Setelah mendapatkan kaset CD dari Ki Anom, kuhabiskan waktu sore sampai malam hari di depan layar komputer. Ruangan kamar berwarna hijau tua ini penuh dengan tumpukan kertas dan beberapa CD yang berserakan di lantai. Mungkin karena terlalu bersemangat mengerjakan tugas ini akhirnya malam berlalu dengan sangat cepat. Sudah dua cangkir kopi kutenggak dan hanya tersisa ampasnya saja. Beberapa judul lakon sudah kupilih dengan seksama. Tapi, entah kenapa belum ada lakon yang sesuai dengan lakon yang dipilih oleh Pak Kusmadi. Judul lakon yang dipilih pria berumur setengah abad itu memang jarang dipentaskan. Bahkan setelah kucermati beberapa rekaman milik Ki Anom tak ada yang sesuai. Benar-benar menguras tenaga dan pikiran.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Kuputuskan untuk merebahkan badanku yang sudah terasa pegal-pegal. Malam ini entah mengapa terasa sangat dingin dari biasanya. Kuraih selimut dan ponsel yang tergeletak di nakas. Kuperhatikan layar ponselku yang dihiasi foto Laasya. Rambut panjang hitam yang tergerai dan senyuman manis dari gadis itu bisa membuatku tersenyum sendiri. Walaupun kami sudah bertemu kemarin, tapi rasa rindu ini kembali memenuhi ruang hati. Setelah puas memandangi wajahnya, kuputuskan untuk membuka pesan. Ada beberapa pesan dari Ibu. Ia memberikan beberapa foto kesehariannya serta memberikan kabar bahwa beberapa teman sekolahku berkunjung ke restoranku. Ibu juga menyampaikan mereka menitipkan salam untukku. Dengan cepat kukirim balasan. Aku juga mengirimkan foto Laasya yang kuambil diam-diam saat ia menyiapkan makanan untukku.
Aku sangat berharap Ibu dan Laasya kelak akan menjadi mertua dan menantu yang saling melengkapi. Mungkin Laasya akan mengalami culture shock ketika sampai di negaraku. Kukira hal itu wajar saja, karena aku juga mengalaminya di negara ini. Bagaimanapun setiap negara punya kebiasaannya masing-masing. Jangankan negara, berbeda wilayah pun kebiasaannya juga berbeda. Jadi, sebagai pendatang di sini aku harus belajar kebiasaan-kebiasaan itu. Setelah membalas pesan Ibu dan menyetel alarm di ponsel, kuputuskan memejamkan mata hingga aku tenggelam dalam mimpi. Esok hari adalah hari Kamis, aku berniat untuk berpuasa. Kuniatkan beribadah untuk mendekatkan hubunganku dengan pemilik semesta. Karena hanya Dia dalang paling hebat yang pernah ada. Doa-doa yang kurapal tiada henti untuk kebahagiaan orang-orang yang kukasihi.
Bunyi alarm yang sangat kencang mengusik diriku yang hampir larut dalam tidur. Hampir saja aku melewatkan makan sahurku jika kuturuti untuk tidur lagi. Dering ponselku berbunyi, kontak bertulis Laasya dengan beberapa emoticon hati itu muncul. Segera kuraih ponselku sambil menyiapkan minuman sereal.
“Hm…” jawabku sambil berjalan ke arah meja makan.
“Hari ini kamu puasa tidak?” tanya gadis itu dengan suara serak. Bisa kutebak ia masih tiduran di kasurnya.
“Puasa. Kamu sudah bangun?” Tanganku meraih dua lembar roti tawar.
“Masih ngantuk. Hari ini aku pentas, nanti aku siapkan makanan buat buka puasa. Kalau aku tidak sempat ke tempatmu, kamu ambil di kos Dinar saja. Kebetulan aku nanti lewat kosnya.” Gadis itu sesekali menguap.
“Memangnya kamu tidak bisa menemaniku buka nanti?” tanyaku sambil mengoles selai nanas di roti tawar.
“Aku nanti ada job di dua tempat, Nu. Mas Adipati benar-benar panen job dalam bulan-bulan ini. Aku sampai kewalahan membagi waktu,” jawab Laasya.
“Ya sudah, semoga hari ini lancar, Sayang. Jangan lupa kerjakan tugas-tugasmu biar kita segera nikah,” godaku padanya. Kudengar tawa ringan di seberang sana. sayang sekali aku tak bisa melihat wajahnya yang memerah. Sebuah kecupan terdengar sebelum panggilannya terputus. Dasar gadis curang, beraninya hanya lewat telepon saja. Saat bersama ia tak akan berani melakukan hal nakal itu. Aku hanya tersenyum sambil menikmati makanan sahurku yang sederhana. Kuputuskan untuk tidur lagi setelah sholat subuh. Badanku benar-benar tidak mau diajak kompromi. Beberapa hari ini mungkin aku terlalu sibuk dengan tugas. Hingga beberapa hari berlalu aku masih berjibaku dengan tugas yang belum selesai ini.
“Kamu sudah dapat?” tanyaku pada Dinar saat kami keluar dari ruang teori.
“Belum. Aku sudah cari-cari di youtube tetap tidak ada,” gerutu Dinar.
“Hah… aku juga sudah meminjam rekaman pentas milik Ki Anom tapi tak ada judul itu.”
“Memang menurut senior di sini, tugas penulisan lakon memang memilih judul lakon yang jarang ditampilkan dan yang tidak ada di youtube.” Dinar mengambil permen di saku kemejanya. Ia menyodorkan kepadaku, tapi aku menolak.
“Terus?”
“Ya, mau tidak mau harus mendengarkan radio atau cari kaset rekaman CD yang dijual,” jawab Dinar sambil mengunyah permen yang baru diemutnya. Aku sempat putus asa tapi mengingat Laasya juga bekerja keras menyelesaikan tugas dan pekerjaannya ada rasa malu yang menghinggapi dadaku. Aku adalah seorang laki-laki, orang yang harus bertanggung jawabnya untuk kehidupannya yang akan datang. Jadi, aku tak boleh menyerah. Kubuang segala rasa capek ini dan bergerilya di pasar-pasar guna menemukan judul lakon yang kubutuhkan. Di sudut pasar yang sepi, aku bertemu seekor anak kucing berbulu lebat yang sedang mengeong-ngeong di sebuah kardus. Kutengok kardus itu, sosok manis berbulu itu melihatku dengan mata berbinar seakan ingin sekali memohon agar aku membawanya. Tanpa pikir panjang, kuputuskan untuk membawa kucing itu. Setidaknya sebagai pengobat rasa sepi yang kadang menelisik disaat Laasya tak menghubungiku. Seperti pembawa keberuntungan, setelah aku membawa kucing manis itu, aku menemukan judul lakon yang kucari. Aku benar-benar senang, tanpa pikir panjang langsung kubayar kaset itu. Saat menyusuri trotoar pasar, tak sengaja aku bertemu dengan putri Ki Anom.
“Mas Wisnu,” panggilnya padaku. Aku menengok ke arah suara itu. Gadis manis dengan rambut panjang berhias bando berwarna abu-abu itu tersenyum ke arahku.
“Oh, kamu? Sama siapa?” Aku berjalan menghampiri gadis itu.
“Sendiri, Mas. Habis cari buah buat Bapak, Mas Wisnu bawa apa?” tanya gadis itu memperhatikan kardus mie instan yang kubawa.
“Oh, anak kucing. Kebetulan nemu di pojok pasar. Kasihan dibuang pemiliknya.”
“Memangnya Mas Wisnu bisa bawa? Sini biar aku bantu, kebetulan aku bawa mobil. Biar kuantar,” bujuk gadis itu menawarkan diri.