Gending Hati

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #32

BAGIAN 32 POV WISNU

Malam yang cerah tapi bukan berarti pemandangan wajah dua orang gadis yang tengah bersaing itu secerah pemandangan malam. Mendung hitam menghiasi wajah Mitha dan Laasya. Setelah Ki Anom bisa menenangkan putrinya, ia menghampiri itu mengajak ke ruang pementasan di dekat para pengrawit latihan. Ki Anom menjelaskan bahwa gaya keprak  yang kulakukan masih kurang mantap. Ia mengajarkan bagaimana menata keprak agar terdengar merdu, Sesekali ia juga memperlihatkan gaya sabetannya. Ibarat mengisi gelas dengan air, otakku berusaha kukosongkan untuk menerima penjelasan Ki Anom dan menyimpannya untuk bekalku nanti.

Para pengrawit sudah selesai latihan. Beberapa diantaranya ada yang langsung mengambil minuman yang disediakan Ki Anom. Beberapa sinden tampak sedang berdiskusi. Begitu pula sosok Laasya, ia sedang meminta pendapat Mbak Wigati. Sosok sinden senior itu dengan sabar membimbing Laasya. Ia mengoreksi nada-nada yang belum sempurna. Buku wangsalan sinden yang dibawa Laasya menjadi tumpuan ketiga sinden itu dalam menyempurnakan penampilannya. Jelas saja mereka adalah salah satu unsur pendukung yang penting dalam menghidupkan sebuah pementasan. Sebuah pementasan wayang akan terasa hidup dengan keselarasan antara pesinden, pengrawit, dalang, dan sarana yang ada. Termasuk kondisi wayang di dalamnya. Wayang harus diperhatikan kebersihan dan kerapiannya.

Mitha menempuk pundakku saat aku sedang merapikan wayang di deretannya. Gadis itu ingin bicara denganku. Ia memintaku untuk mengikutinya, di samping sanggar nan sepi Mitha mengutarakan perasaannya.

“Maaf, Mith. Terima kasih kamu menyukaiku, tapi aku tak menganggapmu lebih dari sekedar putri guruku. Ayahmu sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri di negara ini. Terutama ada satu alasan bahwa ada gadis lain yang sudah mengisi hatiku.”

“Seharusnya aku tidak usah mengutarakannya. Hah! Dasar bodoh sekali! Kenapa aku mempermalukan diriku sendiri,” ucapnya sambil memalingkan pandangannya.

“Maafkan aku, Mith. Maaf tidak bisa membalas perasaanmu itu,”

“Hm, aku yang bodoh, Mas. Bisa-bisanya aku tidak peka bahwa ada sosok dia di sampingmu. Hahaha, beraninya aku berharap bisa mengubah posisinya.” Manik mata Mitha sedikit berkaca-kaca. Bisa dibilang ia kategori gadis yang pemberani. Ia berani mengungkapkan perasaannya walaupun tahu aku bakal menolaknya. Persoalan pertama selesai, aku juga meminta Mitha untuk tidak memperlakukanku secara spesial. Cukup memperlakukan aku seperti yang lain.

“Bapak berpesan kalau Mas Wisnu adalah murid paling spesial di sini, bagaimana bisa aku menolak perintah Bapak, Mas? Bisa-bisa Bapak marah padaku,” ucap Mitha sambil bersedekap. Ia segera pamit kepadaku, ia harus membereskan pekerjaannya di dalam rumahnya. Mitha memang seorang desainer muda yang memiliki butik sendiri di kota ini. Ia menolak mengikuti jejak sang ayah untuk belajar ilmu pakeliran, karena tak percaya diri bisa sehebat ayahnya. Dengan menyediakan seragam untuk para pengrawit dan para sinden ia menebus kekurangannya itu. Makanya Ki Anom sangat bersemangat ketika aku datang ke sanggarnya. Ia merasa menemukan seorang anak laki-laki yang sudah lama ia idam-idamkan. Tak mungkin untuk menjadikan aku anak mantunya, sehingga ia memutuskan untuk menjadi ayah angkatku di sini. Ia menularkan segala ilmu yang dikuasainya kepadaku.

Derai tawa dan juga obrolan macam-macam menghiasi sanggar. Para sinden sudah bersiap untuk pulang. Begitu pula dengan Laasya, aku menunggunya di tempat parkir.

“Kamu belum pulang?” tanya Laasya sambil mengambil jaketnya. Sembari ia memakai jaket, kuambil helm yang tergantung di sepedanya.

“Aku sengaja menunggumu,” jawabku sambil memakaikan helm di kepalanya. Kukaitkan tali pengikatnya sekuat mungkin.

“Kenapa?”

“Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan sama kamu? Kamu ada waktu?” Aku berusaha memastikan Laasya memiliki waktu luang malam ini. Gadis itu mengangguk.

“Mau kemana?”

“Kamu belum makan, kan? Bagaimana ke kedai biasanya?” usulku pada Laasya. Ia mengangguk dan segera menghidupkan sepeda motornya. Aku mengekornya dari belakang. Sebuah kedai kopi favoritku menjadi tujuan Laasya. Ternyata ia bisa memperhatikan kebiasaanku di kota ini.

Kami berdua masuk ke dalam kedai itu dan memesan makanan berat dan camilan serta kopi kesukaanku di kedai ini. Aroma kopi yang diseduh membuat indera penciumanku bereaksi. Kami duduk di sudut ruangan. Laasya memperhatikan suasana kedai yang sudah sepi pengunjung.

“Apa yang ingin kamu bicarakan, Nu?” tanya Laasya sambil memainkan cincin perak yang melingkar di jari manisnya.

“Soal ucapan Rinjani tadi sore, Sya? Apa kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku?”

Laasya kaget mendengar pertanyaanku. Dengan ragu ia menjelaskan bahwa akhir-akhir ini ada orang iseng yang mengajaknya kencan. Semacam kencan satu malam. Hal tersebut jelas-jelas membuatku geram. Bagaimana bisa aku tak tahu kekasihku menerima pesan senonoh seperti itu?

“Siapa orangnya?”

“Memangnya mau kamu apakan orang itu? Mau kasih pelajaran sama dia? Janganlah, Nu! Biarkan saja orang seperti itu, aku tidak ingin kamu berurusan dengan hukum negara ini,” pinta Laasya mengkhawatirkanku. Tentu sebuah kekhawatiran yang beralasan, sebagai warga negara asing tentu aku harus patuh pada hukum negara ini.

Lihat selengkapnya