Aku berlari mengitari setiap sudut mal dengan sebuah bungkusan kecil di tanganku. Kuperhatikan setiap sudutnya dengan seksama. Hingga aku menemukan sosok Laasya menyeret tangan Mozha di pintu keluar. Seperti orang kesurupan, aku mengejar mereka secara membabi buta. Hingga akhirnya tangan Laasya bisa kuraih.
Langkah kakinya terhenti, nafasku terengah-engah hampir putus. Sedangkan Mozha membalikkan badan karena terkejut. Mata kami saling beradu tatap. Kulihat manik matanya berkaca-kaca.
“Mbak, aku cari makan sendirian saja. Kalian cari tempat untuk bicara.” Gadis berumur enam belas tahun itu seakan mengerti situasi di antara kami tanpa mendapat penjelasan. Kami hanya terdiam, tak ada kata yang terucap. Hanya diriku yang sedang menata nafas agar segera kembali teratur. Laasya melepas genggamanku, ia berjalan menuju sebuah bangku di sisi gedung.
“Sya!” ucapku sambil meraih tangannya. Ia hanya terdiam tak bersuara. Pikiranku kalut melihat tingkahnya seperti ini. Lebih baik ia memukul atau menamparku daripada terdiam seperti ini.
“Sya! Kamu marah?” tanyaku memastikan. Ia hanya menggeleng. Jelas aku sangat frustasi dengan keadaan seperti ini.
“Sya! Maafkan aku hingga membuat kamu salah paham.” Kudengar ia tertawa getir. Matanya memperhatikan tanganku yang masih menggenggam tangannya.
“Tangan ini sudah berkali-kali menggenggam tanganku, tapi di saat seperti ini kenapa jantungku masih berdebar. Harusnya aku marah-marah sama kamu, tapi kenapa mulutku tak bisa mengungkapkan kekesalanku. Aku harus bagaimana, Nu! Aku takut perasaanku padamu terlalu dalam hingga berakhir dengan sebuah pengalaman pahit, Nu!” Bulir air mata Laasya perlahan membasahi pipinya. Kuusapnya dengan perlahan.
“Kamu boleh marah,” bujukku kepadanya.
“Aku harus bagaimana menghadapi kamu, Nu! Aku takut!” suara Laasya kian parau. Aku hanya berusaha memeluknya. Kubiarkan ia puas menangis. Sepertinya beberapa hari ini memang menjadi hari yang sangat berat untuknya. Cukup lama kami menghabiskan waktu berdua. Seperti biasa Laasya menyandarkan kepalanya di pundakku. Sekuat apapun ia berjuang pasti ada masa-masa ia merasa rapuh. Hal seperti ini sangat manusiawi.
Kehadiran Mozha mengagetkan kami berdua. Gadis periang itu membelikan dua gelas minuman dingin untuk kami.
“Kalau ada masalah lebih baik bicara berdua. Tidak main kabur saja seperti kemarin. Kalau Mas Wisnu benar-benar berpaling, bagaimana Mbak mau move on? Atau buatku saja ya, Mas Wisnu! Aku juga tak kalah cantik dari Mbak Laasya kok,” ucap gadis itu sambil menyodorkan minuman padaku. Laasya menimpuk kepala adik tirinya itu dengan tas kecilnya. Ternyata gadis yang duduk di bangku sekolah menengah itu memiliki sisi konyol seperti ini. Sangat bertolak belakang dengan sifat Laasya.
“Tidak boleh!” sanggah Laasya. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan singkatnya.
“Ye… bersaing dengan adik sendiri tidak mau. Sedangkan bersaing dengan orang lain sudah mau menyerah saja!” protes Mozha. Kurasa hubungan antara kakak beradik ini sudah mulai akrab. Bisa dilihat dengan cara Mozha memperlakukan kakaknya seperti ini.
“Siapa yang menyerah!”
“Ya, Mbak Laasya dong! Mbak tuh cantik, berbakat, pinter. Mas Wisnu juga cintanya sama Mbak! Kurang apa lagi coba!” berondong Mozha seakan menyadarkan akal sehat Laasya yang membeku. Aku hanya terkikik mendengar kedua bersaudara ini beradu mulut.
“Anak kecil tahu apa soal perasaan!” balas Laasya.
“Yee! Aku sudah SMA tahu!”
“Tapi kamu belum diperbolehkan pacaran sama Bapak,” balas Laasya menggoda adiknya. Kedua kakak beradik yang belum lama saling mengenal ini ternyata mengalami kemajuan yang sangat pesat. Aku senang melihat sosok keduanya. Walaupun saling mengejek dan bertengkar, hal tersebut menjadi bukti rasa sayang keduanya. Mereka tidak ingin salah satu di antara mereka terpuruk. Dari pembicaraan keduanya aku tahu Mozha sedang jatuh hati pada sosok guru muda yang mengajar di sekolahnya. Kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju rumah Paman Burhan. Sore itu aku membuat jamuan untuk mereka. Laasya hanya memperhatikanku meracik segala bahan makanan di dapur. Sedangkan Mozha, ia sudah tertidur di depan ruang keluarga dengan televisi yang masih menyala.
“Ternyata kamu cekatan juga,” puji Laasya sambil memegang segelas teh hangat di tangannya.
“Jelek-jelek begini aku pemilik sebuah restoran di negaraku,” balasku sambil tersenyum.