Gending Hati

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #26

Bagian 26 POV WISNU

Samudera kehidupan memang tak bisa ditebak. Kadang hidup berjalan anteng, manis, dan terasa hambatan apapun. Tapi, bisa juga ada satu waktu badai masalah datang bersamaan. Menghantam tanpa pandang bulu. Menyayat tanpa melihat rasa sakit yang terasa. Setiap orang pasti merasakan saat-saat seperti ini. Ketika dunia sama sekali sedang tak berpihak. Tuhan sedang menyapaku dengan berbagai ujian kesabaran. Setelah mengecewakan Laasya, kini aku harus menerima kenyataan bisnisku sedang tak bagus. Ibu mengabariku bahwa restoran kami sedang sepi. Aku harus bisa menghemat pengeluaranku di negara ini. Beberapa bulan tak ada suntikan dana dari kampung halamanku. Aku memutar otak untuk bertahan di sini. Kuputuskan untuk lebih sering berpuasa. Sebuah ikhtiar untuk merayu Tuhan agar Ia mau memberikanku kelancaran dalam meraih segala niat suciku. Aku berusaha meminta maaf pada Laasya. Gadis itu masih sibuk mengurus bapaknya yang sakit. Sungguh rasa sepi selalu menggelayuti keseharianku. Untung ada si Nana. Kucing berwarna keemasan itu menjadi kawan setiap kali aku terkurung dalam penjara sepi.

Dinar masih sibuk dengan pekerjaan paruh waktunya. Memang kami harus mengumpulkan modal untuk tugas akhir kami. Anggaran yang kami butuhkan untuk menyelesaikan tugas itu mencapai puluhan juta. Wajar saja kami harus bekerja keras mengumpulkan pundi-pundi uang. Dinar juga menawarkan pekerjaan tapi setelah kupikir-pikir izin tinggalku di sini hanya sebagai pelajar bukan pekerja. Sebenarnya Ki Anom juga menawarkan beberapa jadwal pentas, tapi kesibukanku di kampus juga padat. Tugas dari mata kuliah  praktik pakeliran, estetika pedalangan dan penulisan lakon baru tiga puluh persen selesai. Pikiranku tak bisa diajak kompromi. Ia terlalu terbebani dengan berbagai macam masalah pribadiku. Hal tersebut tercium oleh Paman Burhan. Sebagai pengganti sosok bapak di sini, ia termasuk sosok paling peka. Memang setiap seminggu sekali ia meluangkan waktu untuk mampir ke rumah ini. Sekedar mengecek kondisiku dan juga keperluanku.

“Bagaimana kuliahmu, Nu?” tanya Paman Burhan sambil mengeluarkan sebuah buku kusam yang tak kuketahui judulnya. Aku termangu di depan layar televisi. Hingga sebuah tepukan di pundak mampu membangunkanku dari lamunan.

“Kamu sedang memikirkan apa, Nu? Dari tadi Paman tanya hanya diam saja,” protes Paman Burhan.

“Oh, maaf, Paman. Saya sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Saya bingung harus menyelesaikan yang bagian mana dulu.” Tanganku meraih cangkir berisi kopi di sampingku.

“Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Setiap ujian pasti ada hikmahnya. Masalah itu seperti rasa gatal yang menyerang bersamaan, kamu harus menggaruknya satu per satu. Tak akan selesai jika kamu menggaruknya secara bersamaan.” Aku mencerna ucapan Paman Burhan dengan seksama.

“Baik, Paman.”

“Bicara tentang gatal. Tolong garukkan punggung Paman. Entah kenapa tiba-tiba gatal,” imbuh Paman Burhan seraya membalikkan badan. Disaat seperti ini bisa-bisanya Paman Burhan mengibaratkan masalah dengan rasa gatal. Benar-benar ungkapan yang absurd. Kugaruk punggung Paman Burhan dengan rasa setengah kesal. Ada benarnya juga, aku pasti tak bisa menyelesaikan masalah secara bersamaan. Setelah Paman Burhan menghabiskan kopinya, aku segera menghubungi salah satu kaki tanganku di restoran.

Persaingan bisnis memang keras, karena keteledoran seorang karyawan restoran yang kubangun dengan susah payah harus menghadapi masa krisis seperti ini.

“Tetap jaga kualitas seperti standar kita, Ko. Jangan ambil bahan dari pemasok lain!” pesanku pada Joko Susilo, ia adalah tangan kananku di restoran tersebut.

“Baik, Mas. Masalah restoran aku biar kutangani. Mas Wisnu fokus pada kuliah saja. Ada Ibu yang siap membantu kami kapan saja,” ucap Joko menenangkanku.

“Ya. Aku minta tolong padamu, Ko. Setelah urusanku di sini selesai, aku akan segera kembali.”

“Mas Wisnu pokoknya jangan khawatir. Namanya bisnis pasti ada pasang surutnya, Mas.” Ada sedikit perasaan lega setelah berbicara dengan Joko. Beberapa karyawan bergantung pada usahaku.

Tiba-tiba ada rasa rindu menggelayuti pikiranku. Laasya, sudah berapa hari ia menghilang dari keseharianku? Setiap siang ia menyempatkan menaruh sebuah bungkusan berisi makanan di teras rumah. Pandai sekali ia bersembunyi dariku. Kesalahpahaman antara kami berdua belum bisa kami selesaikan. Hal itu yang membuatku merasa bersalah. Apalagi beberapa hari yang lalu Pandu selalu mengekornya saat berada di sanggar Ki Anom. Ada ketakutan orang itu bicara yang tidak-tidak pada gadisku itu. Sungguh, tak ada niatan untuk menduakannya. Aku benar-benar tulus mencintainya dan serius ingin menikahinya.

Setelah menunggu selama setengah jam, akhirnya ia pulang. Sepeda motor berwarna merah jambu itu masuk ke dalam halaman kos. Semburat senyum merekah pada bibirku. Tak bisa kupungkiri, aku memang tergila-gila padanya.

“Nunu,” sapa Laasya saat turun dari sepeda motor. Nunu adalah panggilan sayangnya kepadaku. Dengan sigap aku berlari kepadanya. Tanganku meraih kait helm dan membantu melepasnya. Tas ransel yang bertengger di sepeda itu kuraih dengan sigap. Laasya hanya terdiam tak bisa menolak bantuanku. Kami berdua duduk di kursi depan kamar.

“Aku kangen kamu,” ucapku sambil meletakkan tas ranselnya di dalam pintu kamar.

“Huft, maaf! Bapak harus dirawat di rumah sakit. Setiap sore aku harus menunggunya di rumah sakit. Maaf tidak memberimu kabar.” Laasya menyenderkan kepalanya di bahuku.

Lihat selengkapnya