Bagai disambar petir di siang hari, Laasya hanya terpaku di luar swalayan. Matanya masih menatap sosok yang ada di depannya. Sedangkan lelaki beserta istrinya itu sedang bergurau tanpa menyadari keberadaan Laasya. Aku segera menarik tangan kanan Laasya dan menuntunnya untuk pergi. Kehadiran Bayu hanya mengorek luka yang sudah mengering. Aku tak mau Laasya meratapi masa lalunya. Tapi, pikiran gadis itu di luar prediksiku. Dengan enteng ia malah menyeretku untuk berjalan ke arah mereka. Laasya mengerlingkan matanya kepadaku. Entah rencana apa yang akan dilakukan olehnya.
“Mas Bayu!” teriak Laasya. Tangannya mencengkeram erat lenganku. Aku hanya terdiam mengikuti alur rencananya.
Pasangan yang baru beberapa bulan menikah itu menoleh ke arah kami. Wajah Bayu sangat terkejut sedangkan istrinya penuh tanda tanya.
“Laasya!”
“Hai Mas! Dari mana?” tanya Laasya dengan enteng. Tapi bisa kulihat sorot matanya sangat menahan beban berat.
“Habis ambil dagangan dari Tawangmangu.” Mata Bayu melirik tangan Laasya yang masih memeluk erat lenganku.
“Oh gitu. Bagaimana Mbak cantik sudah hamil belum?” tanya Laasya sambil memandang wajah istrinya yang sudah tak enak dipandang mata karena terbakar api cemburu. Bisa kutebak bahwa wanita itu juga sudah mengetahui masa lalu kedua orang ini.
“Hm… belum,” ucap Bayu sedikit ragu.
“Ah, Mas Bayu tarik ulur sih! Ayo dong gerak cepat!” jawab Laasya sambil terkekeh. Tangannya menepuk-nepuk lenganku. Dasar Laasya, bisa-bisanya ia membuat orang bisa terpojok seperti ini.
“Kalian?”
“Oh, kami? Iya kami sebentar lagi bakalan menyusul kalian, kok. Doakan segera mungkin ya! Nanti kalian bakalan tersalib lo kalau tidak gerak cepat!” Tawa renyah Laasya kembali hadir. Aku hanya mengimbanginya dengan senyuman sambil melirik Bayu. Bisa kupastikan dia sangat marah padaku. Salah sendiri menyia-nyiakan orang seperti Laasya. Sekarang aku bisa mengembangkan senyum kemenangan.
“Ayo, Yu!” bujuk sang istri mencoba menarik tangan Bayu.
“Sebentar, Ta,” balas Bayu.
“Kamu kenapa sih! Belum bisa move on sama dia!” gertak wanita itu dengan wajah memerah.
“Heh, Mbak cantik yang slow dong! Jangan khawatir ya, saya bukan tipikal pelakor kok. Tenang saja deh. Bagaimana pun kami punya hubungan baik di masa lalu. Terlepas dari status hubungan kami. Jadi, tenang saja Mas Bayu tidak bakalan menculik saya lagi karena sudah ada pangeran gagah yang melindungi saya,” timpal Laasya sambil memamerkan aku. Dasar Laasya, bisa-bisanya ia punya sisi songong seperti itu.
“Yuk, Sya! Aku lapar katanya mau masak,” bujukku kepadanya. Aku tak ingin ada peperangan di halaman swalayan ini. Laasya akhirnya mau menuruti permintaanku dengan santai dia mengucapkan salam pada pasangan yang sudah ia buat panas itu. Mata Bayu masih menoleh ke arah kami. Sementara kami berdua meninggalkan tempat itu sambil bercanda. Sepertinya Laasya ingin menunjukkan kebahagiaannya saat bersamaku. Tak bisa kupungkiri aku bisa menangkap isi pikirannya, ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak lemah dan terkurung masa lalu.
Sesampainya di kos, aku membantunya mengeluarkan sayuran. Tadi di swalayan aku sengaja membelikannya beberapa box plastik untuk wadah sayur. Aku mempelajari penyimpanan makanan dari ibuku.