“Kalian dari mana saja, sih! Aku sudah ke sini tiga kali!” teriak Citra. Aku segera naik ke atas sepeda sahabatku.
“Aku tidur di rumah kamu, ya!”
Citra mengernyitkan dahi sambil memandangi wajah Wisnu yang sedikit kesal. Aku memperhatikan wajah Wisnu dari kaca spion. Sebenarnya aku tak tahu apa yang kurasakan. Semua terasa absurd. Antara pelampiasan atau cinta, aku masih bingung. Aku tidak mau menyakiti perasaan orang lain. Apalagi urusan perasaan, tidak semudah itu. Semua menyangkut masa depan. Nikah untuk seumur hidup pasti butuh pertimbangan-pertimbangan juga. Aku tidak mau menyesal dikemudian hari.
“Kalian ke mana sih?” tanya Citra penasaran saat kami berdua masuk ke dalam kamarnya.
“Tadi, Mas Bayu ribut denganku. Aku sempat dimarahi Ibu kos, akhirnya kami bicara di luar. Tapi, dia malah mengajakku ke Parangtritis.”
“Terus kenapa kamu bisa sama Wisnu?”
“Dia membuntutiku. Dia takut Mas Bayu berbuat macam-macam kepadaku.”
“Wisnu benar-benar jatuh cinta sama kamu, Sya. Hm, pantas saja anak-anak banyak yang iri sama kamu,” kata Citra sambil merebahkan badan di atas kasur dibungkus sprei bermotif batik. Aku menyandarkan punggungku.
“Dia melamarku.”
Ucapanku membuat Citra bangun seketika itu juga.
“Apa?”
“Yuk, tidur! Kepalaku tambah pusing memikirkan itu,” bujukku pada Citra. Dia berusaha menahanku.
“Cerita dulu, Sya!”
“Iya, Wisnu tidak nembak aku jadi pacarnya. Tapi, dia nembak buat jadi istrinya, puas!” jawabku sambil menutup mukaku dengan bantal.
“Terus kamu jawab apa?” Aku menggeleng.
“Sebenarnya kamu suka tidak sama Wisnu?!” gertak Citra. Kugeser bantal yang ada di wajahku.
“Aku tidak tahu, Cit.”