Bagaikan menemukan barang berharga yang telah lama hilang. Ada rasa haru, senang, dan bangga pada diri sendiri. Entah mengapa wajah Laasya selalu terbayang dalam doaku. Setelah melalui samudra nan luas akhirnya Tuhan mempertemukan kami di kota ini. Gadis jutek yang mudah galau itu akhirnya bisa jatuh hati padaku.
Ada suntikan semangat ditiap pagi saat membuka mata. Pesan suara dari Laasya bisa membuatku tertawa di dalam kamar yang sepi. Seperti pagi ini ada lengkingan yang khas dari gadis bersuara merdu itu.
“Kakang Wisnu ingkang kulo tresnani. Wekdal sampun nunjukaken tabuh setengah gangsal, monggo sami nindakaken sholat subuh.” Kalimat itu terdengar dengan nada khas sinden yang entah ia dapat darimana. Dasar Laasya, ternyata punya sisi konyol seperti itu juga.
Aku segera membalasnya dengan pesan singkat penuh emoticon cinta. Hari ini aku harus masuk kelas praktik di kampus. Tak lupa aku ingin menjemput Laasya di kosnya. Ia juga memiliki kelas yang harus ia ikuti. Entah kenapa aku benar-benar bangga menjadi kekasih Laasya. Ya, dia cinta pertamaku dan aku berharap ia akan jadi wanita terakhir dalam hidupku. Untuk mempersiapkan masa depanku bersamanya, aku sudah membuat rumah dan juga membangun bisnis di negaraku. Sebuah restoran berdiri tegak dan penuh dengan pelanggan. Restoran yang kubangun dengan hasil tabunganku sejak kecil. Sejak kecil aku sudah bekerja pada Bapak. Entah itu membersihkan peralatannya, jadi asisten di panggung bahkan menjadi seorang penabuh pun pernah kulakoni. Walaupun dalam hubungan kekeluargaan, tapi Bapak tak pernah melewatkan memberi amplop berisi uang kepadaku sehabis pekerjaanku selesai. Ibu membantuku untuk menyimpankannya. Setelah menginjak usia belasan tahun, kuberanikan untuk menggunakan uang tabungan itu sebagai modal bisnis. Mungkin jiwa pengusaha juga mengalir karena Eyang adalah seorang importir di negara kami.
Hari ini Laasya menyuruhku untuk datang lebih awal. Aku tak tahu ia memiliki rencana apa. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku selalu mengiyakan permintaannya. Kusisir rambut yang semakin memanjang. Sebuah karet berwarna hitam kugunakan untuk mengikatnya. Kuambil kemeja dan celana yang sudah bertengger di atas ranjang. Semprotan parfum beraroma maskulin mengakhiri persiapan pagi ini. Sepeda motor milik Paman Burhan menemaniku menjemput gadis idamanku itu. Cahaya matahari belum terlalu terik. Kesibukan di kos putri itu juga sudah mulai lenggang. Mungkin penghuninya sudah keluar semenjak pagi. Aku mengetuk pintu kamar Laasya. Gadis pemilik lesung pipi itu membukanya dengan gembira.
“Masuk!” ajaknya padaku.
“Katanya mau berangkat pagi?”
“Tadaa…. ” ucapnya sambil memperlihatkan makanan yang sudah siap di atas karpet bermotif bunga.
“Kamu masak?” tanyaku penasaran. Ia mengangguk dengan penuh rasa bangga. Semburat senyum kupersembahkan padanya.
“Sarapan yuk!” ajaknya sambil menuntunku masuk. Kami berdua duduk di atas karpet. Menu makanan yang dimasak Laasya pagi ini adalah nasi goreng ati dan telur gulung. Ia sudah mempersiapkannya di atas piring dan menyediakan dua gelas teh lemon panas di sampingnya. Untuk pertama kalinya aku menyicipi masakan Laasya. Sungguh, aku tak menyangka bahwa gadis pemilik suara merdu itu bisa memasak.
“Bagaimana? Rasanya ada yang kurang?” tanya Laasya berusaha meminta pendapatku.
“Pas! Cocok di lidahku,” jawabku sambil mengusap pucuk kepalanya. Laasya tersenyum senang.
“Aku nanti siang mau ke pasar. Kulkas di kamar ini sudah kosong tak ada isinya. Kayaknya lebih hemat kalau masak sendiri daripada makan di luar, bagaimana menurut kamu?”
“Hm, aku senang sekali mendengarnya. Jangan-jangan kamu sedang berlatih jadi istri yang baik, ya?” Mataku melirik ke arah gadis yang sedang meneguk minuman itu. Seketika dia tersedak. Ia menepuk-nepuk dadanya. Tampaknya ia begitu kaget mendengar ucapanku.
“Dasar!” Tangannya mendaratkan sebuah tinjuan lembut di lenganku. Aku hanya tertawa melihat wajahnya yang memerah.
“Aku ada kelas nanti siang. Kamu tidak apa-apa belanja sendiri?” Mulutnya manyun pertanda ia tidak puas dengan jawabanku. Aku hanya tersenyum sambil melanjutkan menyuapkan makanan ke dalam mulutku.