Aku tahu Laasya pasti sangat benci dengan obrolan di grup kelasnya. Kehidupan pribadi yang seharusnya jadi privasi kami, terpampang jelas jadi buah bibir. Bahkan banyak yang menduga aku sedang mencurangi Laasya. Setiap sore kusempatkan untuk mampir ke kosan milik Laasya, tapi tak berbuah apapun. Aku tak bertemu dengannya. Ponselnya tak bisa kuhubungi. Hal tersebut menambah kekhawatiran yang merusak konsentrasi belajarku.
Saat kondisi usahaku kian berangsur membaik, malah ujian kesabaran seperti ini harus kami lalui. Didorong pikiran yang kalut, hati yang menahan rasa rindu dan juga beban dari kesalah pahaman yang mungkin terjadi di antara kami, akhirnya aku pergi ke kediaman ibunya. Tapi sayang tak kujumpai sosok kekasihku yang sedang bersembunyi. Rumah sederhana itu tampak lenggang hanya ada sosok ibunda dan neneknya saja.
“Laasya sedang ke rumah bapaknya, Nak Wisnu. Beberapa hari yang lalu dia memang pulang. Tapi, adiknya menelpon agar dia pulang ke Tumang. Mungkin kondisi kesehatan bapak mereka sedang tidak bagus. Soalnya beberapa waktu yang lalu, Laasya juga menghabiskan waktu untuk menunggu bapaknya di rumah sakit,” ucap Mak Sri sembari menghidangkan segelas teh dan kue lapis buatannya sendiri.
“Hah…, ponselnya tak bisa dihubungi, Mak. Saya takut dia marah pada saya dan sengaja mematikan ponselnya,” terangku pada ibunda Laasya.
“Sebuah hubungan pasti ada cobaannya masing-masing. Yang penting kalian menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan saling terbuka. Tak ada yang harus ditutup-tutupi. Jalan kalian masih panjang, apalagi niat kalian memang ke jenjang yang lebih tinggi. Ujian sebelum pernikahan itu memang ada. Semoga kalian bisa melewatinya dengan cara yang dewasa tanpa saling menyakiti satu sama lain.”
Aku mengangguk mendengar nasehat dari wanita yang melahirkan gadis yang sangat kusayangi itu. Aku berniat menyusul Laasya tapi kuurungkan setelah mengetahui kesibukan Mak Sri di kebun. Entah kenapa aku malah membantunya memanen sayur. Sepertinya aku butuh udara segar di sini. Kondisi cuaca yang bagus dan pemandangan yang lumayan segar membuat pikiranku sedikit tenang.
Mak Sri meminjami aku sepasang sepatu bot berwarna merah muda. Ia juga meminjamkan aku kaos panjang dan celana pendek milik adik semata wayangnya. Kami berjalan menyusuri kebun-kebun sayur. Sesampainya di kebun milik keluarga Laasya, mataku disuguhkan dengan deretan bunga kol siap panen. Dua buah keranjang dari anyaman bambu sudah dipersiapkan wanita yang sering memimpin grup sholawat di des aitu. Ia membiarkan aku menikmati sajian pemandangan alam pegunungan yang masih asri. Tak bisa dipungkiri mataku tersegarkan dengan deretan warna hijau di sepanjang mata memandang. Untuk mengalihkan rasa rindu yang terlanjur membesar pada gadis yang sering angin-anginan itu kuputuskan untuk segera membantu Mak Sri.
Beliau dengan telaten mengajariku menggunakan pisau guna memangkas bunga kol dari batangnya. Setelah dua kali uji coba, akhirnya aku bisa menguasai perkara ini. Ternyata sangat menyenangkan menghabiskan waktu di ladang seperti ini. Agar tak dilanda rasa bosan, Mak Sri mengajakku berbincang. Ia ingin mendengar seluk beluk keluargaku. Wajar saja seorang ibu ingin tahu seluk beluk calon besan mereka. Kukira komunikasi mereka akan terjalin tanpa halangan karena keluargaku juga sangat fasih menggunakan bahasa Jawa. Setelah dua keranjang itu penuh dengan bunga kol. Mak Sri mengajakku duduk sembari memotong daun-daun yang melingkupi bunga kol tersebut.
“Kamu harus sabar menghadapi watak Laasya, Nak Wisnu. Dari kecil memang dia terkenal keras kepala. Sifat buruk yang menurun dariku dan bapaknya. Kamu harus bisa menaklukkan sifat buruknya itu.” Tangan Mak Sri masih sibuk memotong daun bunga kol. Tangannya yang berlapis sarung tangan itu dengan cekatan merapikan hasil panen siang ini. Aku hanya membalasnya dengan tawa kecil.
Seorang lelaki dengan wajah tak asing menghampiri kami berdua. Beliau adalah adik semata wayang Mak Sri. Laasya memanggilnya Paklik Haryanto. Seorang yang sangat ditakuti dan dihormati oleh Laasya. Pria yang masih bujangan itu seakan penasaran dengan siapa Mak Sri memanen hasil kebunnya.
“Yu, sama siapa?” sapanya sambil mengamati wajahku.
“Oh, Nto. Ini sama Wisnu!” teriak Mak Sri. Mendengar Mak Sri menyebut namaku, pria itu langsung berlari ke tempat kami duduk. Wajahnya berseri seakan bertemu seseorang yang spesial. Ah entahlah, mungkinkah aku merasa terlalu percaya diri menganggap diriku spesial untuk keluarga ini.
“Mas Wisnu yang dalang itu?” tanya Paklik Haryanto sambil menyodorkan tangannya yang berbalut kaos tangan.
“Ya, Paklik. Saya Wisnu. Apa kabar Paklik? Mohon maaf saya belum sempat berkenalan dengan Paklik waktu itu,” jawabku dengan antusias.
“Ah, tenang saja. Kalian pasti sangat sibuk waktu pentas itu. Oh ya, kenapa kamu di sini?”
“Nak Wisnu mencari ponakanku yang menghilang beberapa hari,” sosor Mak Sri.
“Halah Laasya memang sering kayak gini, tiba-tiba menghilang. Tapi, kamu tenang saja. Dia bakal balik lagi kalau pikirannya sudah tenang. Memang sudah kebiasaannya dari kecil sering kabur kalau ada masalah,” tambah Paklik Haryanto sambil duduk di sampingku.
Tak bisa kupungkiri keluarga mereka memang sangat kenal dengan tabiat Laasya. Gadis yang sering menyembunyikan masalahnya dari orang lain dan tak mau menjadi beban untuk orang-orang yang menyayanginya. Obrolan kami semakin panjang. Dari membicarakan Laasya hingga berlanjut dengan keluargaku. Tak ada yang bisa kusembunyikan dari keluarga Laasya tentang seluk beluk kehidupanku. Aku ingin mereka tak ragu jika aku mengambil salah satu orang terkasih milik mereka.