Dinginnya air hujam menelisik ke dalam kulit-kulitku. Kulepas mantel berwarna hijau tua dan mengibas-ngibasnya agar airnya segera menghilang. Kaki dan celana panjangku basah. Tanganku terlihat berkerut-kerut. Kuambil ikat rambut kecil berwarna hitam di tangan kiriku. Rambut panjang yang tergerai kugelung tak beraturan. Suasana kos-kosan Dinar nampak sepi, sepertinya malam ini para penghuni kos tak mau keluar dari kamar. Hujan yang mengguyur sejak maghrib tadi membuat udara semakin dingin hingga menusuk-nusuk tulang. Perlahan langkah kakiku menuju kamar Dinar. Kuketuk kamar dengan tempelan-tempelan stiker itu. Sambil menunggu pemilik kamar membuka pintu, sesekali aku meniup-niup kedua tanganku. Dinar membuka pintu dengan wajah tak bersemangat.
Aku tak ingin menanyakan apapun kepadanya. Disaat seperti ini biasanya aku menunggunya untuk bercerita terlebih dahulu. Sebuah celana pendek dan handuk dilemparnya kepadaku.
“Ah, kamu peka sekali,” pujiku sambil tersenyum.
“Aku tak akan membiarkan sahabatku kedinginan seperti ini. Lihatlah celanamu basah kuyup seperti ini. Aku tak mau kamarku jadi basah karenanya.” Dinar mengambil sebuah martabak telur dari plastik berwarna putih.
“Hm, Ibunya Citra baik banget. Pas banget dengan kondisi udara dingin seperti ini.” Tanganku mengambil sepotong martabak, tapi tangan Dinar menangkisnya. Matanya melotot.
“Ganti celanamu dulu!” perintahnya kepadaku. Entah mengapa aku hanya mengikuti perintahnya. Setelah melepas celana panjangku yang basah, aku memakai celana pendek milik Dinar berwarna coklat muda. Kuperhatikan wajah Dinar nampak seperti orang yang sedang berpikir keras. Di matanya nampak beban yang begitu berat. Aku duduk di hadapannya sambil meraih sepotong martabak di hadapannya.
“Mbah Ngatinu dirawat di rumah sakit, Nu,” kata Dinar sambil sesekali mengunyah.
“Hm, Mbah Ngatinu sakit apa?” Kucoba mengorek informasi darinya.
“Ada pembengkakan di jantungnya. Dia tak punya anak atau kerabat dekat. Pihak panti kewalahan dengan biaya pengobatannya,” jawab Dinar sedikit lesu.
“Lalu kita bisa apa, Nar?” Aku mengambil sebuah cabai hijau di piring. Sedangkan Dinar hanya menghela nafas panjang. Sepertinya ia juga tak memiliki ide apapun untuk membantu Mbah Ngatinu. Dinar menyuruhku untuk mencari cara agar bisa meringankan biaya pengobatan Mbah Ngatinu. Pria berumur delapan puluh tahun itu sudah dianggap Dinar sebagai kakeknya sendiri. Rasa sayang yang tulus dari Dinar membuat kakek renta itu tidak kesepian di usia senjanya.
“Bagaimana tugasmu, Nar?”
“Sudah di tangan Pak Kusmadi. Oh ya, minggu depan kita praktik di ruang praktik,” jawab Dinar sambil mengambil komputer jinjingnya di sebuah tas ransel berwarna hitam. Ia menghidupkannya dan segera memutar kaset CD yang berisi pementasan wayang seorang maestro pedalangan.
“Hm, kamu menyuruhku menginap di sini?” gerundelku pada Dinar.
“Di luar masih hujan. Tidak ada yang mau menghabiskan martabak ini. Kasihan ibunya Citra sudah bersusah payah.”
“Dasar! Bilang saja cari teman buat nonton wayang!”
Dinar tertawa lebar. Pementasan wayang di sebuah acara pernikahan itu menghadirkan sosok dalang yang terkenal dengan sabetan setannya. Dalang yang mempelopori seni pedalangan dengan alat musik modern. Kami menikmati pementasan tersebut hingga tertidur pulas. Video pementasan masih terputar menemani kami larut dalam buaian mimpi. Sesekali Dinar menyeret selimut, kami pun berebut selimut yang sudah pudar warnanya. Selimut yang masih wangi walaupun warnanya tidak menyenangkan. Bisa dibilang Dinar sangat teliti menjaga kebersihan barang-barang di kamarnya.
Jam dua dini hari, mataku tiba-tiba terbuka lebar. Dinar masih mengorok di atas kasur. Kuraih ponsel yang tergeletak di samping kasur. Kupandangi gambar layar yang dihiasi foto kebersamaanku dengan Laasya. Aku memikirkan ucapan Laasya tadi sore. Apa yang membuatnya meragukan perasaanku? Rasa traumanya atau ada sosok lain yang menjadi sainganku? Hal tersebut membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Pikiran kotor ini terus menerus membuatku gelisah. Tiba-tiba Dinar terperanjat dari tidurnya. Matanya terbuka lebar-lebar seakan-akan ia baru mengalami mimpi buruk.
“Kamu kenapa? Mimpi buruk?”
“Hah…” Dinar menghela nafas panjang kemudian berkata, “kadang aku mikir tak pantas jadi dalang, Nu. Keterampilanku paling buruk di antara yang lain. Aku memulai semuanya dari nol. Tidak seperti kamu yang sudah memiliki pondasi kuat di bidang ini.” Dinar seolah mencurahkan segala kegelisahannya selama ini.
“Orang yang dijuluki playboy di angkatan kita ternyata punya sisi seperti ini toh,” godaku padanya. Dinar melempar sebuah bantal kepadaku.
“Kamu tak pernah merasakan bagaimana sulitnya berada di posisiku, Nu! Makanya enteng banget kamu bicara seperti itu.” Dinar menguap dan mengucek kedua matanya.