wanita itu yang ada di pelaminan bersamamu!” jawabku setengah menangis.
“Sya, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, Sya!”
“Mas, kisah kita sudah selesai. Aku mohon kamu berbahagialah bersama orang yang kamu pilih. Biarkan aku berjalan mengejar kebahagiaanku sendiri. Kamu sudah menoreh luka yang teramat dalam. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku berhak bahagia!” Tangisku pecah. Dia memelukku. Kurasakan pelukannya tak sehangat dulu, aku seketika mendorong tubuhnya.
“Bukan aku yang layak dapat pelukanmu! Tapi istrimu!” Dia masih berusaha meraih tanganku. Tapi ada seseorang yang menepisnya. Kulihat sosok Wisnu sudah berada di antara kami.