Kisah kami belum berakhir, setelah jatuh bangun aku mengejar sosok Laasya. Akhirnya takdir mempertemukan kami di kampus penuh seniman ini. Sungguh aku sangat berterima kasih pada Tuhan yang berbaik hati memberiku kesempatan kedua untuk bertemu dengannya setelah acara di Moscow beberapa tahun yang lalu. Ya, mungkin sangat klise kalau rasa itu disebut cinta pada pandangan pertama. Tapi, sungguh aku tak mau berbohong tersihir pesona kebaikannya. Laasya mampu menghantarkan kekaguman yang muncul secara tiba-tiba. Gadis dengan jaket bertuliskan Indonesia itu duduk di sudut jalan sambil berusaha menyelamatkan induk kucing yang terperosok ke dalam lubang selokan. Ia sibuk meraih kucing itu sekuat tenaga. Aku yang berdiri di ujung jalan hanya terkesima dengan sosok orang baik itu. Gadis baik itu yang tersenyum lebar karena berhasil menolong kucing itu. Diam-diam aku mencari tahu namanya dan mengikuti semua gerak geriknya selama ia berada di festival itu. Wanita yang aku idam-idamkan hadir walaupun berasal dari benua yang berbeda.
Hal itu membuatku menyisipkan harapan kecil saat bermunajat pada pemilik semesta. Aku ingin bertemu dengan wanita itu, mengenal ia lebih dekat, mengungkapkan perasaan suci yang belum pernah menemukan tuannya. Tapi, ada sebongkah kekecewaan ketika aku mengetahui ia memiliki sosok yang dicintainya. Saat pertama kali bertemu di bandara, ada rasa canggung yang sulit dijabarkan. Sosoknya sangat di luar prediksiku. Aku dibuat terkejut dengan sifatnya yang galak. Aku yakin itu hanya kulit luarnya saja. Akan kuselami dengan perlahan mengenal dirinya. Toh, Paman Burhan sangat membantu dengan sedikit trik licik yang dibuatnya. Ia menyulap Laasya menjadi sinden pendampingku dengan alasan untuk mendongkrak nilai Laasya yang kurang.
“Kamu tenang saja, Nu. Semua akan berjalan sebagaimana mestinya.” Paman Burhan meraih pundakku. Ia pasti sudah mengetahui isi hatiku sejak mengetahui aku sangat ingin belajar di sini. Apalagi aku sempat mencari tahu tentang sosok Laasya padanya. Jelas saja, orang sepeka Paman Burhan bisa menebak tujuan terselubungku.
“Tapi dia sudah punya pacar, Paman.”
“Sebelum janur kuning melengkung, si Laasya masih bisa ditikung,” ucap Paman Burhan diikuti dengan tawa menggelegar ciri khasnya.
“Wah, Paman malah memberi tips menyesatkan,” protesku.
“Cinta dan cita-cita itu harus diperjuangkan Wisnu. Terlepas dari tulisan jodoh yang sudah tertulis di atas sana, kamu harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan wanita yang ingin kamu jadikan teman hidup. Minimal kamu bisa mengungkapkan perasaanmu, ditolak mungkin tidak apa-apa. Mungkin belum berjodoh. Tapi, jangan sia-siakan kesempatan. Bisa jadi malah kamu yang cocok dijadikan pendamping hidup untuknya.” Wajah Paman Burhan tampak serius menasehatiku. Ya, dia memang orang yang mampu mendorong orang lain bangkit. Sangat cocok dengan cerita Bapakku.
Sosok Bayu memang menjadi saingan yang kuat. Pemuda pekerja keras, penyayang dan mungkin sangat menginginkan Laasya menjadi istrinya. Aku bisa melihat betapa api cemburu begitu membara di hatinya saat aku bersama Laasya menikmati sarapan waktu itu. Pasti rasa itu sama besarnya dengan rasa yang mengitari sudut-sudut hatiku. Saat bertemu dengannya secara batiniah aku menabuh genderang perang padanya. Perang untuk mendapatkan Laasya.
Kisah keduanya yang rumit membuatku ingin sekali segera merebut Laasya. Aku bisa melihat gadis yang cuek itu sangat menaruh harapan yang besar dalam hubungan yang mereka jalin tapi apalah arti sebuah hubungan tanpa restu dari orangtua. Tak akan berhasil. Di tempat ini, mereka masih menghormati titah kedua orangtuanya. Terbukti hubungan Laasya dan Bayu merenggang semenjak keluarga Bayu menentang keinginan Bayu untuk mempersunting Laasya. Celah ini sangat menguntungkan bagiku. Aku bisa perlahan memasuki kehidupan Laasya. Kuakui aku memang merasa sedikit licik, bagaimana tidak, memanfaatkan tugasnya sebagai sinden pendampingku padahal ia adalah anak jurusan tari. Sebenarnya rasa kasihan juga muncul di dalam pikiranku. Tapi, ternyata hal itu mampu mendorongnya untuk belajar lebih banyak lagi.
“Anak tari kok disuruh jadi sinden! Dasar dosen keblinger!” gerutu Laasya saat berjalan di sampingku.