Beberapa hari aku mengungsi di kos-kosan Dinar. Bersamanya aku bisa sedikit produktif fokus pada kuliahku. Rumah Paman Burhan terlalu banyak kenangan bersama Laasya. Sebenarnya Dinar keberatan menerimaku di kamarnya, tapi ia tak bisa berkutik saat aku mengatakan akan membantu mencarikan uang donasi untuk pengobatan Mbah Ngatinu.
Kami juga berangkat ke kampus bersama-sama. Setidaknya Dinar mampu menemani di saat paling sulit ini. Hari ini kami disibukkan dengan praktikum di kelas praktik yang disulap menjadi miniatur pagelaran wayang. Pak Kusmadi dan sejumlah dosen berada di kelas tersebut. Sungguh apes, mahasiswa yang hadir di kelas kami hanya aku dan Dinar saja. Yang lain tampaknya bolos kuliah. Hari ini Dinar menjadi bulan-bulanan para dosen.
“Kamu megang wayang kayak megang cewek!” protes Pak Kusmadi. Yang lain ikut menertawakan Dinar. Saat-saat seperti ini memang melatih mental kami. Kami harus tahan banting menerima kritikan dari penonton. Aku ikut memperhatikan bagaimana Pak Kusmadi menyabetkan wayang. Setelah setengah jam menjadi bulan-bulanan dosen, akhirnya kini berlanjut pada giliranku.
Tak ada cuitan dari dosen pendamping di kelas ini saat aku maju mempraktikan sedikit antawacana dan memperlihatkan teknik sabetanku. Tapi Pak Kusmadi cukup teliti, ia bisa mencari sisi kekuranganku dengan mudah.
“Nges’mu kurang, Nu!” protesnya dari belakang. Aku terdiam dan berusaha mendengarkan penjelasannya. Ia menjelaskan bahwa pertunjukan yang baru saja kubawakan tidak memiliki pesona sama sekali sebagai dalang yang sudah sering tampil di hadapan umum. Jelas saja aku tak dapat memperoleh nges yang kuat. Pikiranku sedang kalut dan aku tidak bisa memberikan nyawa dalam cerita yang kusuguhkan. Setelah guru pendamping ke luar kelas, Pak Kusmadi menghampiriku.
“Ada masalah apa?” tanyanya penasaran.
“Biasa Pak, masalah cewek!” sela Dinar. Pak Kusmadi tertawa hingga suaranya memenuhi ruangan.
“Nu, jodoh itu sudah tertulis. Yen wancine pethuk bakal kepethuk. Nah, kamu memikirkan apa sampai tak bisa mengikuti kuliah dengan baik?” tanya Pak Kusmadi. Tumben sekali ia tertarik dengan kehidupan pribadiku.
“Hm, wanita itu sebenarnya ingin sosok pendamping seperti apa sih, Pak?” Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku.
“Wanita itu butuh lelaki yang dasdes! Lelaki yang pasti, tidak gampang ragu. Tidak main-main dalam menjalin hubungan. Punya tanggung jawab,” jawab Pak Kusmadi berapi-api. Aku dan Dinar hanya melongo mendengar penjelasannya.
“Maksudnya apa, Pak?” berondongku lagi.
“Maksudnya kalau memang suka, sayang dan cinta, ya sudahlah halalkan saja! Nikah lak uwis beres!”
Aku dan Dinar saling beradu tatap. Dinar langsung menyela dengan pertanyaan, “Kalau si laki-laki belum mapan bagaimana?”
“Rejeki bisa dicari sama-sama. Toh, jatah rejeki itu juga sama kayak jodoh. Sudah tertulis seberapa besarnya. Yang penting sebagai laki-laki harus memiliki tanggung jawab menafkahi keluarganya. Banyak sedikitnya harus disyukuri, gemi, setiti, ngati-ati.” Pak Kusmadi memperhatikan wajah kami berdua. Aku dan Dinar hanya manggut-manggut menyetujui ucapan Pak Kusmadi. Walaupun ada rasa takut yang menghantui pikiran.
Sore itu aku berjalan menyusuri jalanan di sekitar kampus. Sebenarnya Dinar mengajakku datang ke panti. Tapi, entah mengapa rasa malas menjangkiti badanku. Dengan langkah gontai aku sampai di rumah. Terbersit di dalam pikiranku untuk ke tempat Paklik Haryanto. Mungkin ia bisa menjadi tempat pelarianku. Gending hati yang tiba-tiba hadir mengantarkanku menuju kediamannya. Pria itu sedang membersihkan rumahnya. Tangannya masih memegang sapu saat aku datang. Senyuman ramahnya menyapaku dan membuat hatiku sedikit hangat. Kami berdua duduk di depan kandang sapi miliknya di belakang rumah.
“Paklik, Paklik sudah tahu belum Pak Hadi mau menjodohkan Laasya dengan kerabatnya?” Aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan pada adik laki-laki Mak Sri yang masih betah melajang ini. Rasa terkejut muncul di wajah Paklik Haryanto.
“Sejak perceraian itu terjadi, Mas Hadi memang ingin menjodohkan Laasya tapi aku dan Mbak Sri selalu menentangnya. Aku kasihan pada Laasya, Mas Wisnu. Dia hanya gadis biasa yang mendambakan hidup dengan orang yang mencintainya. Nanti biar aku bicarakan dengan Mbak Sri. Mas Hadi tidak berhak mengatur hidup Laasya seperti itu,” balas Paklik Haryanto sambil mengambil rumput dan memberikannya pada sapi di depannya.
“Mohon bantuannya Paklik, hanya Paklik yang bisa saya andalkan. Akhir-akhir ini Laasya sedikit ragu dengan hubungan kami. Saya takut masalah ini yang membuatnya bimbang.”
“Kamu tenang saja, Mas Wisnu. Aku dan Mbak Sri tak bisa membiarkan Mas Hadi berbuat sesuka hati terhadap Laasya. Dia memang ayah kandung Laasya, tapi Laasya berhak menentukan pilihannya.” Paklik Haryanto tersenyum dan menepuk pundakku. Aku bisa merasakan dukungan kuat darinya. Deru sepeda motor terdengar masuk ke halaman Paklik Haryanto. Suara yang sangat kukenal memanggil-manggil nama Paklik Haryanto dan semakin mendekat ke tempat kami duduk. Sosok gadis yang membawa sekarung pakan ternak itu terkejut melihatku duduk di depan kandang.
“Kamu kok bisa di sini?” tanya Laasya penasaran.
“Hm, lagi berdiskusi dengan Paklik. Bagaimana kondisi Bapak?”
“Oh, berangsur membaik. Lusa boleh pulang.” Laasya duduk di sampingku. Aku hanya ber-oh ria. Bau kotoran sapi tak menganggu kami, kami tetap nyaman duduk di tempat itu.